Mataku berbinar senang dengan senyum khas di wajahku. Aku tidak dapat mendefinisikan bagaimana bahagianya hari ini melihat keluargaku berkumpul ditambah Mas Rafka yang baru saja sampai. Tidak semua berkumpul sebenarnya, hanya aku, Bunda, Vira, Kak Nayra, dan Mas Rafka. Kedatangan Mas Rafka juga sudah diketahui oleh Mas Aufa dan Mas Arfan.
Bunda menyambut Mas Rafka dengan wajah dingin, masih ada kekecewaan yang berusaha Bunda tutupin. Sementara Kak Nayra berusaha memaksakan senyum untuk menutupi segala keresahan hatinya. Aku yakin, perlahan Kak Nayra bisa menerimanya meskipun berat.
“Saya minta maaf.” Kalimat itu yang keluar pertama kali setelah duduk sopan di ruang tamu.
“Minta maaf terus, bosan, dan nggak merubah semuanya,” ucap Kak Nayra. "Jadi ya sudah."
Aku menggeleng gemas dengan sifat Kak Nayra yang masih bersikap ketus kepada Mas Rafka. Aku harap jika keduanya menikah dapat kembali akur kemudian membentuk keluarga sakinah yang diidamkan bagi suami istri agar cinta itu sampai menuju jannah.
“Kamu masih marah, sayang?” tanya Mas Rafka. Matanya menatap teduh yang membuatku terkekeh geli melihatnya.
“Dih!”
Jangan heran jika sifat Kak Nayra seperti itu. Beberapa jam yang lalu dia mencari Mas Rafka sampai menelepon tiga polisi untuk mencarinya. Kebetulan polisi itu keluarga sendiri. Untungnya ketiga polisi itu berhasil menemukan Mas Rafka di bandara. Terpaksa tiket Mas Rafka yang sudah dibeli dia berikan gratis kepada seseorang. Dan pilihan Mas Rafka pada kakek-kakek yang kebetulan ingin pulang ke kampung halaman tetapi uang belum mencukupi. Sungguh, suatu kebetulan yang baik.
Mungkin benar-benar sangat merepotkan. Apa lagi Mas Rafka benar-benar ketakutan ditangkap polisi di bandara. Bayangkan saja betapa mengerikan itu.
Tapi itu tidak masalah selagi bisa membuat Kak Nayra kembali ceria dan bahagia seperti dulu.
“Kedatangan saya ke sini. Saya ingin melamar Kak Nayra. Saya ingin Kak Nayra menjadi pendamping hidup saya sampai tua nanti dan sampai surga. Aamiin. Saya benar-benar menyesali semuanya."
Kak Nayra menunduk.
“Saya menikahi Kak Nayra ikhlas, tulus dari hati tanpa ada paksaan dari siapa pun. Bukan juga karena saya merasa bersalah atau kasihan--em maksud saya, saya ada perasaan bersalah tapi itu bukan menjadi alasan saya menikahi Nayra." Mas Rafka menarik napasnya. "Jadi saya sangat berharap jika Kak Nayra menerima saya untuk menjadi partner hidupnya.
“Selama enam bulan ini saya tak henti-hentinya berdoa sama Allah semoga Nayra menerima saya menjadi suaminya. Saya juga berharap keluarga ini memaafkan kesalahan saya. Saya tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah ini sampai kapan pun. Saya benar-benar minra maaf," tangisnya. "Andai waktu bisa diulang--"
"Rafka, percuma."
"Saya tahu kalau saya bukan calon suami yang sempurna—“
“Tuh tahu,” potong Kak Nayra.
“Apa Bunda sudah memaafkan saya?”
"Ini berat, tapi mau gimana lagi," pasrah Bunda. "Setiap kejadian menjadi pelajaran untuk kita."
"Nay, a--apa saya bisa diterima di keluarga ini?"
Bunda menatap Kak Nayra intens. “Semuanya saya serahkan kepada Nayra.”
Nayra menunduk diam sembari melirikku singkat.
“Sepertinya tandanya wanita diam adalah iya,” ucap Bunda. "Jangan pernah sakitin Nayra."
“Kondisiku masih kayak gini, Raf,” ucap Kak Nayra lirih. Matanya menatap kakinya yang masih belum memiliki kekuatan untuk berjalan.
Aku menghela napas ringan. Menunggu jawaban dari Mas Rafka untuk menerima Kak Nayra apa adanya.
“Saya akan bantu Kakak sembuh.”
Ada kelegaan dalam hati mendengar kalimat itu. Suara halusnya terdengar ikhlas. Setidaknya dengan ini menjadi motivasi Kak Nayra untuk sembuh.
"Kak Nay bilang iya lama banget." Vira mulai menceletuk.
Nayra tersenyum. “Bismillah. Saya menerima lamaran kamu.”
****
Hari ini adalah hari berkumpulnya keluarga besar. Hanya silahturahmi keluarga yang ada di Jakarta untuk mengeratkan ukhuwah dan tali persaudaraan.
Aku, Vira, Kak Nayra, dan Bunda menyiapkan hidangan untuk para lelaki yang sekarang tengah berbincang di depan televisi. Kebetulan sekarang adalah hari libur bersama sehingga dapat menyempatkan diri untuk berkumpul dengan keluarga.
“Baksonya disediain apa ngambil sendiri-sendiri, Bun?” tanyaku seraya meletakkan sambal dan kecap di meja hidangan.
“Biarin mereka ngambil sendiri aja. Lagian mereka belum tentu makan bakso,” jawab Bunda yang sekarang membawa panggangan ayam.
“Iya, lagian Mas Aufa belum tentu ngambil bakso kalau sudah ada ikan.”
“Kalau Mas Arfan aku ambilin bakso aja ya, Bun?” Bunda mengangguk. “Mas Arfan paling nambah dua kali. Mana cukup bakso satu aja. Bisa tiga kali kalau benar-benar lapar.”
Aku dan Bunda tertawa geli. Pantas saja Vira selalu menyiapkan banyak makanan untuk Mas Arfan. Untungnya Vira pandai memasak.
“Sudah siap, Bun?” tanya Kak Nayra. Ia sibuk menuangkan sirup dan mencobanya dengan harapan rasanya pas, tidak kemanisan dan tidak kehambaran. “Pas.”
“Sudah.”
“Aku kok ragu ya Ihsan dibawa sama mereka?” gumam Vira dengan pelan.
Sama, sebenarnya aku juga ragu.
Vira meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri ruang televisi. Begitupun, aku mengikutinya.
“Mas Arfan!” pekik Vira secara refleks.
Dan benar saja.
“Mampus lo, Ar. Gue nggak ikut-ikutan.”
“Ar, bini lo auto ngamuk.”
“Intinya ini idenya Aufa, bukan gue.”
Tidak tahu dari mana asalnya sekarang Ihsan mengenakan kostum mermaid dengan baju bayi berwarna biru. Sedangkan aku hanya menahan tawa melihat amarah Vira yang siap dia luapkan.
Aku tidak tahu lagi mengapa mereka selalu saja memiliki ide cerdik yang membuat Vira geleng-geleng kepala. Ini bukan pertama kalinya hal konyol seperti ini terjadi. Beberapa hari yang lalu pernah terjadi dengan kostum banana dan semangka. Dan sekarang mermaid biru. Tapi percayalah, bayi menggemaskan itu tidak menangis justru tertawa, membuat semua orang juga gemas ingin tertawa.
“Kamu apain lagi si Ihsan?” tanya Vira dengan pelototan tajam.
“Tapi dia senang sayang,” jawab Arfan untuk berusaha mencari pembenaran.
“Hi... hi...”
“Tuh lihat, senang 'kan dia ada temannya.” Mas Arfan menunjuk Ihsan yang tersenyum dan tertawa seolah membahagiakan.
Andaikan saja Ihsan tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh sang ayah. Mungkin ia tidak seceria ini. Baiklah, mungkin aku akan memberitahukan Ihsan saat ia sudah menginjak dewasa.
“Lepas, nggak?” ancam Vira.
Akhirnya Mas Arfan melepas kostum mermaid itu dengan raut wajah sedih. “Nanti kita beli kostum lain lagi ya, Nak.”
Sedangkan Ihsan hanya mengangguk-angguk saja meskipun diaia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Mas Arfan.
****
“Gimana pernikahan kalian, sudah siap?” tanya Bunda, terkesan berat hati.
Matanya menatap Kak Nayra dan Mas Rafka yang sibuk mengunyah makanan. Keduanya hening saling menatap.
“Hampir seratus persen, Bun.” Bukannya Kak Nayra dan Mas Rafka yang menjawab. Justru Vira.
Ya, Vira yang menyiapkan semua dari gedung, desain, makanan, dan sebagainya tentunya dengan persetujuan Kak Nayra. Ia hanya memberikan rekomendasi beberapa pilihan dan persetujuan dan pertimbangan tentu dari Kak Nayra sendiri.
Saat ini Kak Nayra bisa berjalan meskipun masih tertatih-tatih. Targetnya ia semangat dalam penyembuhan adalah pernikahan. Karena harapannya sebelum satu bulan dia sudah bisa berjalan.
“Kalau lo gimana sama cewek yang sering lo ceritain, Ren?” Pertanyaan itu terlontar tanpa berperasaan dari Mas Aufa. Aku yang menjadi istrinya hanya menutup wajah malu.
“Soon, ini lagi pendekatan sama cewek itu. Sebentar lagi.” Ia tersenyum mantap.
“Kok lo mau dilangkahi adik lo, sih?”
“Asalkan dia bahagia aja."
Jawaban simpel dari Mas Reno membuat kami di meja makan tertawa.
“Gu3 kasian—“
“Bang, jangan buka kartu!” pinta Mas Rafka.
Tapi bukan Mas Reno namanya jika menggubris ucapan adiknya. “Dia sudah ditolak sama cewek saat SMA sampai frustasi. Terus masa nunggu gue nikah lagi kan belum tentu cepat, ya?"
“Ish!”
"Dia sudah enam bulan lebih nunggu Nayra. Nunggu gue lagi yang ada lama, karena gue belum temukan target. Ini lagi proses perkenalan lewat ustadz gue."
"Kakak lo baik, kenapa lo beda, Raf?" terang Mas Arfan.
"Maaf," jawab Mas Rafka.
“Udahlah ... lagian jodohnya 'kan udah ada di depan ngapain diperlama lagi.” Ucapan dari Mas Aufa sontak membuat seisi meja makan menatap Kak Nayra yang pipinya bak kepiting rebus.
“Ciee Kak Nay sebentar lagi ...," Vira menggodanya.