Fafa menghela napas panjang. Sedikit tercekat sebenarnya karena ia memang tengah gugup. Bukan gugup seperti yang biasa ia rasakan. Bahkan, jika boleh jujur, sewaktu duduk di balik meja debat tingkat nasional saja, ia tidak pernah merasa segugup ini. Sungguh, gugup kali ini didasari hal yang berbeda. Kembali menghela napas, Fafa menatap pintu berdaun dua dengan tulisan ‘Ruang Latihan Drama’ di kertas yang tertempel.
Fafa tidak menyangka, ia benar-benar melangkahkan kakinya kemari. Malam sebelumnya, Fafa telah meyakinkan dirinya sendiri untuk mencoba mendalami peran Naura dari naskah yang diberikan. Malam sebelumnya, Fafa benar-benar sesungguh itu mendalami peran dengan mempelajari seluk-beluk seni sandiwara dari browsing internet. Fafa tidak berbohong. Malam sebelumnya, ia sungguh berlatih di depan cermin besar hingga lupa dengan waktu. Di malam sebelumnya itu lah, Fafa meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mungkin memang bisa menganbil peran utama (meskipun rasio pelungnya sangat kecil). Namun, entah mengapa, seharian menatap naskah yang sukses membuatnya tak memperhatikan pelajaran di kelas, justru membuat rasa percaya dirinya semakin luntur. Dan di sinilah Fafa sekarang. Berencana untuk mendatangi kepengurusan drama dan memilih untuk mengundurkan diri dari peserta seleksi peran.
Fafa mengedarkan pandangan sembari menimbang-nimbang. Baiklah, mari kita lihat kembali situasinya. Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, latihan bersama tidak diadakan selama tiga hari ke depan karena dialihkan sebagai waktu latihan mandiri sebelum seleksi, serta kepengurusan drama yang tengah menyiapkan materi untuk anggota klub drama yang baru. Waktu yang tepat untuk mengundurkan diri, itu yang muncul di benak Fafa.
Belum sempat Fafa membuka pintu ruang latihan, seseorang dari dalam telah lebih dahulu membuka pintu tersebut. Fafa sempat terkejut mendapati seorang perempuan dengan membawa sekardus penuh karton dengan beragam warna. Spontan, ia memilih untuk mundur menjauh dua langkah.
“Aduh, lo dari mana aja sih?”
Fafa mengernyitkan alisnya. Mengecek ke kanan lalu ke kiri, dan hanya mendapati dirinya yang hanya seorang diri.
“Lo telat, untung aja kakak-kakak pembina belum pada datang.” ujar perempuan itu yang jika Fafa tidak salah menebak, ia benar-benar tampak kesal. Tanpa permisi, ia menyerahkan kardus tersebut pada Fafa. “Nih, lo bawa ke dalam.”
Bergeming sejenak, Fafa berusaha melurukan kesalah pahaman yang terjadi sekarang. “Maaf, aku—“
“Lo bawa dan langsung ngumpul aja sama anak properti, gue mau beli isolasi dulu.” potongnya cepat.
Fafa menghela napas jengah saat melihat perempuan tersebut yang telah melenggang pergi begitu saja. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada kardus yang kini menjadi beban berat tangannya. Ya ampun, ini sungguh Fafa yang akan membawanya masuk?
Merasa tak mempunyai pilihan lain, alih-alih membuang kardus yang bukan menjadi tanggung jawabnya, Fafa lebih merasa harus membawa kardus tersebut masuk terlebih dahulu. Setelah masuk, yang Fafa dapati adalah suasana ramai namun lebih terkesan seperti ramai yang tercipta karena euforia sibuk pada pekerjaannya masing-masing. Di arah jarum jam sepuluh, Fafa dapat melihat sekumpulan orang yang tengah menggunting kain panjang. Di arah jarum jam dua, Fafa melihat beberapa pohon dan bunga yang terbuat dari kertas kardus berjajar rapi.
Di kala masih memperhatikan sekitar, tepukan seseorang di bahunya sukses mengagetkan Fafa. Ia menoleh ke belakang dengan mata melotot.
Ozu, yang tidak menyangka respon Fafa akan sedramatis ini, memilih meminta maaf. “Eh, kaget banget ya? Maaf deh kalau gitu.” Fafa hanya mengangguk sekilas. “Lo pindah ke bagian properti ya?”
Bingung, Fafa terdiam. “Ya?”
“Itu,” Ozu menunjuk kardus berisi karton yang Fafa bawa. “Gue kira lo ngambil bagian peran.”
Tersadar, Fafa menggeleng cepat. “Bukan, tadi perempuan yang baru saja keluar ruangan yang memberikan ini padaku. Aku juga tidak mengambil bagian properti.”
“Oh.” jawab Ozu singkat, lalu ia melangkah pergi.
Fafa mengikuti langkah kaki Ozu. “Ini bisa kutaruh dimana ya?” tanya Fafa meminta bantuan dan hanya dibalas tunjukan jari dari Ozu ke arah lantai di sebelah lelaki tersebut.
Fafa mengikuti petunjuk Ozu. Setelah menaruh kardus, ia terdiam bingung. Fafa sempat memperhatikan Ozu mulai mengambil karton dari kardus yang ia bawa, lalu menuliskan sesuatu entah apa itu di atasnya.
Merasa diamati, Ozu membuka suaranya. “Lo ngapain ke sini?”
“Ya?”
“Lo ngapain ke ruang latihan? Bukannya latihan peran lagi libur ya?” ulang Ozu lebih jelas.
Fafa mengangguk cepat. “Iya, latihan bersama sedang diliburkan sampai seleksi peran selesai diadakan.”
“Seleksinya dua hari lagi, kan?”
“Iya.” Fafa kembali mengangguk.
Ozu mangut-mangut mengerti. Ia melanjutkan pekerjaannya sembari memasang headset di kedua telinga. Kebiasaan Ozu jika sedang mengerjakan sesuatu, memang lebih nyaman sembari mendengarkan musik jazz favoritnya.
Teringat sesuatu, Fafa menepuk pelan bahu Ozu, membuat lelaki dengan spidol di tangannya menoleh dan mengernyit. Fafa mengisyaratkan dengan tangannya agar Ozu melepaskan headset yang tengah ia pakai. Mengerti, Ozu pun mengikuti arahan Fafa.
“Kenapa?” tanya Ozu.
“Ehm,” Fafa berdehem ragu—entah mengapa ia ragu. “Aku belum mengucapkan terima kasih padamu.” Melihat respon Ozu yang seperti tak mengerti, Fafa kembali melanjutkan. “Kemarin lusa, kamu bantuan aku. Yang hari senin terlambat itu, kita berdua terlambat. Kamu bantu aku masuk lewat ger—“
Refleks, Ozu menghentikan ucapan Fafa dengan menutup mulut gadis tersebut dengan spidol yang memang berada di tangannya. Keduanya tampak sama terkejut. Seperkian detik, Ozu menurunkan spidolnya dan bergerak menjauh, memberi jarak aman.
“Gak usah dibahas lagi, itu rahasia.” jelas Ozu yang terdengar sedikit terbata-bata.
Fafa hanya menganggukkan kepalanya kaku. Jelas terlihat bahwa Fafa masih syok dengan apa yang terjadi.