Sebelum benar-benar masuk ke dalam kelas, Fafa memberhentikan langkah kakinya begitu saja. Memberhentikan langkah kakinya tepat di depan pintu kelas yang telah terbuka lebar. Fafa mengecek jam tangannya, pukul enam lewat lima puluh menit pagi. Ini pertanda baik, bukan? Selama dua hari lamanya duduk bersama Ozu, lelaki dengan tinggi semampai tersebut tentu belum datang. Dari yang Fafa perhatikan, Ozu baru akan terlihat batang hidungnya di kelas ketika tepat bel masuk berbunyi. Dan juga—oh tunggu, mengapa Fafa harus menghindari Ozu sih? Ya ampun, entah lah. Hanya karena surat pengunduran diri berisi seribu satu alasan insecure-nya, Fafa sungguh mempunyai pemikiran yang tidak-tidak. Bagaimana jika Ozu akan memandangnya aneh? Bagaimana jika Ozu menganggap bahwa Fafa adalah seseorang yang harus dijauhi dengan jarak paling sedikit lima meter? Bagaimana jika Ozu tidak ingin menjadi partner duduknya lagi? Ah, Fafa tidak ingin duduk dengan seseorang seperti Sandy lagi!
Tidak, tidak. Menggelengkan kepala, Fafa mencoba mengusir semua suara-suara kecil di benaknya. Ini tidak sulit, ia hanya harus maju satu langkah, dan sudah dapat dipastikan bahwa Fafa telah berada di dalam kelas. Benar, cukup satu langkah... dan faktanya, Fafa belum juga melangkah. Tidak ingin menghalangi jalan, Fafa menggeser tubuhnya dan bersandar pada tembok. Ia memejamkan mata, mulai mendesis, menghela napas, lalu kembali mendesis. Memang bukan seperti pagi yang Fafa harapkan, namun Fafa masih harus bersyukur. Ia masih bisa menikmati sinar matahari pagi. Rasanya nyaman ketika kulit wajah terterpa sinar matahari yang hangat. Rasa yang nyaman sekaligus penenang yang efektif.
Belum genap lima menit Fafa menikmati nikmat tuhan yang diberikan padanya, Fafa jelas harus mengernyitkan alis ketika ia merasa ada bayangan yang menghalangi wajahnya. Bayangan yang memblokade sinar matahari yang tengah menyapa kulit wajahnya. Sinar matahari pagi itu menyehatkan, siapa pula yang menghalangi perawatannya kali ini? Perpaduan antara setengah kesal dan setengah penasaran, Fafa membuka matanya dengan sedikit tidak ikhlas. Segala macam jenis semprotan yang akan ia keluarkan, Fafa pendam dalam-dalam.
Ozu menelengkan kepalanya. “Ngapain sih?”
Fafa menggeleng, lalu tertawa receh sekedar untuk membuang rasa malu. “Hehehe, hanya berdiri.”
Meski sebenarnya Ozu merasa janggal, namun ia mengesampingkan perasaannya. “Ya udah, dari pada lo di sini, mending lo masuk kelas aja deh.”
Menuruti, Fafa mengikuti langkah kaki Ozu masuk ke dalam kelas dan langsung menuju tempat duduk keduanya. Ozu memilih menaruh tasnya, Fafa memilih untuk segera mengistirahatkan tubunya. Dering notifikasi pesan masuk dari telepon genggam Fafa, mengalihkan perhatian gadis dengan bandana di kepalanya tersebut.
Gemma : Gue otw ke kelas lo
Gemma : Jangan kabur!
Fafa mengernyit. Bagaimana Gemma bisa mengetahui bahwa dirinya memang sempat berpikiran ingin kabur? Alih-alih kabur dari Ozu, Fafa lebih menghindari pertemuannya dengan Gemma. Fafa sudah dapat menebak apa yang akan Gemma tanyakan, apa yang akan Gemma permasalahkan dan apa yang akan Gemma hebohkan. Ini Gemma, teman sekolah dasar Fafa yang tidak semenyebalkan sekarang.
“Soal yang gue omongin semalam,” Ozu mulai membuka suara.
Fafa mengalihkan perhatiannya kepada Ozu. Ia dapat melihat tangan lelaki tersebut tengah sibuk mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya. “Tentang surat?” Fafa mengambil posisi siap siaga. Sempat terkejut sebenarnya, karena merasa mendapat serangan bom pertama yang begitu cepat. Fafa sungguh harus meluruskan banyak hal.
Ozu menganggukkan kepalanya tanda setuju. Usai mendapatkan apa yang ia cari, Ozu mengeluarkan barang yang dimaksud dan menunjukkan pada Fafa. “Duh, maaf deh, rada lecek.” ujar Ozu meminta maaf ketika menyadari amplop surat yang terlihat tidak semulus sebelumnya.
“Ah, iya, tidak apa-apa.” jawab Fafa ringan. Fafa menjulurkan tangannya, bermaksud untuk mengambil surat miliknya tersebut. Namun, gerakan tangan Ozu yang justru menjauhkan surat, membuat Fafa heran.
“Lo serius mau ngundurin diri dari peserta seleksi peran?” tanya Ozu memastikan. Dari nada kalimatnya saja, jelas Ozu tidak menyetujui pilihan Fafa.
Fafa bergeming. Lagi-lagi, otaknya mereka sisi positif dan negatif dari keputusan yang ia ambil. “Ehm, sepertinya—“
“Jangan.” potong Ozu. “Gue saranin jangan.”
“Ehm, mengapa?”
“Percaya deh sama gue, lo bakal diincar setengah mati sama Kakak Pembina buat tarik kembali surat pengunduran kaya gini. Walaupun lo murid pindahan, lo pasti tau kan, soal murid yang harus berkontribusi sama kegiatan non-akademi?”
Fafa mengangguk pelan.
“Ya udah!” Ozu berseru heboh.
“Ya udah?” ulang Fafa bingung.
“Ya udah, lo jalanin aja, lagian anak drama seru-seru kok. Itu juga alasan kenapa gue milih ambil drama dibanding kegiatan lain.” ungkap Ozu.
“Tapi... kamu ambil bagian belakang layar.” Tersadar, Fafa menutup mulutnya. “Ah, maaf.”
Ozu mengedikkan bahu. “Santai, yang lo bilang bener kok. Dan, salah lo sendiri kenapa ambil bagian peran.” acuhnya. Akhirnya, Ozu menyerahkan surat yang ia pegang kembali kepada pemilik aslinya.
Sebelum ucapan terima kasih Fafa utarakan, suara melengking perempuan dari depan kelas sukses mencuri perhatian seisi kelas.
“WHAT? FAFA, LO DITEMBAK PAKAI SURAT?”
Ini Gemma, teman sekolah dasar Fafa yang tidak semenyebalkan sekarang.
“GILS! FAFA BAKAL PUNYA PACAR!!! SO SWEET!!”
Hadirin sekalian, Gemma, yang benar-benar semenyebalkan itu.
***
Gemma meringis, mulutnya seketika maju beberapa senti. “Fafa, ih! Maaf elah. Gue kan gak tau kalau ternyata Ozu bukan lagi nembak lo.” Gemma terus mengusap-usap pipi chubby-nya yang baru saja menjadi titik penganiayaan Fafa. “Gila sih, sakit banget cubitan lo!”
Fafa tidak memperdulikan topik ‘cubitan-yang-sakit’ karena ada yang lebih penting baginya. “Gemma, jangan suka ngomong sembarangan. Ozu itu teman sekelasku.”
Gemma mendengus. “Ya, gue juga tau kali. Dan lagi, lo sama sekali gak tau ya soal keadaan hati yang berubah karena ada rangsangan? Siapa tau, kedekatan kalian bisa berefek ke rangsangan tertentu.” Lagi, Fafa mencubit geram pipi Gemma. “Ahh, iya, serah lo aja deh.”
“Aku minta tolong, jangan menimbulkan kesalah pahaman, Gemma.” ujar Fafa pasrah. Ia menghela napas berat. “Ozu hanya berniat untuk membantuku. Dia hanya mengembalikan suratku yang sempat terjatuh sewaktu aku mampir ke ruang latihan drama.” jelas Fafa.
“Duh, bukan cuma tempat jatuhnya aja yang drama, cara kalian berdua juga drama banget.” cibir Gemma masih belum terima. “Surat apaan sih sampai jatuh di—“ Gemma terdiam seperkian detik untuk berpikir lebih jernih.
“Surat—“
“Tunggu,” Gemme menghentikan ucapan Fafa. “BUKANNYA GUE YANG HARUS MARAH SAMA LO?”
Spontan, Fafa menutup telinganya. Suara nyaring Gemma benar-benar beresiko merusak indera pendengarannya.