Sebenarnya, Fafa tidak pernah mengambil pusing mengenai apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Bukan, bukan karena ia terlalu introvert atau bahkan sebegitu cueknya dengan lingkungan sekitar. Bukan juga karena ia tidak ingin menerima kenyataan dan berusaha untuk mengintropeksi diri. Fafa hanyalah Fafa, gadis normal seperti kebanyakan gadis lainnya.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri, Fafa terlalu biasa mendengar pujian orang mengenai dirinya. Pujian bahwa ia pintar, bahwa ia genius, bahwa ia berbakat. Fafa sudah terlalu biasa mendengar ciutan para ibu-ibu yang malah membandingkan dirinya kepada anak mereka sendiri alih-alih menyemangati sang anak agar menjadi yang lebih baik. Fafa sungguh terlalu biasa mendengar seribu satu kecakapannya yang serasa sedang menjadi topik hangat di kaum pemburu nilai.
Maksud Fafa—oh, ayolah—mendapatkan skor TOEFL sebanyak 556 di usia 10 tahun bisa dilakukan jika ingin belajar. Hafal luar kepala kosa kata di dalam kamus bahasa Indonesia-Inggris dengan ketebalan 600 halaman di usia 11 tahun bisa dilakukan jika sering mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari. Pun akan sama kasusnya dengan berpuluh-puluh piagam penghargaan dan medali serta piala yang terpajang manis di sudut kamar Fafa, tentu bisa dilakukan siapa saja jika berusaha dan mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari.
Fafa sudah terlalu biasa. Merasa begitu biasa hingga ia selalu mendaftarkan diri di kejuaran nasional hanya sekedar untuk mengisi waktu luang, sekedar iseng tanpa perlu berpikir panjang. Tentu tidak ada yang perlu dibanggakan, semua bisa melakukan seperti apa yang dirinya lakukan. Ia merasa begitu biasa hingga bosan mendengar kalimat yang sama berulang kali.