Teruntuk Kamu

nothin' on me
Chapter #3

Hidup Yang Kelewat Serius?

Sembari menungu memperbaiki rantai sepedanya yang lepas di bengkel terdekat dari sekolahnya, Fafa hanya dapat menggembungkan pipinya tidak tahu ingin melakukan apa. Biasanya, Fafa akan selalu membawa buku sebagai bahan bacaan kemana pun ia pergi. Saat berlibur ke pantai, betamasya ke kebun teh, bahkan saat mendaki, buku tidak akan pernah lepas dari genggamannya. Namun hari ini berkata lain dikala Fafa harus menghadapi pagi yang menyebalkan.

Ah, benar saja. Jika mengingat kejadian pagi hari, Fafa jadi teringat dengan Ozu. Lelaki yang telah membantunya melarikan diri dari ancaman hukuman karena telah terlambat. Lelaki yang entah bagaimana ceritanya, kini menjadi teman sebangkunya ketika di kelas. Saat Fafa masih menduduki bangku SMP, Ibu selalu mengatakan bahwa teman sebangku memiliki efek yang besar terhadap kinerja belajar dan kenyamanan sekolah. Benar saja, Fafa menyetujui hal tersebut. Pernah sekali di kelas delapan SMP, Fafa benar-benar tidak tahan jika harus lebih lama lagi untuk duduk sebangku dengan Sandy. Bukannya apa, Fafa begitu jengah jika harus diusili Sandy setiap hari. Efek besar lainnya adalah ketika Fafa tidak bisa fokus dengan pembelajaran yang tengah disampaikan guru di depan kelas. Yah, meskipun sebenarnya ia telah mengulas secara dalam terlebih dahulu sebelum guru mata pelajaran mengambil alih, namun tetap saja, pengulasan itu perlu. Satu semester yang benar-benar tak ingin Fafa ulangi kembali.

Suara dentuman pintu mobil membuat Fafa berjengit kaget. Ia menolehkan pandangan ke kiri dan mendapati mobil berwarna merah yang telah melaju melesat pergi. Yang lebih mengherankan lagi, gadis dengan baju seragam yang sama dengannya—oh, sepertinya salah satu murid di sekolah Fafa—mendecak kesal melihat kepergian mobil yang baru saja ia turuni. Fafa berdehem, berusaha tak peduli dan kembali memfokuskan diri pada pekerjan abang bengkel di hadapannya.

“Eh, lo Fafa, kan?!” seru gadis tersebut dengan heboh ketika matanya berhasil menangkap siluet Fafa yang tengah duduk di kursi tunggu bengkel. “Mahatfa Maharani? Suer deh, ini lo?!”

Fafa mengangguk sekilas. Ia mengira, gadis ini akan segera pergi melanjutkan langkahnya dan tak lagi mengindahkan Fafa. Tetapi dugaanya salah. Yang Fafa dapati kini adalah bahunya yang diguncang pelan.

“Ah... udah lama banget gue gak ketemu lo.” ujarnya tersenyum.

Tak mengerti, Fafa tersenyum memaksa sekedar untuk menjaga etika.

Gadis tersebut memposisikan duduk di sebelah Fafa, membuat Fafa sedikit menggeserkan tubuh mungilnya ke kanan agar tidak kesempitan. “Wah, gila! Apa kabar lo? Lo masih sama aja ya, Fa?!” masih dengan antusiasnya, gadis berkuncir kuda ini bertanya. Dihadiahi tatapan bingung, ia mendesis. “Parah banget lo, Fa, udah gak inget gue ya? Ini gue! Gemma!”

Membelalakkan mata, Fafa lebih memutar tubuhnya dan tak lagi menyamping menjauh. “Hah? Siapa?”

Mulai gemas, Gemma mengulangi. “Ih, gue Gemma, Fa!”

“Golf, Echo, Mike, Mike, Alfa?” tanya Fafa berniat memastikan.

“Hah? Gimana?”

Fafa merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Benar saja, ia seharusnya tidak perlu memastikan dengan menggunakan alfabet fonetik internasional. Maksud Fafa, ini Gemma! Pagtakhan Gemma, teman yang menemani masa sekolah dasar Fafa. Ia tidak mungkin lupa dengan teman yang selalu menemaninya bermain jungkat-jungkit sepulang sekolah.

“Hahaha, gue sempat lupa. Lo emang masih sama aja ya.” Gemma tertawa kecil. “Iya, gue Gemma. Dan lo Fafa. Apa deh ejaan alfabetnya, gue gak pernah hafal.”

“Foxtrot, Alfa, Foxtrot, Al—“ buru-buru Fafa membungkam mulutnya. “Eh, maaf, maksudnya—“

“Ah iya, gak papa.” Gemma menjawab ringan. “Gue emang gak salah, ini beneran lo, Fa! Fafa versi dewasa, dan gue yang masih di versi anak kecil.”

Tak urung, Fafa ikut tertawa mendengar candaan Gemma. “Apa kabar, Gem?”

"Gak baik,” sedetik kemudian wajah Gemma berubah lesu. “Eh, enggak. Gue lagi enggak baik.”

“Loh, kenapa?”

“Ya gimana, gue lagi sebel parah, Fa!” jawab Gemma menggebu-gebu. Ia bahkan sampai tak sengaja menendang kaki bangku hingga menimbulkan suara yang cukup gaduh. “Gue lagi berantem sama pacar gue.”

Mendengar kata pacar, Fafa sempat meringis. Ah, jadi Gemma sudah mempunyai pacar. Jika dipikir-pikir, wajar saja. Gemma memang telah menjadi incaran lelaki sejak sekolah dasar.

"Masa iya, gue disuruh jalan sendiri buat pulang. Yah, gue gak masalah kalau harus nyari angkot, atau naik bus, atau becak sekalian. Gak masalah deh buat gue, gue juga bukan cewek yang manja-manja banget. Tapi, yang ngebuat gue keselnya, dia gak ngabarin gue kalau gak bisa ngantar gue pulang!” Gemma menjelaskan dengan penuh ekspresif. “Bayangin aja, gue udah nungguin tuh cowok lama banget di depan kelasnya! Udah kaya apaan banget deh gue di sana. Apalagi ya, asal lo tau, waktu mantan gue lewat, behhh, mati kutu deh gue duduk sendirian di sana!”

Fafa mengernyit mengabaikan seribu satu alasan kekesalannya Gemma terhadap pacarnya dan malah memusatkan perhatiann pada kalimat ‘mati kutu’. Arti mati kutu dalam KBBI sendiri adalah tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa. Maksud Fafa, hanya dengan bertemu mantan, bisa membuat seseorang mati kutu ya? Mantan kan... hanya bekas. Hanya seseorang terdahulu.

Lihat selengkapnya