Demi kewarasan Fafa yang sedang terancam, gadis dengan dua kuncir kepangnya tersebut terpaksa harus melongo tak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini. Fafa sukses dibuat tak bisa berkutik saat semua sorot pasang mata menatapnya penuh penilaian. Seharusnya Fafa tidak perlu heran dengan sikap Gemma yang tidak pernah main-main dengan apa yang ia katakan. Ia tidak perlu heran dengan sikap Gemma yang cenderung lebih menjurus ke arah nekat jika dibandingkan dengan berani—Suts, tolong jangan beri tahu Gemma bahwa Fafa mempunyai pola pikir seperti ini. Fafa sudah tahu, dan ia masih mengingat bagaimana Gemma yang belum juga berubah. Namun, sungguh, bukan hal seperti ini yang Fafa inginkan!
Semua bermula ketika bel pulang sekolah yang menjadi alasan Gemma menemuinya di kelas. Sehari sebelumnya, tepat saat ia pertama kali bertemu dengan Gemma yang sudah lama tak ia jumpai, keduanya memang telah bertukar nomor telepon. Kalau kata Gemma sih, ia akan menghubungi Fafa melalui WhatsApp untuk menginformasikan lebih lanjut mengenai ‘kelasnya’. Ya, benar, Fafa memakai tanda kutip di bagian yang masih mengganjal tersebut. Dari pesan yang Gemma kirim pada malam yang tak sempat Fafa balas karena ia sudah tertidur pulas, Gemma hanya mengetikkan bahwa ia akan mendatangi kelas Fafa—dan abaikan bagaimana cara Gemma mengetahui keberadaan kelasnya—pada saat jam istirahat. Namun nyatanya, Fafa masih belum juga menangkap batang hidung Gemma di kelasnya meski ia sudah menunggu selama setengah jam. Hal tersebut membuat Fafa berpikir bahwa Gemma pasti tengah sibuk, ada urusan yang lebih penting, atau memang tidak mau saja. Fafa tidak ambil pusing dan memilih untuk kembali menyibukkan diri ke dalam buku pelajarannya. Sampai saat bel pulang berbunyi, Fafa yang berencana untuk segera pulang, dikejutkan dengan kedatangan Gemma yang tanpa permisi menarik tangannya keluar kelas.
“Kita akan pergi ke mana?” tanya Fafa berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan Gemma. Fafa bingung, ia ingin pulang, masih ada kelas online yang harus ia hadiri.
Gemma, sang pelaku yang tengah menuntun Fafa, tersenyum tanpa merasa bersalah. “Lihat aja sendiri, ntar lo juga bakal tau.”
Fafa tidak tahu Gemma akau membawanya ke mana. Tetapi, Fafa tahu melihat senyum Gemma yang sarat akan arti pasti membawanya ke suatu hal. “Serius, kita akan pergi ke mana, Gemma?” tanya Fafa lebih tegas lagi. “Aku masih harus mengikuti kelas online persiapan SBMPTN-ku loh. Kalau tidak penting, aku ingin pulang saja.”
Gemma menggelengkan kepalanya tak setuju. “No, no, no. Lo lupa ya, hari ini lo juga lagi ada kelas sama gue, dan kelas gue itu lebih penting buat lo yang sekarang dibandingkan sama...”
“Kelas persiapan SBMPTN-kum kelas persiapan untuk ujian masuk perguruan tinggi.” sambung Fafa cepat.
“Yah, apa deh yang tadi lo bilang.” ujar Gemma membuat Fafa mengernyitkan alis. Tipikal Fafa sekali, jika sudah benar-benar bingung. “Kalau untuk soal pelajaran, gue yakin deh, lo gak perlu pakai tutor segala. Belajar sendiri juga lo pasti nangkep poinnya. Iya, kan? Tapi kalau soal gimana caranya menikmati hidup di masa SMA dengan wajar, gue justru bisa jadi tutor nomor satu buat lo.”
“Tapi—“
Belum sempat Fafa mengutarakan alasan yang lebih logis mengenai perihal ‘ia-yang-masih-merasa-wajar-dengan-kehidupan-SMAnya-sekarang' ditambah dengan ‘jadi-tidak-perlu-ada-kelas-merasa-wajar-untuknya', Fafa sudah lebih dahulu digiring masuk ke dalam ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya latihan drama. Fafa sudah pernah ke ruang latihan drama ini sebelumnya. Pada hari pertama Fafa pindah, guru seni budaya memintanya untuk mengambilkan beberapa naskah drama dari ruang yang memiliki ukuran cukup besar tersebut.
Gemma menyodorkan tempat duduk kepada Fafa, meminta temannya tersebut agar menunggu sebentar alih-alih terus-menerus menatap dirinya dengan penuh pertanyaan dan penolakan. Lalu setelahnya, Gemma berjalan menjauh hingga memasuki tirai yang membuat tubuhnya tak lagi dapat ditangkap oleh retina mata Fafa. Jelas saja Fafa tambah merasa janggal saat selang lima menit, ruangan mulai ramai. Ia menyadari beberapa lelaki dan perempuan yang tak dikenalnya, ikut mengambil tempat duduk disekitarnya.
“Oke, selamat datang kembali untuk anggota klub drama di siang hari yang lumayan panas ini.”
Suara dari depan mengagetkan Fafa. Ia meneliti Sang Pembicara dari ujung kepala hingga kaki. Baiklah, yang Fafa dapat dari pengamatannya ; sepertinya, yang berbicara di depan adalah seorang kakak kelas (terlihat dari almamater OSIS yang ia kenakan).
“Mungkin sebagian udah pada tau ya, karena gue juga udah umumin hal ini di grup supaya kalian ada waktu untuk berpikir. Langsung aja, gue sama temen-temen gue mau nampilin drama bertema anak sekolahan. Dan gue mau dari lo-lo semua, wahai adik-adik gemes yang baru masuk di klub drama, untuk jadi pemeran di drama kali ini.”
Gemma menunduk sedikit sembari melangkah mendekat. Ia menepuk bahu Fafa saat telah berhasil duduk di samping gadis tersebut. Gemma hanya tertawa kecil melihat Fafa yang tampak terkejut.
“Kamu dari mana Saja?” tanya Fafa berbisik.
Tak menggubris, Gemma malah mengisyaratkan Fafa dengan satu jarinya yang menutup mulut. “Suts, dengerin kakak pembinanya ngomong.”
“Dan makasih buat yang udah mengajukan diri sebagai calon pemeran, gue apresiasi untuk keberanian kalian dan keaktifan kalian. Karena serius, emang semangat tinggi yang kaya gini nih yang gue mau dari adik-adik gue.” ujar kakak pembina. Ia bertepuk tangan bangga yang langsung diikuti oleh seisi ruangan. “Sekarang, buat nama-nama yang gue sebutin, silahkan maju untuk ngambil salinan naskah dramanya.”
Fafa menyimak dengan santai nama-nama yang telah disebutkan. Ketika ia mendengar nama Gemma juga ikut disebutkan, Fafa sempat menoleh meminta penjelasan. Namun lagi-lagi, Gemma memilih menghiraukan Fafa dengan melambaikan tangannya lalu beranjak ke depan. Baiklah, ini masih di tahap wajar. Semua masih Fafa anggap wajar sampai ia harus merutuki dirinya sendiri dikala mendengar namanya terpanggil.
“Mahatfa Maharani dari IPS-1? Helo, adik-adik, yang merasa namanya dipanggil segera maju ya.”
Fafa selalu senang jika ada yang memanggil nama lengkapnya. Bukan karena apa, rasa senang Fafa didasari atas dasar makna yang mendalam dari namanya. Ini nama pilihan kakeknya, kakek Fafa yang sangat Fafa sayangi. Mahatfa yang merupakan pengaruh dari budaya India dan merupakan perubahan dari nama sang pahlawan India itu sendiri—Mahatma Gandhi dengan jiwa demokratisnya. Untuk Maharani sendiri, ini nama yang menjadi pilihan Ayah dan Ibunya. Fafa selalu senang jika ada yang memanggil nama lengkapnya. Hanya saja, entah mengapa, mendengar nama lengkapnya disebut sebagai calon pemeran drama justru tidak membuat Fafa senang.
Ya ampun, Fafa tidak mau, ia sungguh tidak bisa bersandiwara.
***