Semua yang berlalu seolah seperti diluar batas kemampuan Ku. Padahal Tuhan sedang melatih dan menempa Aku, hingga aku terbiasa hidup lebih besar dari semua masalah masalah ku.
Diawal atau pertengahan tahun 2002. Itulah momen disaat Aku melanjutkan pendidikan untuk tingkat SMP / Tsanawiyah. Di Pondok Pesantren Nurul Islam di Blang Rakal, Bener Meriah - Aceh. Semua hal hal baik yang kumiliki hari ini, 80% nya dimulai dari Pon Pes ini. Hidup mondok di pesantren itu sangat keren, karena semua yang kita lakukan serba mandiri. Satu keuntungan bahwa kita pernah menjadi santri di pesantren adalah kita terlatih untuk tidak bergantung pada orang lain.
Sejak usia 12 atau 13 tahun. Aku sudah sangat terlatih mengerjakan segalanya sendiri. Bukan egois, tapi lebih pada mengambil tanggung jawab pribadi atas segala masalah yang dihadapi. Sementara yang lain menganggap kalau tiada masa paling indah, selain masa masa disekolah. Menanti pacar, menatap barisan semut di dinding, hingga berdusta pada guru. Tapi tidak dengan Ku, keindahan masa mondok di asrama, tidak Ku gambarkan dengan hanya menatap barisan semut di dinding, tidak ada pacar, apalagi sampai berdusta pada guru / ustadz.
Aku adalah satu deri sekian santri yang sangat tidak menyia nyiakan setiap hari hari Ku di Pesantren. Selain kemandirian, Aku juga sangat tertarik menimba ragam ilmu yang sangat unik di Pesantren. Hari hari Ku penuh dengan belajar, tafsir, ilmu hadits, balaghoh, muthola'ah, Nahwu, Sorof, Mahfuzhot, Fiqih dan lainnya. Bahkan Aku sempat bergabung dalam kelompok Ekstrakurikuler Pesantren di "Jami'atul Mubhalighin" komunitas belajar dakwah / ceramah. Disamping itu juga, setali tiga uang dengan semangat mendalami ilmu agama diatas. Aku juga sangat konsisten dalam memepelajari ilmu bahasa, baik bahasa inggris lebih lebih lagi bahasa arab.
-- Kisah Penuh Emosional Saat "Ayah pernah datang ke Pesantren"
Suatu ketika, saat aku sedang berada di dalam kelas. Tetiba aku dipanggil, dan diminta untuk kembali ke Asrama. Ternyata, Aku kedatangan tamu yang tidak biasa, dialah Ayah. Setelah sapa dan salam, Ayah pun menyampaikan perihal dia menemui Ku di Pesantren. Ternyata Ayah meminta bantuan Ku untuk membantunya, berjualan lukisan keliling ke Kota Banda Aceh. Kota itu jaraknya 8 Jam perjalanan darat dari Pon Pes tempat Aku mondok.
Tanpa pikir panjang, Aku yang masih 13 tahun itu pun langsung mengikuti Ayah ke Kota Banda Aceh untuk berjualan lukisan. Ternyata disana, sedang ada pameran lukisan disalah satu Hotel ternama. Karena banyak orang asing "Bulek" jadi Ayah pun meminta Aku untuk menerjemahkan penjualan lukisannya dalam bahasa arab/inggris. 4-5 hari berlangsung, Pameran pun selesai kami hanya mampu menjual 2 buah lukisan kecil dari 28 lukisan yang dipajang. Nilai 2 buah lukisan itu Rp. 1,7 Juta ( Satu juta tujuh ratus ribu rupiah) ditahun itu sekitar 2003.
Dirasa masih kurang, maka Ayah pun memutuskan untuk menjual sisa lukisannya dengan berkeliling "berjalan kaki sambil dipanggul". Saya ingat, pada saat itu, 2 hari kami menyisir kota Banda Aceh untuk berjualan lukisan keliling. Tidak ada yang laku, sampai tiba di sore hari terakhir kami berjualan. Kami melewati sebuah komplek perumahan, "Seorang ibu memanggil dari halaman rumahnya.