Hidup sekali, mati sekali, maka celaka bila kita hidup tanpa naungan dan Ridho Tuhan (Allah Swt). Hidup ini pada akhirnya hanyalah kesempatan untuk menjadi baik dihadapan Tuhan. Memang benar, semua yang terjadi dan menimpa setiap jengkal kehidupan ini telah dituliskan Nya. Namun, jangan lupa bahwa kita adalah hamba yang masih punya wewenang dalam lembar lembar do'a untuk menego takdir dan catatan kehidupan yang baik Kepada Tuhan. Maka segeralah gunakan hak kita untuk menego takdir yang baik, jangan menjadi seperti mereka yang berputus asa, karena merasa sendiri didunia, kosong dan lantang hidup dengan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Semua telah tumpah ruah terkisah dalam lembar demi lembar goresan karya ini. Puluhan ribu kata yang telah tersaji, diharap mampu menggugah, menginspirasi hati yang selama ini gersang, buntu dan seolah hampir saja mati. Namun itulah satu dari keindahan hidup yang tidak banyak diketahui banyak pribadi, bahwa kita ini hidup mestinya saling berbagi. Tidak bisa berbagi materi, bagilah tenaga yang masih dimiliki, pun tak mampu dengan tenaga, maka bagilah dengan ide ataupun gagasan baik yang memberi solusi. Jika dengan membagi senyum simetris pun sulit, paling tidak do'akan lah mereka, karena sungguh do'amu untuk mereka adalah do'a yang paling Allah Swt kabulkan untuk dirimu sendiri. " Inilah sepenggal nasihat pribadi, yang terus masih kujaga."
Segala kisah telah sengaja dipertaruhkan dinovel ini. Semua fakta dan kisah nyata yang menganga juga siap untuk diambil pelajarannya. Aku hanya tertegun, menunduk diperaduan Sang Khalik disejadah subuh Ku pagi ini, lalu berkata " Tuhan, terima kasih. Tuhan, terima kasih untuk kesempatan hidup. Dimana Engkau izinkan Aku merasakan semua perjalanan panjang yang membesarkan ini." Sungguh benar, hanya pembuat tembikarlah yang paling tahu, kapan tembikar itu selesai, siap dijual dan berharga pasar yang tinggi.
Kita ini ibarat tembikar yang baru saja siap dibentuk dan masih basah. Lalu dijemur dibawah terik matahari, saat dijemur, kitapun bersuara, mengapa pembuatku hanya membentuk diriku polos seperti ini ? tidak diwarnai, tidak dibuatkan pegangannya ? kalau diriku hanya dibentuk polos dan tak berwarna seperti ini mana ada yang mau membelinya ? bahkan sekarang aku dijemur lagi !.
Begitulah kita yang terus masih setia memarahi Tuhan, dan melihat diri yang terus semakin kurang. Kita dengan pengetahun terbatas, hanya melihat diri kita yang sekarang, tapi Tuhan dengan Maha PengetahuanNya yang tanpa batas telah melihat proses kita dibesarkan. Bahwa tembikar itu memang harus dijemur untuk dikeringkan, karena proses pemasangan pegangan tidak bisa dilekatkan saat badan tembikar masih basah. Begitupun dengan proses cat atau pewarnaannya, mestilah menunggu badan tembikar itu kering dulu, lalu digosok atau dihaluskan barulah setelah itu siap untuk diwarnai.
Aku menceritakan, seperti itulah diriku yang terus saja mengeluh. Saat dibentuk aku mengeluhkan, kenapa bentukku tidak seperti yang lainnya. Saat dijemur aku juga mengeluhkan, kenapa mereka tidak dijemur. Saat dihaluskan aku juga mengeluhkan, kenapa mereka langsung diwarnai, bahkan setelah diwarnaipun aku mengeluhkan, kenapa aku tidak dipajang di lemari kaca yang mewah ? pada saat itu kita lupa, bahwa dulunya kita bukanlah siapa siapa. Hanya setumpuk tanah kering yang tidak berguna. Berterimakasihlah, karena paling tidak Dia telah menciptakan Saya, Anda dan kita semua.