Baru saja hujan selesai turun, tiba-tiba matahari begitu saja datang dengan teriknya, lagi-lagi awan sebagai tempat persembunyian lingkar sinarnya. Pagi ini aneh rasanya, hujan seakan tak pernah datang, padahal suaranya keras sekali diatas genting.
Hujan adalah kepastian yang berulang, masih banyak tersisa di dedaunan, mulai pergi dan menetes kebawah. Air hujan yang sama jatuh untuk kedua kalinya.
Tak hanya hujan, banyak suara terdengar persis dibawah susunan tanah liat basah itu, padahal tidak ada suara musik menyambar ruangan. Tertawa dan celotehan menjadi pusat kebisingannya.
Pandangan mata rambu lalu lintas di sebrang jalan, tidak merasakan hiruk pikuk penghuninya. Di sekeliling bangunan itu berjaga-jaga pohon besar, seakan menjadi peredam suara raksasa. Daun dan batangnya membentang luas mengelilingi barisan kaca kayu tua berwarna putih, terus bergoyang dimainkan angin.
Sebuah Restoran mewah kaum borjuis, berubah menjadi sebuah kekacauan ruang belajar Taman Kanak-kanak. Rangkaian dekorasi sedang disusun ke segala penjuru ruangan, beberapa orang disana mengerjakan tugasnya untuk itu, pengerajin lainnya bergaya seakan-akan mahir meramunya.
Restoran ini pun tidak mau kalah bergaya, penampakannya natural, hampir terlihat seperti pohon sedang tumbuh membentuk ruangan, dengan kayu-kayu besar disetiap sisi ruangan.
Atapnya terlihat kuat, dibalut ornamen ayaman kayu, kokoh tapi mengakar, menopang kaca-kaca jendela dibawahnya. Ketika jendela itu dibuka lagi-lagi terlihat kayu besar tertancap ditanah, masih tumbuh bersama ranting dan daun. Kulit pohon itu masih juga terlihat mengelupas basah.
Ruangan dibawahnya, setiap mejanya sudah tersedia perlengkapan makan bernuansa mewah, dengan susunan lilin-lilin diletakkan diatas cabang-cabang tempat lilin dari tembaga. Mejanya terbuat dari kayu Bubinga, sekeliling sisinya diukir memanjang, dengan gradasi alami ditengahnya.
Bunga segar tak serupa bentuknya, namun berwarna putih semua, terlihat asik memadukan rasa, semuanya menyejukan mata.
Tatapan matahari menembus sela-sela dinding Restoran, bayangan tegak lurus bertumpu kepada benda-benda yang menghalangi jalur sinarnya. Di sekitar bias sinar disekitar, terlihat format wajah bahagia terbingkai kayu, dua wajah itu ada dimana-mana, serasi.
“Lebih terlihat romantis kalo nama gue,” Ewok berbisik mendayu-dayu, merangkul bahu Abe dengan tangan kiri.
Seraya berkata alis pemuda itu terlihat mulai meninggi, wajah tengil andalanya sudah terpancar, keningnya berlapis garis.
Abe mulai mengerutkan dahinya dan mencoba mencari buah pikiran dari ucapan sahabatnya itu. Tatapan Abe penuh selidik, mengarah serupa ke tulisan nama pria dan perempuan di latar depan hiasan dekorasi. Bahunya bergerak mengelak.
Dia masih belum bisa menemukan makna positif dari ucapan Ewok barusan, selain raut wajahnya yang mulai risih.
“Nama lo lebih romantis di batu nisan Wok!” Abe menyanggah perlahan dan masih menatap lebih dalam ke arah tulisan itu.
“Wahh! Nyari koreng barusan kata-kata romantis lo itu Be!” Ewok menyatut tidak terima, kemudian menarik rangkulan bahu Abe layaknya hendak mencekik.
Dengkusan tubuh Abe terasa begertar, mencoba memberikan perlawanan.
“Emang romatis banget gak si?” Abe meringiskan garis bibirnya, mencoba terus melengah rangkulan.
“Romantis dari sisi mananya Be? Asli gue nanya ini!”Sambil melihat kearah wajah Abe, alisnya sudang dikerutkan, bibirnya sudah bergerak-gerak.
Masih serius melihat kearah latar depan dekorasi Abe berbisik pelan, tapi suara masih jelas terdengar.
“Kapan lagi lo ditaburin bunga sama cewe-cewe didepan batu nisan lo Wok?” Sambil mulut menganga, Ewok menyerahkan gunting kegenggaman Abe.
“Romantis banget Be! Plis banget Be, lo bunuh gue sekarang aja deh, cape gue jomblo, kapan lagi didatengin cewe-cewe bawa bunga.”
Mendengar kata-kata mutiara yang tidak ada kilau-kilaunya, Ewok langsung menarik paksa Abe. Beringasan mengait peluk. Abe tak ingin lama-lama berpelukan, gerak-gerik ingin berontak, terlampau keras tangan Ewok memegang bokongnya dengan sengaja.
“Stop! Gak pake di remes!” Abe menepis kencang tangan Ewok. Menyorotkan matanya.
“Sejak kapan lo suka becanda?” Ewok bertanya heran.
“Kenapa?”
“Gue nanya jangan balik nanya Be!”
“Kalo lo keganggu, Sorry deh.”
”Kann...kann...arwah lo dah balik ke badan lo lagi.”
”Kenapa?” Abe dengan muka datarnya, terus mengintai Ewok.”
“Mulai serius dan ngebingungin lagi lo Be.”
“Sesekali boleh lah,” Abe mengucap tanpa menatap, merapikan bajunya yang sedikit lecek.
“Iya tapi muka selalu serius lo itu, sesekali lo lemesin dikit dong, jadi kesan jenakanya ada Be!” Ewok menjelaskan penuh dramatisasi.
“Apaan? Soal lo mati tadi gue serius kok!” Abe menyorot ketus, wajah datarnya masih dia pasang tanpa goyang sedikitpun.
Mendengar itu Ewok hanya bisa menelan ludahnya banyak-banyak. Ternyata Abe masih pria kaku dan berurat serius, bercandanya sangat menyebalkan dan menyeramkan.
Ewok dan Abe masih sesekali melihat suasana sekitar mereka, sesekali pandangan mereka bertemu di satu putaran mata, sebentar lagi sahabat mereka itu akan meninggalkan mereka berdua, pergi dengan pilihan hatinya.
Ewok dan Abe memang selalu saling iseng dan berseteru, perilaku itu membuat mereka tidak terpisahkan, walaupun sebenarnya Ewok yang terus mengganggu dan menggoda Abe. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri bagi Ewok, untuk terus menggoda keseriusan hidup Abe bersama muka datarnya itu.
Terawang muka Abe bukan muka tampolan atau nyolot, tapi ada aura arwah Abe yang memanggil untuk diisengin Ewok.
Abe menjadi sasaran keusilan Ewok dari zaman mereka kuliah bersama. Abe hanya membalas dengan tatapan wajah tajam penuh kesal saja, dari setiap keanehan, dan keusilan Ewok kepada dirinya. Tatapan itu selalu sama, seakan wajah Ewok seperti rendang yang segera ingin dilahapnya.
Kalau terus dicecar Ewok, Abe hanya berbicara dengan cuap-cuap ujung jarinya.
Belakangan ini Abe sudah tiga kali memunculkan senyum. Ewok menghitung dalam hati sambil mengangguk-angguk kikkuk. Lumayan lah, mengingat zaman kuliah, Abe kaku banget kaya pagar candi Prambanan. Ewok menghitung asal, sudah seratus kata lebih dia meladeni congornya hari ini.
Bisa jadi itu buah pertapaan Abe ketika satu minggu berkelut di Gunung Argopuro sendirian.