TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #4

Kesungguhan

Pantulan perempuan cantik terekam di dalam cermin, seorang lainnya menyibukan diri merias seluruh wajah perempuan itu. Wajah cantiknya menular persis keluar cermin, sangat jujur menggambarkan senyumannya, cermin menjadi salah tingkah.

Tidak lepas dari hanya riasan cantik di wajah, tetapi juga balutan kebaya putih anggun, mencoba menampakan bahu mungil dan sexy. Lekuk tubuhnya meliuk diatas kursi.

Dengan tetap memandang kearah cermin, bibirnya di lipat perlahan, terpulas lipstik merah jambu mencuat merata. Bibirnya terbuka sedikit dan melengkungkan simpul senyuman.

“Haloo sayang, jangan terlalu cantik ya,” suara Ramon dibalik Ponsel perempuan itu. Wajah perempuan itu merona.

“Telat kamu, sudah terlanjur.”

”Ohhh...sure?” Aku mau liat dong, aku kerumahmu ya?”

”Jangan sore hari, malam hari aku lebih cantik.”

Alis Ramon menanjak, menganggukan kepala.

“Sore hari sudah cukup buat aku.”

”Maaf sore ini aku sedang sibuk, hee,” setengah senyum terangkat.

Damn...aku benci sore hari!”

”Sama aku juga.”

So...where are you Mr. Moonlight?? How sad I am!” Ramon mengeluh, dalam senyum kerinduan.

“Biar aja. Supaya kamu menderita rindu kronis,” senyumannya memantul jelas di cermin paling beruntung itu.

*****

Ramon berjubah batik berbahan sutra, motif batik Sogan. Ramon terlihat rapi dan tampan, apalagi rambutnyasudah direktakan pomade. Biasanya dia malas merapikan rambut poninya yang mengguntai. Ramon berulang-ulang kali memantapkan tubuh dengan batiknya, memantaskan dan membiasakan diri.

Papinya membantu untuk mengancingkan lengan tangannya.

“Dulu Kakekmu juga membantu Papi, dalam prosesi menjelang melamar mamimu,” Papi Ramon berhadapan sama tinggi, jarinnya menyamatkan kancing di tangan Ramon. Ada wajah kebanggan terlihat disana. Roy terus memandangi anak sulunghnya. Ada potret wajahnya terdahulu.

“Terimakasih Pih, semua orang terdekatku melakukan ini semua buat Omon, Thank you!” Ramon menyebut nama kecilnya, mulutnya berkedut, menahan haru.

“Iya semuanya termasuk Mami,” Roy samar-samar berucap, semburat tatapan Ramon menatap Roy. Tidak berkedip barang sebentar. Tajam.

“Mamih melihat semuanya dan surga sedang berpesta bersama Mamih,” Ramon mengelah nafas panjang, tergeragap ingin bicara lagi.

“Siapapun calon Omon, Mami pasti merestuinya disana, walaupun Mami tidak mengenal baik, Mami yakin isi hatinya pasti baik,” matanya menatap langit-langit. Semua berjaga-jaga air mata.

Selepas kata-kata Roy, wajah Ramon berubah menjadi sendu.

”Papi rindu mami, sangat merindukan Mamimu, aku melihat Omon, terlihat persis, ketika detik-detik Papi melamar mamimu,” Roy bersuara lirih, air matanya jatuh tak terelakan. 

Mendengar keharuan Roy, Ramon mulai terdiam, mengerutkan matanya, menyadarkan kekalutan. Kata-kata Roy tidak akan di restui oleh alam raya, untuk disampaikan kepada maminya di surga.

Rasa emosional Ramon mulai bergejolak. Nafas dan bahunya berlomba-lomba naik ke atas.

“Atas itu semua, Papi meminta maaf kepadamu dan Mami,” matanya berkaca dan basah, melelehkan air ke pipi.

Mendengar itu, wajah Ramon sedikit berubah, rahangnya menguat, tidak ingin menanggapi. Ada petir dikepalanya.  

Terang lampu jalanan menyilaukan malam, menerangi bulan yang sedang kesepian, menyendiri. Tepat pukul delapan malam, Ramon keluar dari kamar Roy, bersiap untuk pergi ketempat acara pertunangannya.

Ruang tamu penuh keceriaan, memamerkan riasan diri dan celoteh bergantian, penuh suka cita. Dua keponakan kecil Ramon berhambur menghampiri Ramon, sampai-sampai gaun putihnya terlihat berterbangan.

Keduanya memeluk Ramon, dan disambut dengan pelukan balasan. Mika dan Ruth menjadi pendamping Om Omon.

*****

Di jalanan luar, terlihat rintik hujan turun membasahi jalanan. Angin berhembus memaksa pepohonan bergerak meneteskan air hujan diujungnya. Aspal menjadi legam karena basah.

Ramon berjalan menuju mobil Roy, Lexus hitam LM 350. Muncul paling depan dari barisan kendaraan lainnya.

“Sang pangeran jangan sampe kena hujan, ntar luntur alisnya,” Edo menggoda empunya acara. Memayungi Ramon. Menghindarkan dari serangan air hujan.

Thanks ya bro atas pengamanan orang dalam, biar tetap tegak alis gue ini,” Ramon menepuk bahu Adiknya. Bibir Edo muncul diujungya, membanggakan diri.

Dia bergegas mengantar Ramon, tangannya masih mengokohkan payung, padahal teras rumahnya beratap megah, mobilpun tak basah sama sekali. Edo selalu Gimmic. Edo menggagumi Kakak satu-satunya, sebagai anak bungsu, Ramon menjadi role modelnya. Hobi dan gayanya hampir sama. Edo pewaris tunggal barang-barang kakaknya, dari baju, video game, buku-buku, tapi tidak dengan motor dan mobilnya.

Hobi dan game permainan mereka, masih satu angkatan sembilan puluhan, keduanya hanya terpaut tiga tahun.

Lihat selengkapnya