Ramon bangun dari tidurnya, memegarkan bola matanya, wajah kusutnya tetap memancarkan raut wajah berbunga-bunga. Ramon harus bangun, dalam mimpinya dia dirundung khawatir hendak kencing. Ramon harus menyadarkan dirinya bahwa mimpi itu sungguhan.
Minggu lalu, Ramon tertipu dan sedikit ngompol, sebelum akhirnya sadar. Entah kenapa kalau kebelet kencing, tiba-tiba muncul jadi satu bagian cerita dalam mimpi, Random, absurd. Bahunya bergetar, wajah diangkatnya keatas sebentar, pertanda Ramon sudah selesai.
Ramon membalikan badannya, mampir ke sebuah cermin di sebelah kanannya. Dia bercermin sambil merapikan rambut ikalnya, poninya mulai mengguntai di dahinya. Dia terus memandangi cermin, memfokuskan pandangan dan mencoba merapikan poninya.
Diwajahnya ada alis yang bertaut, mengingat pertunangan dengan Gadis tadi malam. Dia meyakinkan semuanya itu bukan hanya sekedar mimpi, seperti kencing dicelana, sesuatu yang nyata seakan tidak benar.
Suasana kamar Ramon masih terlihat berantakan, padahal tiga hari yang lalu Gadis hectic merapikannya. Kamar berantakan memanggilnya untuk kembali tidur. Sehabis kencing, tarik selimut, hati tenang, tidur pasti pulas. Ramon melompat dan berguling meraih selimut, menghindari serangan dinginnya pendingin ruangan.
Seketika mata tertutup, Tiba-tiba Ponsel Ramon berdering, Over The Horizon, Samsung.Sebelumya nada deringnya lagu Scorpion, Still Loving You, dia berusaha keras menggantinya.
Matanya masih tertutup, tangannya meraba-raba sumber suara itu, didapatinya nama Gadisku dilayar Ponsel, matanya terbuka lebar. Ramon mengangkat telephone, dan mendapati bahwa Gadis sudah berada di depan rumahnya, berdiri didepan pagar besi menjulang tinggi.
“Sayang aku udah didepan rumah kamu, barang bawaanku berat,” suara Gadis di balik ponsel Ramon.
Wajah Gadis terganggu sinar matahari pagi, dia menutupi dengan punggung tangannya. Dengan suara serak dan berat Ramon bertanya kepada Gadis.
“Barang-barang apaan sayang? Kamu diusir sama orangtuamu gara-gara tunangan sama aku?”
“Apaan sih kamu mulai gak jelas deh, buruan sayang! Jangan-jangan kamu lupa kita mau ke Bali siang ini?” Gadis merengut agak kesal, menunggu jawaban Ramon.
Ramon mulai mengingat-ingat dan merasa kaget, kalau dia lupa siang ini akan pergi ke Bali bersama Gadis, Abe, Ewok dan Mia.
“Damn! Skip lagi gue,” Ramon bergumam, hanya menggerakan bibirnya, “ohhh...Bali ya, ini lagi siap-siap kok sayang makanya aku bisa bangun pagi,” Ramon kalangkabut mencari koper miliknya.
Ramon keluar dari sarang tidurnya, mengambil baju-baju di lemari, dan menumpuk tidak beraturan di tempat tidurnya, seolah-olah dia sedang berkemas.
“Iya sayang aku ke depan ya.” Dengan keribetannya, Ramon menuruni tangga dan bergegas menuju ke pintu gerbang rumah.
****
Dipergokinya Edo dan Roy diruang tamu. Kedua dalam satu ruangan tetapi dengan dimensi pikirannya masing-masing.
“Weiss! Tumben weekend bangun pagi lo,” Edo berteriak, menatap terus langkah tergesa-gesa menuruni anak tangga.
Edo masih asik main game di laptopnya, ditelinganya dibekap headphone.
Ramon menanggapi dengan buru-buru, “Iyalah mau ke Bali, Holiday time bro, piknik...piknik!” ledek Ramon sambil bergegas ke arah depan rumah.
Wajah Edo berubah mupeng, main Mobile legend menjadi kurang seru. Edo geragasan melepas headphone.
“Pagiii Pih!” Ramon sekilas menyapa Roy didepan Piano Steinway and Sons berwarna hitam. Menepuk pundak.
Roy sekilas mengedikan, jarinya sedang berselancar memainkan lagu “Love Of My Live”, Queen. Roy menoleh heran ke arah Ramon, Alisnya berlomba naik keatas keduanya. Anak sulungnya bangun pagi. Rambut ikal berantakan Ramon bergoyang tergesa-gesa, berbeda jauh dengan rambut putih beruban Roy yang selalu tersisir rapi. Anak rambutnya tidak pernah sampai menyentuh telinganya.
Roy salah satu pengusaha sukses di Jakarta, dia memiliki perusahaan yang bergerak dibidang tekstil. Ramon tidak tertarik dengan bisnis Roy, tepatnya suatu pemberontakan meneruskan usaha keluarga. Walaupun wajah Edo lebih mirip ibunya, tetapi jiwa bisnisnya mengalir dari Roy. Harapan Roy salah satu anaknya bisa maneruskan bisnis keluarga. Terobosan penjualan online merupakan sumbangsih ide Edo. Roy sangat mengapresiasikan.
*****
Sampai didepan garasi mobil, Ramon disambut oleh Goldy, kepalanya menekuk miring, ikut heran kalau tuannya sudah bisa bangun pagi. Goldy melompat kearah Ramon untuk mengajaknya bermain, dimulutnya ada bola tenis kesayangannya. Bola itu pemberian Roy, hobinya bermain Tenis. Bola itu terpaksa diberikan, setelah Goldy mengejar bola itu, ketika Roy sedang berlatih tenis sendiri di halaman rumahnya.
Goldy menolak untuk mengembalikan bolanya, air liur sebagai tanda siapa pemilik barunya. Sambil berjalan, Ramon mengelus-elus leher Goldy, mengunyel keatas kepala, bulunya bergoyang lembut dijemarinya. Gerbang terbuka, butuh usaha untuk menggesernya. Peluh Ramon mulai keluar di hajar terik. Ramon dan Goldy mendapati Gadis sedang berdiri di depan pintu, dua koper bawaanya ikut berbaris dikedua sisinya.
“Halooo! Sayang, Sorry,” Ramon menyambut, melepas peluk.
“Bau asem. Sampe perih mataku. Belum mandi ya?” Gadis mendengus, mengerutkan bibirnya.
“After Packing baru mandi, pagi-pagi airnya masih dingin banget,” Ramon menaikin sebelah alisnya.
“Alasan ya, kaya tinggal dihutan,” Gadis memukul udara.
Goldy ikut menghampiri mereka dan melompat kearah Ramon dan Gadis, dia masih berusaha mengajak bermain lempar bola.
”Hayyyy! Goldy kok lebih wangi dari tuannya, mau dipeluk juga ya, sini...sini aku peluk!” Gadis menyanggah kaki Goldy. Bercanda-canda.
Ramon merasa keberatan membawa dua koper sekaligus milik Gadis.
“Isi bawaan wanita apa saja sih?”
“Cemburu! Pagi-pagi udah peluk-peluk Goldy.” Ramon melihat Lidah Goldy menikmati perlukan tunangannya.
Gadis melihat raut mutung Ramon, berjalan tanpa alas kaki, lekas pergi manahan panas aspal jalanan.
“Come...Goldy...come!” perintah Gadis, melambaikan tangannya. Memanggil-manggil.
Setelah melewati gerbang rumah, Roda koper Gadis berhenti di satu tanjakan.
“Yang aku mau ngomong,” melihat kearah Ramon, wajahya prihatin sekali.
“Ngomong apa yang?” alisnya saling bertemu, hirau melihat wajah Gadis, serius ingin mengetahui sesuatu.
“Beneran lebih wangi Goldy sama kamu, ”Gadis berseloroh diiringi ekspresi senang Goldy, menggelengkan kepalanya, seakan-akan mengetahui pembicaraan Gadis dan Ramon.
“Udah peluk-peluk Goldy, sekarang muji-muji dia lagi, tinggal nih kopernya,”Ramon bergerak maju, hendak meninggalkan koper Gadis.
“Bercanda sayang, aku kan kalau bercanda suka serius,”Gadis menggandeng tangan Ramon, dan menariknya masuk ke dalam rumah. Wajahnya benar-benar serius.
“Aee...Kapan keluarnya ini kaka Omon?” Markus melongo, raut dahinya ditarik kebingungan, sambil membereskan celana bahan berwarna biru.
Ramon dan Gadis dihadang Markus, Satpam Rumah Ramon. Pemuda Timur dengan logatnya yang khas. Cara ngomongnya sudah siap baku pukul, tegas dan penuh ancaman.
Markus belum sebulan di Jakarta, bawaannya mau perang suku terus. Gadis sampai kaget melihat pria perawakan besar, berambut keriting, kulit hitam metalic berdiri melintang dihadapannya. Gadis baru pertama kali melihat Markus Belum satu minggu Markus bekerja.
“Hmmm...setiap gue mau keluar pasti kamu lagi buang air ?” Ramon menggaruk-garuk poni ikalnya.“Iya kan?”
Markus masih sesekali membereskan celananya, wajahnya melengos.
“Ahhh...kaka Omon ini, setiap saya pegi buang air, baru kaka Omon mau keluar rumah, tau sekali kapan perut saya mules eee....,” Markus mesem-mesem, tangannya bergerak tidak bisa diam, mengelus-elus perutnya.
“Gak kebayang Markus, diem aja sangar begini, kalo mules trus ngeden, muka kamu kaya mau bunuh orang kali ya,”Ramon menyeringai, tertawa.
Disebelahnya Gadis menahan tawa, senyum pun dia cegah, mataya melebar.
“Eee...siapa bilang? Waktu sa kecil sa pu mama bilang lucu imut setiap tunggu saya buang air disungai, menatap bangga begitu, jongkok diatas batu, kadang sa jongkok satu kaki, skill tohhhh?” Markus berkacak bangga.
”Itu kan waktu kecil Bro.”
”Aeeee...siapa bilang,” Markus cepat menyelak, wajahnya mencoba menunjukan keimutan itu.
Seketika bibirnya disimpulkan kedepan, menariknya lagi, melengkungkan senyum, sambil terus menatap ke wajah Ramon dan Gadis. Markus merasa lucu imut itu masih ada, gambaran dipikiranya benar-benar masih ada, dia terus menunjukkanya.