TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #6

Televisi #2

Sebelum punah, kita bagi dua jenis manusia di dunia ini, manusia jorok dan suka kebersihan. Gadis salah satu jenis manusia paling bersih didunia ini. Dia membenci jenis manusia satunya. Tapi entah kenapa Gadis jatuh hati dengan jenis manusia satunya, Ramon.

Mungkin ada kebersihan lain yang ada didalam diri Ramon. Pikirannya? Tutur kata? Hatinya? Tanya saja Gadis. Hatinya sudah disapu bersih oleh Ramon.

Konservatif dan Gadis. Mengikat satu sama lain. Keteraturan. Mencoba menjalankan skema kehidupan dengan tertata rapi, sistematis dan perfectionis. Terasa kaku dan kolot. Tapi disitulah adanya kepastian hidup, tidak ambiguitas. Ramon? Sebaliknya, menikmati hidup dengan luwes. Kepasrahan alur kehidupan, Misteri ilahi.

Keteraturan menjadi kebutuhan Ramon. Atas hal itu dia perlu extra kebal, dengan mulut Gadis yang terus mencecar sesuatu, yang tidak sesuai masterplan kepalanya.

Susunan puzzle sudah hampir selesai terlihat, Gadis dan Ramon. Apakah saling melengkapi itu mudah? Atau harus tercabik pisau blender dahulu? Untuk menyajikan juice lezat dari dua buah yang berbeda.

Kepastian dan harapan yang meletakan mereka dalam satu blender. Tidak bisa kemana-kemana, saatnya berputar dan naik turun.

Ada kenikmatan dibalik kehancuran.

Bukan hanya merapikan, keteraturan adalah sebuah aturan. Gadis meletakan barang-barang Ramon sesuai dengan posisi yang sama, tidak bergeser ke lain tempat, sekalipun sebuah pensil didalam gelas kaca. Ramon menyilangkan tangannya, si pelupa ini mengingat dengan keras, dipikirannya mendikte.

Charger, Powerbank, Kacamata, sunblock.”

Sembari mengingat-ingat, bola matanya berkelana, tertuju kepada bingkai foto Rindu diatas meja dibawah cermin. Dia lupa sesuatu, fotonya bukan kenangannya.

Shitt! Mampus gue!” Ramon bergumam panik, seketika berubah fokus sekali dan ingat segalanya, seperti tiba-tiba tersadar dari pengaruh alkohol.

Gadis melipat bad cover, membungkuk berlawanan cermin. Ramon mengambil foto tersebut dan berjalan menyembunyikan foto itu, di kardus bawah tempat tidur. Getaran tubuh Ramon tidak biasa, agak terburu-buru, mencuri perhatian seorang psikolog disebelahnya.

“Kamu ngapain disitu?” Gadis bersuara dari arah samping kanan Ramon.

“Bantuin beresin juga.” Tangan Ramon masih terus berada didepan kardus itu.

Ramon menjadi salah tingkah, tangan kanannya meremas-remas belakang rambutnya. Ramon memasukan foto Rindu ke dalam kardus dari belakang punggungya.

“Yaampun sayang, kamu packing aja, kebiasaan. Fokuss. Fokuss. Fokuss! kita pesawat jam tiga belas empat lima loh, dan sekarang udah jam sembilan.” Pandangan mata Gadis kearah jam dinding.

“Iya sayang, bentar lagi beres kok,” Ramon menggertakan gigi.

Omelan Gadis membuat Ramon lekas berdiri, menoleh lagi, memastikan foto Rindu menumpuk di dalam kardus cokelat. Ramon menendang kardus itu masuk kedalam kolong tempat tidur, memastikan lagi. Ramon melanjutkan kesibukannya dan segera ingin meninggalkan kamar. Ramon merasa kamarnya sedang tidak aman dan nyaman.

Kejadian tadi membuat dengkulnya lemas. Badan gerah padahal ruangan sedang dingin-dinginnya.

Mata Gadis masih berburu kesana kemari, mendeteksi hal-hal jorok. 

“Okeey. Sudah selesai,” Ramon mulai mengunci kopernya.

“Inget kan kodenya?” Gadis mendelik, menyorot kening Ramon yang sedang berpikir,

“Inget dong, 123.” Wajah Ramon penuh keyakinan.

“Penuh kombinasi ya, strong password, God Bye Hacker!”

You know lah....hehehe.”

Gadis hanya melempar bola mata, paham betul.

Jam dinding kamar Ramon menujukkan pukul sepuluh pagi, dia bergegas untuk mandi dan berganti pakaian.

“Mandi gak aku?” Ramon bertanya mencari gara-gara,

“Mandilah. Harus. Wajib. Dipesawat dilarang benda-benda yang menyengat masuk cabin!”

”Damn! Udah kaya bangke duren ya,” Ramon melengos masuk kamar mandi.

“Mandi yang bersih!” perintah tegas Gadis.

“Iyaa.”

”Sikat gigi, sabunan, shampo jangan lupa!”

”Astaga! Kaya pengalaman pertama mandi aja.”

”Ya. Ingetin aja.”

”Ingetlah yang, step by step mandi itu apa aja, tak terhitung aku melakukan hal ini.”

”Iya aku ingetin aja kok,” Gadis menggembungkan pipi, menahan kesal.

Ramon masuk kedalam kamar mandi, badannya mulai gatal-gatal mendengar mulut Gadis mulai menggerayangi kulitnya.

“Yang aku turun kebawah ya,” Gadis berucap di daun pintu kamar mandi.

“Iyaa sayang. Hati-hati dijalan ya!” Ramon berteriak ke arah luar.

Ramon sewot dibawah kucuran air. Menahan kesal dibasah tubuhnya. Bertubi-tubi dia mendengar rentetan tekanan suara Gadis. Ramon jadi ragu-ragu ingin melakukan sesuatu. Setiap tindakanya lengkap dengan komentar dan testimoni dari Gadis.

“Buset deh! Mandi aja diingetin tutorialnya. Lama-lama pas boker juga dibahaslagi. Takut banget abis boker pantat gw gosok-gosok ketembok gak di semprot air. Itu baru kacau! Atau abis cebok gw ngerapiin rambut di cermin gak cuci tangan. Itu baru fatal kalau lupa.Apa yang ditakutkan dari mandi?”

Ramon memutar kran shower lebih deras,mencoba menghanyutkan celotehan Gadis yang masih terngiang-ngiang.

*****

Gadis turun ke lantai bawah menuju keruang tamu, disana terdapat Edo dan Roy sedang menonton televisi. Goldy tidak mau ketinggalan. Gadis agak heran, wajah Goldy begitu serius melihatnya, seperti sedang menyelesaikan episode selanjutnya di Netflix. Matanya terisi penuh, berbinar-binar.

Mereka bertiga sedang menonton acara tinju, terjadi suara keributan di pertandingan itu. Edo dan Roy menggerak-gerakan badan dan tangannya bagaikan petinju Profesional, walaupun terlihat sangat aneh gerakannya. Goldy duduk dilantai didepan sofa, keempat kakinya mulai berderap-derap, mulai merasa diatas ring tinju. Sesekali menggonggong kearah televisi mengimbangi keributan Edo dan Roy.

“Jab...! Jab ! Strike, terusss...terusss...! Upper Cut!” Berulang kali saling dilontarkan.

Jagoan tinju Edo dan Roy bertanding saat itu, Deontay Wilder dan Tyson Fury.

Roy berlagak semakin agresif, “Come on Wilder...yaaa....itu diaa! Habiss-habiss!” geramnya lantang, sesekali melengos ke arah Edo.

Melihat jagoanya sudah mulai menyerang balik, Edo mulai melakukan gerakan kombinasi kearah Roy.

“Begitu cara mu membalas kebaikan orangtua?” Roy protes melihat gerakan-gerakan kombinasi itu semakin melambat.

”Siappp! Orangtua.” Edo menggerutu, wajahnya bersungut-sungut. Tak habis akal, pertandingan semakin memanas

“Hajaarrrr.....terus!” Edo semakin menjadi-jadi, mengelus-elus gemas punggung Goldy.

“Iyaa...iyaaa...Hajarr lagi!” Edo memegang dan mengayunkan dua kaki depan Goldy begerak seperti bermain tinju.

“Ohhhh...begitu ya Goldy. Rival kita!” Roy menuding ke arah Goldy, lidahnya menjulur bergoyang-goyang penuh semangat. Terdengar suara nafas keletihan Goldy, dia melakukan gerakan kombinasi dengan maksimal.

Edo semakin semangat menggerakan tubuh Goldy, sepertinya jagoan sebelah akan tumbang.

Pertandingan makin seru, sampai-sampai tak ada yang sadar Gadis menuruni anak tangga.

“Wahh lagi seru ya?” Gadis terdikstrasi kegaduhan diruang tamu.

“Liat nih kak! Jagoan sebelah udah mau KO!” Edo melirik kearah Roy.

“Aku duduk jauh-jauh deh, takut kena pukul, lagian suasana sudah mulai tidak kondusif di luar ring tinju.”

Gadis berjalan kembali ke tempat duduk kayu samping tangga, merogoh novel dari tas jingjing. Sambil menunggu Ramon, Gadis membaca buku Novel miliknya, Bridge to Terabithia. Ketenangannya diisi dengan kegaduhan pertandingan tinju. 

Tidak lama berselang, Ramon turun dari tangga dengan baju kaos putih polos, jaket jins biru tua, bercelana jins hitam pendek, beberapa bagiannya robek-robek.

Suasana liburan nampak dari pakaian Ramon, ditambah wajah segar sehabis mencuci rambutnya. Kulit kepalanya menjadi ringan dan bergemelitik. Poni ikal Ramon mengguntai lemas, wangi mentol tercium disekitar dahinya.

Jam menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh. Langkah Ramon agak cepat ketika turun dari tangga.

Come On. Sayang! Malah duduk-duduk disitu. Entar telat kita!” Ramon menggoda Gadis, wajahnya belum menoleh, masih tercebur dalam imajinasi novel ditangannya. Mendengar ucapan menyebalkan Ramon itu, suasana panas merangkak naik ke wajah Gadis, seakan-akan petinju gacoannya tumbang di ronde pertama.

Wajah Roy terlihat lesu setelah jagoan tinjunya tumbang, Knock Out. Terdengar sayu-sayu Edo bernyanyi lagu, ”We Are the Champion.” Queen. Lahar panas menjalar sampai ke tubuh Roy. Siap meletup kapan saja.

“Nyanyi lagu apa itu Do?” Roy membuat alisnya menukik menunggu jawaban.

“Lagu Ibu Kita Kartini,” Edo menjawab dengan pasti.

“Ohhh gitu, solo kariernya Freddie Mercury?” Edo mengangguk sebagai jawaban.

“Baru denger!” Rahang Roy mengeras, menghela nafas panjang.

Edo mulai kegerahan, diruangan ini hawa panas berkeliaran bebas. Edo menggiring Goldy kedapur untuk menemaninya mengambil air minum. Ramon menepuk pundak Roy yang terasa tegang,

“Udahlah Pih. That is just a game, aku berangkat dulu ya,” Ramon berpamitan.

Tubuh Ramon direkatkan, di pelukan Roy, wajahnya menghadap ke arah Edo. “Nanti kita balas di Ronde ke tiga belas ya!”

“Main-main kamu ya!” Roy meronta melepaskan pelukan.

Roy semakin kesal melihat Edo dan Goldy kompak kembali dari dapur. Ditangannya digenggam air putih. Wajahnya begitu nikmat meneguk air itu, seakan punya rasa lain yang luar biasa.

Lihat selengkapnya