TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #8

Bandara #2

Di ruang Boarding. Ramon dan Gadis duduk saling berhadapan dengan Abe dan Mia. Bangku paling sudut dan penuh mereka pilih, terpencil, tak ada tempat untuk Ewok. Topi hijau tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka, di putarnya sekali arah topinya, banyak kata yang sudah disiapkan sebagai peluru pembalasan.

“Parah lo semua!” Ewok memekikan telinga disekitar, Ramon hanya bisa tersenyum getir menahan malu orang-orang sekitar.

Tangannya menyanggah pinggang, matanya ia bagi ke semua. Keluhan Ewok masih tak di gubris, semua masih memalingkan mata. Abe paling serius, dia menutup wajahnya, malu tidak karuan. Penumpang disekitar jadi merasa bersalah, saling berbalas tatap satu sama lain, kemana arah marah pemuda aneh itu.

Ramon mulai risih, masih mengasingkan diri, ikut membaca Novel digenggaman Gadis. Sesekali Gadis menoleh ke arah Ramon, dia merasa sedang diawasi, membaca sebuah Novel secara bersamaan.

Nama Abe terus di sebut, sasaran utamanya Abe. Tak bisa terlalu lama lagi, Abe menyatukan tatapanya ke arah Ewok, suara nafasnya mencoba menenangkan dirinya. Saatnya menguras emosi.

“Lo emang parah Be!” Ewok menggeram, menata rambutnya kebelakang dengan jemarinya.

“Apa salah gue? Gue telpon lo pagi-pagi biar gak telat!” Abe malas menjelaskan, matanya dia singkirkan, mulai rikuh berargumen lebih jauh.

“Tapi masalahnya lo gak ingetin gue kalo kita berangkat dari Soekarno-Hatta!” Ewok menimpal, merapikan lagi rambutnya yang maju terurai.

“Masalahnya?” Abe memutar arah duduknya, alisnya bertaut, menegakkan duduknya.

Mia mulai masuk dalam percakapan itu, telinganya menyimpan informasi, begitu juga Ramon dan Gadis, matanya saja yang acuh.

“Masalahnya gue udah dua jam nunggu kalian semua di Halim Perdanakusuma!”

Abe mengeraskan rahangnya, memalinkan wajah ke arah Mia, suara nafasnya menenangkan lagi.Gadis mengatup Novelnya, menyanggah dagunya. Ramon tidak peduli, sudah biasa.

“Mampuslah lo Wok! Cape gue liat kelakuan lo!” Mia nyeletuk dengan nada cemooh, mengikat tali sepatunya, kakinya dia naikan satu.

“Sabar sayang, ini masalah aku sama Abe,” Ewok bergegas meredakan emosi Mia.

”Topi lo ganggu. Serius!” Mia nyerocos tanpa ragu-ragu

“Tapi suka kan?” Ewok meringis, merapikan lagi rambutnya, membuka satu kancing bajunya.

Abe memalingkan jauh wajahnya, bulu dadanya mengganggu, ngeres dan menggelikan.

“Sempet liat lagi!” Abe menggerakan bibirnya tanpa suara.

“Kenapa lo gak ke Stasiun Gambir aja bro?” Ramon menyaut, pahanya di tepuk Gadis, mencoba menyudahi.

“Naik Pesawat ke Stasiun. Norak lo Mon!” Ewok ketus menanggapi.

“Untung ada orang yang nyasar juga, jadi barengan gue kesini,” Ewok menyeringai bangga.

What? Jadi sekarang, dibandara ini ada dua orang manusia kaya lo Wok?” Ramon mengejak, memelaskan suaranya.

“Paiittt...paittttt....dia ada disini gak?” Mia berseloroh, sontak Ewok mulai menebarkan pencariaannya.

“Gak usah lo cari!” Mia menggeratak.

“Jangan sok kenal dan lo ajak kesini ya, cukup satu aja kaya lo bro!” Ramon mulai melihat kesekitar, masih tidak ada orang asing mendekati mereka.

Stop it! Jangan celingak-celinguk gitu!” Ramon makin gusar kepanikan.

Abe masih terpaku dengan informasi itu, kini dua tangan Abe menutup wajahnya. Betapa mengerikanya jika ia dihadapkan dengan golongan orang-orang semacam Ewok, dan tinggal disebuah pulau terpencil dengan mereka semua. Bersosialisasi pasti sangat menyebalkan.

“Jangan gitulah Mon. Gak inget masa-masa indah kita?” Ewok menggoda, merentangkan tangan seraya ingin memeluk.

”Indah buat lo, sialnya banyak buat gue!” tangkis Ramon, menyosorkan matanya.

“Pegel gue berdiri mulu, gue kencing dulu ahh, mau nitip gak?” Ewok menawarkan jasa penitipan barang, menoleh kesemua.

No! Entar lo tuker lagi!”

Ramon menolak dengan gerakan tangan, seketika itu dicubit lengannya oleh Gadis. Ramon menyeringai.

“Pede banget barang lo lebih perkasa dari gue,” Ewok memajukan sedikit bokongnya, melengos pergi menuju kamar mandi.

“Udah Mon! Ujung-ujungya ngeres nanti dia,” Abe mencegah.

“Udah ya! Ewok mulai tenang,” Gadis kian tegas mengingatkan lagi, mengait tanganya ke lengan Ramon.

Bahu Gadis menempel, Ramon mengelus-elus anak rambut Gadis. Abe memastikan wajah Mia, menengok ke sebelahnya.

Mia tersenyum lebar ”Kenapa?” Menggerakan bibir tanpa suara, tanganya menyanggah pipinya.

“Mon...gue liat di IG, Edo main Speed Offroad ya?” Abe menodongkan tubuhnya ke depan.

”Bukan drivernya bro, team mekanik katanya.”

“Ngeri juga si Edo, udah lebih jago sekarang.”

”Dia apa aja dipelajari, ujung-ujungnya dibisnisin, cuan...cuan.”

”Gak jadi dia cari mobil klasik ?”

”Jadi juga bro, masih suka nanya-nanya gue,” Ramon mulai rileks membahas otomotif.

“Gue ditawarin kemarin, Mustang Shelby tahun 67, masih oke banget, gue cek langsung,” Abe menjelaskan antusias, Ramon menegakan posisi duduknya.

Lihat selengkapnya