Ewok merapikan rambutnya, berulang kali menarik ke belakang dengan jemarinya. Di pintu keluar berdiri dua pramugari, siap-siap membalas senyuman. Tak berubah, udara yang sangat mereka kenal, menggugah energi baik. Hingga tangga terakhir, angin begitu kencang. Gadis sampai harus menahan helain kain celananya. Biru langit menutupi rasi bintang, gumpalan awan menahan sinar, cerah kebebasan.
“Iya tau centang biru,” seketika Mia menoleh kearah Ramon.
”Hehehe...disempet-sempetin.”
“Mia itu selebgram yang?” Gadis ingin tahu, telapak tangannya menghalangi sinar diwajahnya.
“Yess...endorese product, IG nya udah kaya online shoop.”
”Itu Sunblock yang aku pake loh, hebat ya Mia,” Gadis tersirep memperhatikan Mia ngoceh di layar ponselnya.
“Pokoknya Instastorynya full product, sampe kecil-kecil garisnya.”Ramon menjelaskan lagi dengan telunjuk dan ibu jarinya, menggambarkan begitu kecilnya titik-titik postingan Mia.
“Hhmm...., baru ini aku liat dia gak ketus.”
“Kalo ketus terus siapa yang mau beli produknya, bisa kabur followersnya.” Ramon merekatkan lagi tangannya, sinar matahari menambah hangat jari jemari Gadis.
Udeng melilit dikepala, dikenakan seorang pria paruh baya. Kanvas asli dikedua tangannya tak nampak lagi, penuh Tatto melekat disana, meresap kulit. Pria itu berdiri tegap, melihat jauh kedepan, mencari-cari. Tangannya memegang kertas berlafal “Ewok”, dibawahnya tertulis “Prince of Jerussalem.”
Belum selesai dengan topi hijaunya, Ramon dan lainnya merasa tidak nyaman dengan apa yang mereka baca. Ewok berjalan dengan gagahnya, dia merasa semua mata tertuju kepadanya, level percaya diri paling tinggi. Angin sedang kecang-kencangya, digelengkan kepalanya, rambutnya terhempas lembut, tulisan “Prince of Jerussalem” menjadi garis akhir. Ewok merasa terpanggil.
“Agung, My bro!” Ramon memecah rasa percaya diri Ewok, berjingkat cepat bersama Abe dan Mia.
Gerombolan itu menerjang Ewok didepannya
“Norak lo semua! Ewok menggelengkan kepala, kesal menghempaskan rambutnya.
“How are you bro?” Ramon menyapa hangat, sudah lama tidak melihat Tatto ditangannya, sepertinya bertambah banyak.
“Wahhh...wahhhh...baik bro, sudah lama juga ya,” Agung menerka, logatnya masih sama, local boy. “Satu tahun ya?” melanjutkan lagi, memeluk Ramon, menarik keras.
“Setahunan lah. Makin kekar aja badan lo, bro.” Ramon merasa sesak, melepaskan diri.
“Saya tes aja itu, baru lima bulan lalu kamu kesini Ramon, masih sama ya, hahahaa....,” Agung menepuk-nepuk bahu Ramon.
”Oiya?” Ramon menaikan bola matanya, mengingat keras, belum terbayang, samar-samar, “oiya ya lima bulan lalu gue ke Bali.”
“Kamu cek mobil untuk Adikmu, Mustang Maverick, tahun berapa itu?”
”Bener lo bro, tahun 67, hehee...,” Ramon cengengesan, sudah biasa.
“Hayy...Gung, long time no see,” Mia menyambut giliran.
“Halah! Kamu lagi, baru seminggu lalu,” Agung menyergap cepat, tos-tosan. Mia menggaruk rambutnya, padahal tidak gatal.
“Abeee, motormu kamu bawa? Hahahahaa...”
“Gak dibawa, malah mau coba motor baru kamu.”
”Kok tau?”
”Kamu posting di IG.”
”Oiya di story ya, waktu touring ke Danau Kintamani, kok liat aja kamu,”
Agung menepuk-nepuk bahu Abe.
“Iya sudah tidak klasik lagi soalnya, jadi mencolok mata.”