TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #10

Bali dan Combi #2

Combi menepi, rem tangan dinaikan, getaran mesin telah hilang. Sebuah lereng bukit jadi pemberhentian, tidak bisa lebih, bahaya. Sebuah restoran mentereng, lebih kepada warnanya, pink vibrant. Awal yang khas, eye catching, ada atraksi warna disana, dominasi warna-warna terang kuning, hijau tosca. Apa yang beda dengan restoran mexico lainnya, ini kekhasan Amerika Utara.

Ramon belum mendapatkan keunikan cerita Agung. Keramik motif Talavera, ukiran besi tempa, tembikar warna-warni, barisan air mancur mengucur ke arah bawah tebing, dasarnya bentangan pantai pasir putih. Ramon masih melihat-melihat, berjalan turun mengundak-undak, di sebuah pelataran terdapat panggung batu paras menampilkan tari Legong. Seoroang wanita ayu bergerak luwes, matanya melotot, berlindung di balik kipas.

Tak jauh dari sana terdapat ruangan kaca, tidak semuanya, hanya dibagaian sampingnya saja, kaca patri ini menggambarkan berbagai ilustrasi tarian-tarian Bali, tradisi adat istiadat, cerita rakyat, alat musik dan pahlawan Bali.

Nice bro, konsepnya unik, perlawan sebuah tradisi,” Ramon memaparkan, jarinya mendikte menu makanan khas Bali.

“Betul bro, daerah sini kuat gaya Mexiconya, tadi itu kita lewati Lacca-lacca, Mexicolla, tapi ini beda. Mexico didepan pas didalam kearifan lokal Bali, Namanya Mahesa, Local Pride.

Agung mengepalkan tangan, urat pergelangan tanganya muncul dikulit coklatnya. Agung menanti mimik Ramon, ada anggukan takjub disana. Ramon menunjuk buku menu, dengan baju khas Bali, pramusaji mencatat pesanan mereka.

“Ehhh...gue suka banget Gung, tempatnya oke, berasa kultur Balinya, gak perlu jauh-jauh sampai Panglipuran lagi nih,” Mia merapikan rambut bondolya dengan tangan, bergerak halus, tersapu angin yang menuju ke laut.

Suara ombak terdengar sampai atas, berkolaborasi dengan musik khas Bali, menenangkan.

“Kamu kan influencer, sebarkan perlawanan ini dong, heheheee...,”Agung menaikan bergiliran kedua alisnya. Mia menyodorkan jempolnya, kekuatan media sosial.

Influencer....influencer....influenza kali ah!”Ewok melemparkan acuh, masih kesal topi hijaunya tertinggal dibelakang.

Pramusaji datang. Dua orang bergantian, meletakan porsi sate lilit, ayam betutu, serombotan, lawar dan bebek timbungan.

“Wahhh gila sih! Gue bener-bener main kerumah lo bro,”Ramon menggelangkan kepala, mencomot cepat sate lilit.

Seketika Gadis menarik paksa tangan Ramon, “Ihhhh...cuci tangan dulu, jorok!”

Agung terheran-heran melihat Ramon si super jorok dan pembangkang itu menelan bulat-bulat perintah Gadis. Percakapan mereka terhenti sampai Ramon kembali mencuci tangannya, tak ada tangkisan atas perintah Gadis. Agung masih menunggu reaksi Ramon, semuanya selesai, masih tak ada tanda-tanda keberatan dan perlawanan.

Ramon duduk dan siap mendengakan, kejadian tadi mungkin sudah biasa terjadi sekarang. Mulutnya mengunyah sate lilit, Agung melanjutkan lagi.

“Terasa ya Mon, kalo kita lihat pramusaji itu pakai baju Bali, bawa masakan khas Bali. Cocok betul itu!” Agung mengunyah lawar, masih melanjutkan, “coba kamu liat itu, pramusajinya pakai baju Bali, tapi bawa masakan luar, ke meja bule-bule itu. Berasa dirumah mereka sendiri, pandanganya seperti melihat pembantu bawa makanan.”

Lihat selengkapnya