“Bro jadi mampir ke Pak Nyo?” Ramon bertanya ke arah telinga kiri Agung.
“Ini menuju kesana.” Agung memutar setirnya ke arah kanan.
Tempat ini sering mereka datangi semasa kuliah dulu, tidak hanya melihat-lihat karya seni, tapi juga belajar seni bercakap-cakap. Bisa seharian mereka berbicang-bincang tentang segala hal, dengan bermodalkan satu gelas kopi hitam Kintamani. Namanya Dewata Gallery, pemiliknya bernama Anak Agung Nyoman Nirwana, beliau masih memiliki hubungan saudara dengan Agung, bapaknya Agung adalah kakaknya Pak Nyoman.
*****
“Om Swastiastu,” Agung menyapa tegas, di belakang punggung laki-laki berambut putih panjang. Tangannya sedang meliuk-liuk di kanvas putih, cipratan cat minyak ada disarungnya.
Pak Nyoman menoleh dari hadapan kanvasnya, sapa lagi Agung mengangguk satu kali, sementara yang lainnya sedang melihat-lihat aneka karya seni rupa murni. Pak Nyoman meletakan kuasnya diatas palet dan menjulangkan tubuhnya.Tingginya hampir sama dengan Agung.
“Om Swastiastu,” balas Pak Nyoman dengan tangan menelungkup didadanya.
“Punapi Gatrane Gung?” tanya Pak Nyoman, mengangkat alisnya bersamaan.
“Becik atu.”
“Rauh saking dije Gung?”
“Wusan melancaran sareng timpal-timpal atu,” Agung menunjuk kearah teman-temanya.
”Ooo...timpal-timpal sane sering rauh meriki? I Ramon?” volume Pak Nyoman menanjak, antusias.
“Nggih!” Agung mengangguk cepat.
Ramon keluar dari baris belakang patung besar, seakan bergerak sebagai bayangannya.
“Wah. Masih rame seperti dulu ya,” Pak Nyoman berseru lantang, dengan logat yang sama dengan Agung, tangannya mempersilahkan semuanya duduk dikursi panjang.
Kursi itu terbuat dari kayu, sisinya penuh ukiran khas Bali.
“Mau minum apa, Kopi Kintamani?” Pak Nyoman menyeringai menawarkan.
“Apa saja Pak Nyo,” Ramon merelakan, dibarengi dengan permintaan Ewok
“Jus Salak.”
Mia menginjak kaki Ewok, kerut dahinya dia tolehkan.
“Lu apaan sih. Jus salak!”
“Mumpung di Bali, salak Bali kan terkenal. Norak lu!”Ewok geregetan memelankan suaranya.
“Kamu buka celana! Lalu nungging sana, dari belakang keliatan tuhh, biji Salaknya,” Agung berkelakar disambut gelak tawa geli lainnya.
Mia memanyunkan bibirnya, dia terlanjur membayangkan, sekilas bentuknya sudah tergambar, keriput. Gadis tertawa dibalik telapak tangannya, kedua matanya sampai menyipit, tekanan diperutnya menjadi tegang.
“Tidak apa. Nanti coba dibuatkan,”Pak Nyoman menyanggupi.
“Gak usah Pak, air putih saja,”Ramon segera mencegah.
“Yasudah kalau begitu, Jus salak satu, yang lain es teh manis saja,” Pak Nyoman menengahi.
“Dewi...,”panggil Pak Nyoman kepada anak perempuannya.
“Jadi ribet banget masalah minum aja lo!” Ramon menggerundel, Ewok pura-pura tidak mendengar, matanya dia tembak ke pemandangan sekitar.
Dewi datang menghampiri Pak Nyoman, dengan baju kebaya sesudah sembayang, lesung pipi ayu Dewi menyita mata Ewok dan Abe, tubuhnya tidak bisa bergerak, dengkulnya terasa lemas, sekalinya bergerak itu pun gemetaran.
Dalamnya lesung pipi Dewi membuat mereka berdua semakin haus rasanya.Bedanya ekspresi Ewok sangat terbaca, sedangkan Abe masih lihai berkamuflase.