Tolong! Matahari hilang. Sorot lambu Combi semakin jelas, menapaki jalan tanah berkerikil, suspensinya membangunkan mata. Satu persatu mata mereka terbuka, kecuali Mia, daritadi ia memandangi Ramon dalam kegelapan. Hanya dalam kegelapan keberanianya tiba, lain dari semuanya. Lain dari cara orang lain melihat suatu terang sebagai harapan.
Kalau kegelapan adalah luka, Mia adalah darah yang keluar dari luka yang belum sembuh. Di tak pernah berharap lukanya sembuh, mengupasnya adalah kesenangan untuk terus mengucurkan darah. luka itu tidak pernah selesai, apalagi mengering, inginnya hanya sebuah kebersamaan mengantarkan pulang, walaupun tidak mengobati.
Maunya bukan untuk singgah ataupun mencari kediaman. Mia membatin akulah rumah, yang selalu membukakan celah kapan kamu akan pulang. Akulah rumah yang kokoh, walau kadang tergerus dimakan rayap-rayap cemburu dan kutu busuk pengucilan.
Tak ada yang sekuat tiang pancang keteguhanku. Melihat kau pulang bersama orang lain adalah hal biasa, asalkan jalan untuk pulang dan beristirahat adalah ruang tamuku.
Genting tanah liat tak akan menimpamu, aku jamin. Lekas tidurlah di sofa coklat miliku, rebahkanlah masalahmu. Walaupun aku bukan selimut tebal mu, aku tak apa-apa. Melihat matamu terpejam saja, aku sudah senang, karena sorot matamu punya lain orang.
Mata Ramon terbuka, membasahi ruas bibirnya, menegakan tubuhnya, Mia mendapati sorot matanya mencari Gadis. Mata Ramon terus mencari-cari, dia mendapati Mia sedang memejamakan matanya.
“Dimana ini bro?” Ramon mengucek matanya
“Udah gelap begini Gung, pohon semua,” Ewok merapikan rambutnya, menutup jendela, angin kencang terasa dingin.
“Sudah bangun kalian. Sampai sudah,” Agung menarik rem tangan. Suaranya tarikan tuasnya benar-benar membangunkan Ewok disebalah.
“Rumah panggungnya mana?” Ewok mendelik, menyempitkan matanya.
“Lo bangun rumah panggung, mana dia bro?” Ramon mengamati pelik jalan didepan, belum tergambar dimana dirinya berada, sedangkan jalan sudah tidak cukup untuk mobil melintas.
“Sudah sampai disini, kita jalan kaki, tidak jauh lagi,” Agung memutar tubuhnya, menggangkat kepalanya menandakan untuk segera turun dari Combi.
Mia membuka matanya, padahal tidak ngantuk apalagi tidur. Daritadi ia hanya mendengar percakapan sambil memejamkan mata, dengan nafas seperti orang tidur.
*****
Gadis bergidik ngeri, membentur-benturkan giginya, dia tidak nyaman dengan kegelapan, gerombolan pepohonan, jalan setapak, rerumputan yang menggelitik kaki yang melintas. Melawan situasi ini, Gadis berharap Ramon tidak jauh-jauh dari genggamannya.
“Ayo lewat sini!” Agung memimpin langkah, sinar senter bergerak kekiri dan kanan menerka jalan.
“Gelap begini Gung,” Ewok mengeluh, sudah dua kali kakinya tersandung batu.
“Kreatif dikit. Pake senter HP,” Abe menyinari wajah Ewok.
“Lagi gak ada kuota gue! Ewok berjalan merapatkan penerangan senter Agung.
“Senter gak pake kuota kali!” Abe melenguh, merunduk-runduk mencari jalan.
Tapak tanah jalan nampak samar-samar, full moon memberikan cahaya, menerbos masuk payungan pohon disekitar. Sampai kepada jalan menurun, tidak jauh dari situ terdapat batu besar menghalangi langkah mereka. Bongkahan batu entah terpental dari perut gunung Agung, atau memang sudah disitu ada dari dulu.
Setelah melipir jauh, hanya ada tanah lapang. Angin jadi semakin cepat masuk, menggerakan bulu halus rambut mereka. Pepohonan baru terlihat lagi disisi ujung jalan, bersebelahan dengan tali tambang galangan kapal sebagai pagar pembatas. Semakin berjalan mendekati tali tambang itu, semakin jelas suara debur ombak dibawahnya.
Barisan pohon nampak lagi. Dari semuanya terlihat sebuah pohon paling besar sendiri, rimbun daunya menutup rerumputan luas dibawahnya. Pohon satu ini berbeda dengan jenis pohon lainnya, pohon Mahoni. Agung paling dekat dengan pohon itu, sekitar lima puluh meter sudah nampak rumah panggung miliknya, tepatnya milik keluarga.
Pohon itu dulunya penuh dengan paku dan papan, ada juga lempengan besi sebesar plat nomor kendaraan, yang sengaja di pasang oleh orang-orang yang datang berkunjung. Ada juga coretan paku dengan nama-nama tertentu.
Mereka menancapkan paku, dan benda tajam lainnya kepada mahkluk hidup yang masih hidup, dimana hidupnya justru menghidupi para pelakunya, untuk mendapatkan oksigen yang layak agar tetap hidup.
“Bro kok gue kaya pernah liat pohon ini ya?” Ramon mendekat lagi, meraba batang pohonnya, mencucukan jari telunjuknya ke bekas-beka lubang paku, dan goresan-goresan tulisan.
Senter agung menjelaskan luka-luka goresan itu, semakin terang dan dalam lubangnya.
“Ini kan pohon Mahoni itu, Plawangan Bintang!” Abe menebak, mendongak melihat rasi bintang sangat dekat jaraknya, seakan ribuan kelap kelip itu ingin menghujani wajahnya.
“Oiyaa betul bro, tapi kok jalannya beda, bukanya pohon ini tumbuh sendirian, kok sekitarnya ada pepohonan juga?” Ramon terus mengingat keras, dan memastikan dia pernah pergi ketempat ini.
Semuanya mendekati pohon itu, hanya Gadis yang tidak tertarik untuk ikut menerka-nerka. Tidak ada ikatan untuk mengingatnya.
“Sudah-sudah kasihan Ramon dipaksa untuk mengingat,” Agung bergurau, meneruskan langkahnya, sebelum pergi dia menepuk pohon Mahoni itu.
“Betul kata Abe, ini Plawangan Bintang. Kesekian kali kita kesini, bintang-bintangnya masih sama, hanya paku-paku di pohon Mahoni tadi sudah tidak ada, dan saya tanami pohon-pohon di sekitarnya, itu sudah rumahnya.”
Agung meletakan ranselnya di tangga kayu, duduk dan melihat satu persatu temannya menyusul. Kursi-kursi kayu dan meja bebatuan menjadi tempat peristirahatan, di tengahnya terdapat compang batu untuk perapian, tumpukan kayu bakar, ada juga drum smoker untuk daging.
“Dulu kita ngemper disini cuma mau liat bintang-bintang, ketawa-ketawa padahal besok ujian semester, makan jagung bakar, ngerokok, minum arak Bali. Wahh! Seru banget, dan sekarang lo bangun villa disini,” Mia antusias menjelaskan, dia masih berjalan dan mengira-ngira dimana mereka pernah duduk beralasakan tanah.
Abe ikut mengitari. Mengingat juga letak biasa mereka menghabiskan malam, dia yakin betul tak jauh dari pohon Mahoni. Mia dan Abe kesulitan mengingat pasti letaknya, tanah lapangnya tidak seluas dulu, sudah banyak pepohonan baru mulai tumbuh.
“Tidak ketemu?” Agung melempar tanya, Mia dan Abe msih berjalan mencari, “tempat kita biasa duduk bersama itu, di bawah Villa ini, saya sengaja buat villa ini untuk mengenang quality time kita dulu, apalagi pas Ramon lagi galau-galaunya,hahahhaaa...” Agung terpingkal, menepuk tangga kayu berulang kali.
Ramon mengalihkan wajahnya, kalau masalah galau bukan hanya dirinya saja.
“Berarti ini pohon Mahoni. Nah! Sisekitar sini tempat gw, Ewok sama Abe kencing, jackpot, hahahaha....,”, Ramon menunjuk tanah lapang didekatnya, dan seketika menjauhinya. Gadis ditarik bersama dia, dagu Gadis menarik jijik.
Semua melempar tawa, suka ria dan terharu, saking tak percaya bisa kembali ke Plawangan Bintang. Dari semuanya hanya Ewok yang tidak berselera, gara-gara ketiduran dia tidak bisa membajak si Combi untuk menuju laut.
Sungguh sia-sia Ewok menyiapkan outfit pantainya dari rumah, topi hijaunya entah dimana, sekarang hanya bisa melihat air laut dari ketinggian terus, apes-apes.
*****
Rumah panggungnya tidak terlalu besar, namun setiap ruanganya punya sentuhan yang pas, untuk menyimpan bahan makanan, tempat beristirahat, ruang tamu dengan lubang perapian, teras menikmati minuman hangat, dan pastinya halaman perapian untuk bakar-bakaran.