Pagi hari matahari mengeluarkan sinar terang dan terik, membuat air laut semakin menyala. Suara ombak memainkan iramanya sendiri, diiringi suara angin bergesekan halus dengan pasir di pantai. Bali pagi hari, selalu sama, suasana magis untuk keluar dan mencari kesenangan. Televisi masih menunggu Ramon saling bertatapan, wajahnya diselimuti semua, menghalangi sinar matahari masuk.
Bertelanjang kaki dan dada, Agung dan Ewok melintasi suasana after party, pekerjaan rumah sudah terlihat. Dengan alasan kangen si Combi, Agung menemani Ewok menghabiskan sisa-sisa fajar, dan tidur bersama Combi. Setelah bangun di pagi hari, Agung mulai menemukan titik sadar. Kemakan omongan Ewok tadi malam, sehingga dia mau menemani Ewok tidur di Combi.
Ewok dengan pengaruh Alkohol, kata-katanya tidak hanya mahir meyakinkan sesuatu, tetapi bisa menghipnotis seseorang. Dengan masih menggontai dan melawan paparan sinar matahri, Agung menyeret-nyeret trash bag hitam, memunguti sampah disekitar batu perapian.
Abe bertelanjang kaki menuruni anak tangga, ngedumel kesal mencari tempat bersandar sejenak.
“Kenapa kamu, Be?” Agung mencari tahu.
“Biasalah. Tiba-tiba gue ditimpa lagi tidur, bajunya bau jekpot lagi.”
Abe mengusap-usap wajahnya. Menghenduskan nafas keras-keras, membuang bau muntah Ewok yang mampir di rongga hidungnya.
“Hahahahaa..., jekpot si Ewok semalam,” tawa Agung pecah kegirangan.
“Gue mandi dulu ya. Enek. Mual. Nanti gue bantuin beresin.”
”Sudah mandi sana! Gampanglah ini. Sekalian olahraga,” Agung mengibaskan tangan, menyuruh cepat Abe pergi mandi.
Tidak lama berselang Ramon sudah duduk di anak tangga, mengusap-usap rambutnya. Wajahnya tidak bersahabat dengan paparan sinar matahari pagi.
“Sial itu anak. Lagi enak-enak tidur ditarik selimut gue. Silau gak bisa tidur lagi!” Ramon menggerutu sendirian.
“Pagi Mon. Sudah siap Surfing?” Agung menyapa, menyeret gembolan sampah.
“Diem lo Gung. Siapa yang narik selimut gue?”
”Saya dari tadi beres-beres Mom.”
“Si Norak. Awas lo, ya!” Ramon mengecam kejahilan barusan, cengar-cengir Agung mengetahui ulah siapa semua ini.
*****
“Morning.”
Ramon menyapa. Dilihatnya Gadis sedang di mulut jendela. Melihat-lihat susunan pohon hijau, dan ranting-ranting pohon berserakan di tanah.
“Udah bangun? Tumben. hikss,” Gadis menggoda, melempar senyum.
“Aku duluan bangun kali yang,” Ramon mengoreksi, menyeka poninya. “Seriuss.” Meyakinkan lagi kerutan kening heran Gadis.
“Oiyaa. Kok bisa?” Gadis menolak pinggangnya.
“Kelakuan Ewok. Gak bisa tidur lagi.”
”Kenapa emang?”
”You know lah. Iseng banget. Selimut aku ditarik jadi silau.”
“Kok bisa silau? Hmmm...pasti jendela lupa ditutup. Lupa lagi?” Gadis menunjuk lubang jendela kamar disebelahnya. Pohon pinus ikut terkeker telunjuk Gadis.
“Jendela apaan. Aku tidur di sofa, dari pintu malahan sinarnya,” Ramon mengembangkan kedua bola matanya, membayangkan betapa banyaknya sinar itu masuk.
Gadis mengerucutkan mata, dahinya menyusut. Sepertinya Ramon lupa tidur dimana tadi malam. Gadis menjadi heran. Setahu Gadis, Ramon tidur di kamar bersama Abe.
“Untung ada yang kasih selimut, kalau gak makin pagi bangunnya,” Ramon menggaruk-garuk rambutnya, bagian belakangnya mulai gerah.
Mendengar itu, Gadis merunut ulang informasi, memikirkan sesuatu.
“Sorry.”
Mia melangkah masuk, menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
“Kamar mandi yang samping kosong, dibelakang ada Abe,” Mia memberitahu, mengepaskan rambut bondolnya yang sudah mulai kering.
“Ohh iyaa. Makasih. Aku mandi dulu ya,” Gadis mengait tool bag mandinya.
“Ikut. Hehehe...,” Ramon cengengesan sebentar. Tajam mata Gadis menyilaukan lagi.
Gadis merasa risih, disitu ada Mia yang terlihat pura-pura tidak mendengar dengan kesibukannya merapikan pakaian.