“Edo? Kenapa lagi ini anak?” Ramon mengerutkan dahinya, menarik kebelakang poninya yang mengguntai basah. ”Kenapa bro?” Ramon menelpon balik, membuka percakapan.
“Jemput gue dong di Bandara. Hehe.” Edo bicara terbata-bata bernada rayuan.
“Maksdunya?” Ramon meneliti lagi permintaan adiknya.
“Kebetulan banget gue di Bali,” jawab Edo lebih jelas.
Ramon menggelengkan kepalanya, poninya bergerak lagi melewati matanya.
“Halooo, Kak?” Edo memanggil-manggil, melihat layar ponselnya, memastikan panggilan masih berlangsung.
Ramon menolak pinggang, mengecap bibirnya. Tidak habis pikir Edo menyusul dia liburan.
Bunyi kecapan bibir Ramon mengundang reaksi Gadis
“Ada apa yang?”
Ramon menggedek lehernya, tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
“Ahhh! Bullshit! Kebetulan-kebetulan, emang lo mau nyusul aja!” Ramon menaikan volume suaranya.
“Please...hehehe.” Edo memelas, merayu lagi.
”Huh! Wait!” Ramon kasar mematikan saluran ponselnya.
“Kenapa yang?” Gadis bertanya lagi penasaran, daritadi dia masih meraba-raba isi percakapan Ramon.
“Edo nyusul ke Bali. Minta jemput di bandara. Jadi kita off dulu nih Gung.”
”Wahh! Alasan lagi,” Agung menancapkan ujung papanya ke pasir.
”Tenang bro, kita home and away aja pertandinganya. Sekarang kan gue away, second leg lo datang ke kandang gue di Jakarta.”
”Iyaa terus main di pantai Ancol?”
”Ada ombaknya kok bro,” Ramon merekatkan rambut basahnya kebelakang, tertawa kecil.
“Ombak dari mana, air lautnya saja sudah kering direklamasi sama kapitalis!” Muncung Agung nyerocos berbicara.
”Hahaa. Santai bro. Jadi emosi gara-gara reklamasi.”
“Udahan Mon? Cepet amat? Ombak lagi bagus gitu,” Mia meniup-niup rambutnya yang basah keringat. Mindik-mindik dibawah kanopi Combi.
“Edo nyusul, minta jemput dibandara.”
”Si Edo ke Bali Mon? Ayuklah jemput. Selow gue sih,” Mia menanggapi riang, punggung telapak tanganya mengelap keringat di dahinya.
Mendengar nama Edo, kepala Ewok muncul dijendela, jiwa senioritasnya keluar. “Lahh....ada si Edo,” Ewok berdesis pelan.
“Kalau begitu, kita bandara dulu baru nyebrang pulau,” Agung menegaskan lagi arah perjalan hari ini.
“Ehh. Gung. Edo dateng ya?” Ewok meyakinkan lagi.
“Awas lo Wok! Jangan lo ajak macem-macem ya!” sergap duluan Ramon mengingatkan. Badannya merangsak ke ruang depan.
“Macem-macem apaan lagi lo. Norak lo!” Ewok memalingkan wajahnya ke luar jendela.
“Gue jengkalin otak lo Wok. Emang gue gak tau asbak di kamar Edo. Jorok banget lo mainnya!” Ramon menaikan tensi suaranya.
”B-biiji cabe itu. Norak lo!” Ewok mengeles tergagap, wajahnya di hadapkan ke arah Ramon. Coklat kemerahan wajah Agung meregang tawa.
“Lo NORAK!” Ramon melempar kesal, suaranya lebih lantang, “ruangan AC, buka jendela lo. Diem-diem masuk kamar Edo, keluar-keluar sok asik!” Ramon masih menggerutu, menggaruk kepalanya, padahal belum gatal.
“Wok...Wok..., kamu ini masih saja!” Agung masih terus memandangi jalan didepan.
“Apaan? Gak denger gue? Semalem di Combi, gue jekpot lo malah ketawa keenakan!” Ewok menyerang balik, Agung cengar-cengir menggerakan bahunya sambil menggenggam lingkar setir.