Seharian dikerangkeng. Itu pengorbanan Goldy untuk melihat dan bermanjaan di Combi lagi bersama Ramon. Goldy bisa merasakan lagi gesekan Jok Combi dengan bulunya, dan mencium semerbak wangi kampas rem Combi. Ruang Combi menjadi terasa sesak, ada dua penumpang gelap, yang satu berkaki dua orang.
“Udah izin bokap bro?” Ramon menoleh ke arah Edo.
“Udahlah. Dapet uang jajan lagi, hehehe...,” Edo menyeringai, menepuk-nepuk tas selempang didadanya.
“No! Anak kecil megang duit. Sini gue pegang! Dikasih berapa sama bokap?”
”Kepo lo. Ogah ah. Uang ditangan lo mah cepet bais!” Edo menolak mentah-mentah, mengamankan uangnya.
“Awas lo minta-minta duit sama gue di jalan!” Ramon mengancam, menyodorkan matanya.
“Iya. Kagak. Banyak duit gue,” Edo tidak gentar, menyenderkan tubuhnya, bersantai.
“Dikasih berapa sih lo? Entar gue telpon bokap, susah banget!” Ramon merasa gerah dengan gaya Edo.
“Jangan kasih tau Do!” Ewok menyanggah dari depan, menaikan kakinya ke dasboard.
“Diem lo Wok! Nyamber aja. Ini urusan para ahli waris!” Ramon menyergap balik, menendang jok depan.
“Yang aku laper,” bisik Gadis, meringis menaikan ujung hidungnya.
“Guys, kita makan dulu, ya. Laper nih gue,” Ramon mengelus dua kali perutnya.
“Kak. Bokap nitip juga uang buat makan,” Edo menyaut, diikuti gemuruh sorak sorai didalam Combi. Suara selebrasi Ewok paling keras.
“I love you Om Roy! Sekali Om Roy, tetap Om Roy. Hidup Om roy!” Ewok bergoyang menirukan gaya ular meliuk-liuk.
Ramon menggumam dalam hati, “Selalu pakai uang untuk mengambil simpati orang lain,” menghela nafas cepat.
“Makasih Papa Roy, hikss...,” Mia berbisik dalam hati, senyum-senyum sendiri.
“Nyebrang laut jadi semangat ini. Combi bisa jalan di air kalau diservice. Ada alokasi dana service Do?” Agung melempar tanya, menggebu-gebu memutar setirnya.
Edo tertawa, “Coba dihitung-hitung dulu ya.”
Ramon salah bertanya berapa bekal uang Edo, pasti ditas selempangnya terdapat Credit Card atas nama Roy. Edo membawa uang tidak terbatas.
*****
“Kenyang ya Goldy,” Gadis mengelus-elus bulunya, mulut Goldy masih blepotan warna ungu buah naga.
Goldy sangat menyukai sayur dan buah-buahan. Ramon sangat membatasi penggunaan Doog Food berlebihan. Wortel dan buah naga menu favoritnya.
Rahang terasa ringan jika mengunyah makanan gratisan. Tinggal tunjuk tanpa perlu bolak-balik, menjumlahkan harga makanan dan minuman dihalaman belakang. Fokus liat gambar makanan dan deskripsinya. Kalau makananya sudah mahal, biasanya minuman dikorbankan, pesan es teh manis. Kali ini minumanya penuh warna, bisa dibayangkan porsi makanannya, namanya saja sulit dibaca, Ala-ala Espanyola.
Tidak perlu gentar. Lihat saja Edo melenggang percaya diri ke meja kasir, membawa kartu kredit Roy. I love you Om Roy.
“Sampaikan ucapan terimaksih ku, kepada Bokap lo, ya,” Ewok mengirim pesan, mengaduk-aduk minumanya dengan sedotan.
”Siap Bang,” Edo mengedipkan sebelah matanya, “ ada yang mau pesan lagi, atau bungkus buat perjalanan?” Edo menawarkan, melihat ke segala arah.
“Emang pesen Bokap gitu juga?” Ramon menatap sinis. Begitu juga pandangan Gadis kepada Ramon dan Edo.
“Gak juga, sih. Siapa tau masih mau makan,” Edo menanggapi santai.
“Do gue mau ini dong. Asal tunjuk,” Ewok mengarahkan buku menu, “tuh, yang ini,” menepelkan telunjuknya.
Ramon melirik cepat, “Gak modal lo! Lagian Bokap ngapain kasih kartu kredit segala!” Ramon mendumel didalam hati.
“Siap Bang. Ada lagi?”
Sisanya hanya melempar senyum dan lambaian tangan, sudah cukup kenyang.
“Lets go! Kita nyebrang pulau,” Agung menancap gas, perbekalan dilambung sudah full tank.
*****
Combi melaju melewati jalur aspal. Bersanding dan berpacu dengan banyak Truk Logistik. Selama perjalanan, Ramon tidak berselera untuk ngobrol dan ngebanyol lagi.
Kalau bukan urusan isi perut, Ewok masih betah berdiam diri di kursi depan, bolak-balik melihat wajahnya sendiri dikaca spion.
Atap Combi terasa begitu panas, ada awan hitam wara-wiri menyelimuti kepala Ramon dan Ewok. Keduanya teman sejak SMA, sampai setua ini pun mereka masih sering ngambek-ngambekan. Boys will be boys.
Soal pundungan tidak perlu masalah besar. Tidak jelas ada masalahnya juga mereka suka rese satu sama lain, dan berujung merajuk salah satunya. Saling iseng-isengan masih berbuah panjang, padahal keduanya suka isengin banyak orang. Kalau sudah bertemu adu iseng, gengsinya sampai kelangit ketujuh.
Roda Combi melintasi jembatan baja, mengundak-undak, bergerigi. Combi sudah masuk ke lambung kapal Feri. Kalau tidak digoda dan dipaksa Agung menuju geladak paling atas, mungkin Ewok masih terombang-ambing air laut diatas jok Combi. Agung sadar, Ewok dan Ramon sedang memainkan strategi saling serang.
Lalu lintas laut. Hamparan biru dilalui hilir mudik kapal laut, ada yang terlihat besar, sampai ukuran kecil diujung pulau dan dermaga. Angin kencang menghempas rambut panjang Ewok, sesekali terselip disela-sela bibirnya, mengganggu waktu makan Ewok.
“Gak tau malu!” Ramon berdesis pelan, melirik berulang-ulang kali. Ewok lahap memakan irisan ikan salmon, sausnya meleleh di ujung bibirnya.
Ramon menghalau rasa gundah gulana, dengan berkelana mata melihat laju kapal Feri. Bulu matanya yang panjang, bergoyang dilanda angin, apalagi bulu lebat Goldy disampingnya. Berulang kali Goldy mencoba menangkap angin dengan mulutnya, gelambir bibirnya bergoyang-goyang. Gadis membuka lagi pembatas buku novelnya, tiga puluh menit bisa untuk membaca dua puluh halaman.
Abe membuka halaman depan ponselnya, mengetuk lambang Instagram, menutup layar ponselnya, kembali lagi membuka Instagram, gerakan diluar kepala, ketagihan. Dilayar Instastory, sudah ada postingan Mia dengan produk minuman kesehatan di tangga kapal Feri. Insting endoresnya diluar kepala, dimanapun dan kapanpun asal cuan, soal kualitas produknya itu belakangan.
Daratan sudah dekat, pepohonan kering ada dibelakang garis dermaga. Combi berjaga-jaga di mulut pintu, melaju mengaspal didataran tandus. Putaran roda Combi melesat cepat melintasi barisan pohon kelapa tua. Wangi air laut masuk ke dalam Combi, seluruh kaca terbuka lebar. Angin laut seram serampangan menghempas rambut mereka semua.
Ewok memetik okulelenya, satu senar ke senar lainya, menyanyikan lagu asal, liriknya baru saja dibuat. Dia bernyanyi pelan untuk dirinya sendiri, sambil melihat sinar matahari, dari sela-sela kepungan nyiur pohon kelapa. Perjalanan ini seperti masuk kedalam mesin waktu, waktu dimana mereka mengesampingkan hal-hal penting untuk menemukan jati diri.
Pada saat itu tidak sulit menemukan kecocokan tanggal, hari, jam, dan tempat berkumpul, untuk merencakan perjalanan. Kecocokan itu coba diramu dengan ilmu cocokologi, yang penting semua cocok, udah cocok, pasti cocok. Segala sugesti dan rayuan saling mengajak satu sama lain dimainkan. Perjalann seru tak terlupakan menjadi iming-iming.
Ide perjalanan dan rencana acara apapun tidak menjadi masalah besar, ketika dilakukan secara mendadak. Rasanya begitu lega ketika mengkaitkan dengan kehidupan mereka sekarang, kerumitan tekanan revisi, tuntutan nyinyir kata orang, deadline, dan berakhir pada tanggungjawab global, seakan beban dan nasib hidup mati perusahaan ada dipundak mereka.
Hari ini mereka kembali memikul beban tanggungjawab mereka sendiri-sendiri, sejauh mereka bisa, karena akan ada tangan yang membantu untuk meringankan, tanpa ada saling menjatuhkan, mencari muka, bermuka dua, bermuka tebal, dan penjilat ulung.
Terlintas lagi bersama wajah-wajah lama, wajah-wajah yang mengharapkan kehadiran kita lebih penting dari urusan, dan masalah lain yang menghalangi, tiba-tiba semua ada jalan keluarnya, bijaksana.