Agung menawarkan diri mengangkat barang-barang Mia menuju kamar tidurnya.
“Udah Gung. Gue bisa sendiri, hehehe.”
Mia menangkis insiatif Agung, masih ada sisa-sisa senyum paksaan yang belom habis.
Itu semua sudah biasa, hanya kesakitan yang berulang-ulang. Kesakitan ada rupanya, walaupun meninggalkan bekas yang sama, tapi kedalamanya berbeda-beda. Bukan lagi hantaman palu kepada batu, yang mengantarkan serpihan tajam, tetapi sudah mata bor yang membiarkan uliran baut masuk kedalam dinding hati.
Mia menutup telinga dari kebisingan putaran mata bor, kedalaman lukanya sudah terukur. Biarkan mata ini terus terbuka melihat Ramon memainkan mata bornya, dibandingkan merasakan luka yang lebih dalam, ketika tidak bisa melihat Ramon melukainya terus menerus.
Luka terdalam hanya diberikan oleh cinta yang paling dalam. Ramon adalah keduanya, peramu sekaligus penyembuh luka. Tak terbayangkan olehnya, ketika hatinya baik-baik saja tetapi tidak ada Ramon, lebih menderita.
Ramon bukan cinta pertama Mia. Kekuatan merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya, menguatkan lukanya untuk memuliakan cinta. Kapan kamu pertama kali jatuh cinta? Kalau kamu belum mengingatnya, kamu akan sulit menemukan cinta sejatimu.
Coba ingat wajahnya, bagaimana cara kamu yang begitu menggebu hanya untuk sekedar diakui keberadaanya. Bisa dibilang wajah yang sudah kamu ingat itu adalah cinta pertamamu, dan pengorbanan yang paling besar untuk wajah itu adalah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu. Kedua hal itu pasti masih ada dialam pikiran kita, keadaan itulah yang membuat kita tidak pernah takut untuk jatuh cinta.
Ingatlah dua hal itu, masa dimana hati kita begitu tebal untuk ditembus dalamnya tusukan sakit hati. Usia kita belum banyak saat itu, tetapi kita tidak pernah kehabisan akal, untuk mencintai wajah pertama yang menggetarkan jiwa. Kita anak kecil yang beruntung, anak kecil yang tidak pernah disuruh untuk mendefinisikan apa itu cinta.
Perasaan cinta saat itu cukup melihat foto wajah itu, foto yang masih kita ingat sampai sekarang, dengan gaya rambut dan cara dia bicara yang tidak sabar kita lihat dari dekat.
Menemukan cinta sejati harus mulai dari pertama kali kita jatuh cinta. Disanalah kita mengingat tanpa perlu merasa sakit hati, tentang apa yang pernah kita lakukan, tidak pernah kita lakukan dan harus kita lakukan.
Kecewa itu biasa, sakit hati yang luar biasa, itu dua hal yang berbeda. Cinta sejati berawal dari pertama dan selanjutnya, menemukan apa yang kita tidak dapat dari setiap alasan kegagalan demi kegagalan.
“Mi tolong panggilin cewe gue dong, please! Mia melempar sisa-sisa senyum terbaiknya di wajah Ramon.
Senyum yang lain dari biasanya, apakah Ramon melihat perbedaanya? Atau Ramon menilai semua senyuman maknanya sama, tidak ada senyum pura-pura, hanya untuk menyembunyikan isi hati, atau sekedar basa-basi. Kalau Ramon benar-benar mempelajari senyum Mia, seharusnya dia bertanya tentang isi hatinya.
Dari sebuah senyuman yang tidak lazim, paling tidak ada satu alasan kegagalan Mia, yaitu tidak dihargai. Dalam mencintai Ramon, akan ada alasan-alasan kegagalan lainnya. Untuk saat ini Mia sedang asik mengikuti kata hatinya, walaupun alasan kegagalan yang lebih kronis dia sudah ketahui.
Pilihan untuk tidak dipilih menepiskan alasan kegagalan-kegagalan itu, karena akhir perjalanan sudah ada, tidak bersama-sama dalam sebuah ikatan selamanya.
Sedalam-dalamnya jatuh hati dengan Ramon, Mia tetap mengingat cinta pertama, dan semua kenangannya yang mula-mula hadir dalam hidupnya. Ramon hadir sebagai cinta selanjutnya, cinta yang membawa luka, dengan segala hal tentang kompleksitas memaknai cinta itu sendiri. Semuanya akan datang dan pergi membawa luka, silih berganti mengucap janji, memulai lagi dan lagi, sampai pada tiba waktunya kita tidak percaya dengan kehidupan percintaan.
Kalau itu terjadi, kembalikan ingatan kita kepada indah dan mudahnya kita mengejar cinta pertama. Dapat atau tidak kita mengejarnya, tetap indah dikenang selama-lamanya.
Menghakimi cinta adalah penghkianatan indahnya cinta pertama. Mia tidak mengingat-ingat lagi rupa cinta pertamanya, hanya keindahan rasanya yang menguatkan, dan menyelamatkan pengorbanan dia kepada Ramon hingga saat ini.
Cinta tidak melulu luka, ketika ada suka yang selalu kita lupa. Mia harus adil menilai cinta.
******
Bayangan air kolam renang menangkap barisan manusia sedang bersantap malam.
“Ikan bakarnya jangan kasih Goldy ya! Rontok entar bulunya,” Edo mengimbau sekitar.
“Sans Do. Paham ogut.”
Ewok mengunyah lalapan dan melempar ketimun lonjong, kearah dengusan pentol hidung basah Goldy
“Gak timun juga keleuss!” Edo menelan kunyahannya, nada suaranya terdengar putus asa.
Goldy mengait-ngait timun lonjong didepannya, bergelinding tidak dihiraukan.
“Timun kan bukan ikan Do. Gak bisa renang juga.” Ewok menebar lagi kemangi di sekitar timun lonjong.
Agung melempar paha ayam, dagingya menggumpal, baru setengah jam lalu dia selesai membakarnya. Paha ayam itu disambar ludes, remukan tulang bergemuruh di rongga mulut Goldy. Lidah Goldy keluar masuk, terpental-pental menjilati sekitar mocongnya. Ekornya masih terus bergoyang menunggu lemparan berikutnya. lidahnya masih dijulurkan, mengguntai mengarah piring Agung.
“Kasih anjing itu daging Wok. Ada tulangnya juga, biar gizinya bagus si Goldy. Seimbang asupannya.”
Agung mengecap-ngecap berbicara, mulutnya masih mengunyah makanan.
“Anjing makan tulang, informasi yang bermanfaat.”
Ewok menggelengkan kepalanya, mengorek-ngorek sambal matah dipiringnya. ”Mana ayam bakar gue?” Ewok bertanya dalam hatinya, mengoprek-oprek nasi dan lalapan dipiringnya, “jatoh kali ya,” melihat-lihat disekitar bawah kakinya.
Agung masih terus saja makan dengan sisa kerupuk dipiringnya, mulai berlagak pelon menghiraukan keresahan orang disebelahnya.
Gadis menahan tawa melihat Ewok kebingungan, tak kuat menahanya lantas pergi mencari minuman. Gadis ingin juga merasakan tawa bersama, tapi rasa kehati-hatiannya menjaga perasaan orang lain, menjadikan dirinya takut untuk menjadi orang yang pertama membuka tawa.
*****