Berjalan keluar pintu menjadi momok menakutkan bagi perasaan Ramon. Dia melihat-lihat kearah rumah tetangganya terlebih dahulu. Dengan wajah masih shock, Ramon mencari ujung selangnya, membilas dengan cepat sisa-sia busa di seluruh bagian mobilnya.
Ramon buru-buru membilas mobilnya, dia tidak mau kejadian itu terulang lagi dengan begitu cepatnya. Sesekali dia menyiramkan air kewajahnya, untuk memastikan dirinya sedang tidak bermimpi.
Baginya lebih baik bertemu dengan hantu, “Kringg...kringg...kringgg,” daripada harus mengulangi kejadian barusan.
Di waktu dan keadaan ini juga. Dirumah sebelah. Perempuan itu sedang duduk di anak tangga, sambil meminum segelas air putih ditangannya. Pandanganya mengarah ke tembok didepannya. Perempuan itu tidak bisa memberanikan diri, untuk keluar melanjutkan menyiram bunga tulipnya.
“Tunggu dia pergi dulu!”
Perempuan itu berkompromi dengan dirinya sendiri.
Ramon menyiram dengan seadanya saja, tanpa mengelap kering mobilnya. Tetesan dan gelembung sabun masih ada yang menempel.
Gadis melihat suasana tubuh Ramon di meja makan, seratus delapan puluh derajat berbeda, dengan awal dia melalui pagi harinya dengan penuh semangat.
“Kamu kok keringetan yang?” Gadis mengelap dahi Ramon, kucuran berikutnya mengalir di pelipis.
“Panas yang.” Ramon gelagapan membalas.
“Aneh, ya. Tidur diatas kamu kedinginan, dibawah kamu kepanasan, padahal AC-nya nyala. Kamu habis liat setan ya?” Gadis meremas lengan Ramon, mulai ketakutan.
“Gak, kok. Gak tau gerah aja.” Ramon cepat menanggapi, “ini lebih-lebih dari ngeliat setan,” Ramon berkeluh dalam hati.
Keringatnya masih ada yang turun, Ramon mengelap dengan lenganya. Gadis membantu lagi dengan tissue, masih ada beberapa didahinya.
“Kamu gak ada komentar masakan aku?” Gadis diam-diam menyorot mata Ramon, memelas mencari tanggapan.
“Enak kok yang. Enak banget. Thank you. So delicious!” Ramon asal menilai, padahal dia tidak tahu masakan apa yang barusan dia makan, lidahnya terasa hambar.
Ramon dan Gadis bersiap untuk pergi ke kantor bersama-sama. Ponsel dan dompet, dua benda yang diingatkan Gadis, dia tidak mau kembali lagi kerumah, hanya untuk mengambil dua barang itu. Ramon bekerja sebagai seorang Arsitektur, membuat kantor bersama-sama dengan dua orang temannya semasa SMA dulu, namun kampus mereka berbeda-beda. Nama Kantor mereka adalah Artsitek.
Ramon selalu mengantar Gadis pergi kekantor. Gadis bekerja di wilayah pusat perkantoran yang sama, di daerah Sudirman, Jakarta Pusat. Gadis adalah seorang Psikolog, dia bekerja di sebuah kantor Psikologi ternama di Jakarta, namanya Humanis.
Mobil Ramon melaju dengan sisa-sisa busanya, bulir-bulir air terpecah terkena angin. Mendengar gemuruh mobil dekat dengan rumahnya, perempuan itu mengintip ke arah luar jendela. Mobil Ramon sudah tidak ada digarasi. Dengan perlahan perempuan itu mindik-mindik dari bingkai pintunya, sudah terlalu lama busa menempel dibunga tulipnya.
Dia tonjolkan kepalanya sedikit, bola matanya mendelik menggembung lebar, terlihat jelas Goldy sedang berguling-guling main bola kasti didalam kandang. Kilau bulu emasnya bergelombang, mengikuti gerakannya, bola kasti itu diinjak dan disepak-sepak kakinya yang besar. Melihat Goldy, perempuan itu semakin lemas kakinya, dia kembali masuk kedalam rumah, duduk kembali di anak tangga. Memegang gelas yang sama.
Pandanganya ditujukan kembali kearah tembok didepannya. Dia mulai mengayunkan gelas ke mulutnya, menempelkan dibibirnya, padahal airnya sudah tidak ada lagi didalam digelas.lingkar gelas itu masih saja menempel terus dibibirnya, tubuh perempuan itu membeku.
Perasaannya melayang-layang diudara, dia berjalan menuju kamar mandi, mencuci mukanya, memandang ke arah cermin. Kini dia yakin tidak sedang bermimpi. Sekilas memori itu berjalan kembali diingatannya, ketika Boy menceritakan tentang anjing Golden Retriever sebelah rumah.
Semua ingatan itu dengan keras dihancurkan bersama air mata, bergetar kencang lagi terasa didada. Merasa tidak sanggup jika mengulanginya satu kali lagi. Kini Ramon begitu dekat, sebatas jarak tanaman tulipnya.