Pagi ini Rindu akan visit ke ruangan anak, mengontrol salah satu pasien anak perempuan mungil berusia delapan tahun. Perempuan mungil itu biasa menjadi teman bermain Rindu ketika berkunjung ke ruangan. Disakunya selalu ada hadiah untuk anak itu. Terakhir berkunjung, Rindu memberikannya Squishy Unicorn. Mainan itu masih dia remas-remas, sambil menunggu Rindu berkunjung lagi.
Cita sudah hampir satu minggu rawat inap terkena demam berdarah. Badannya selalu terlihat lemas. Jika Rindu datang berkunjung, untuk memberikan dia obat, seketika wajah Cita menjadi bertenaga, dan senang bercerita. Kalau sudah bercerita, Cita telihat tidak sedang sakit, hanya suapan Rindu yang membuat dia reda berceloteh.
Rindu melakukan itu semua, agar Cita lekas sembuh dan tidak terlalu lama bertemu dengannya di rumah sakit. Kunjungan ke ruangan Cita, Rindu tidak membawa dirinya seperti biasanya.
Harapan Cita tentang kehadiran Rindu tiba. Orangtuanya aktif menyapa Rindu, dan bertanya kapan mengunjungi ruangan anaknya lagi. Cita tahu bahwa dokter Rindu akan tiba, ada banyak cerita yang ingin dia sampaikan, sakitnya jarum suntik yang sulit mencari pembuluh darah venanya, memakan pahitnya daun pepaya, sampai perut kembungnya meminum jus jambu biji. Syukur-syukur dia mendapatkan kejutan hadiah dari kantong ajaib jas putih dokter Rindu.
Cita sudah bangun dari jam tujuh pagi. Pernah satu kali dokter Rindu datang, ketika dia masih tertidur lelap karena pengaruh obat. Gara-gara itu, Cita menangis sampai Rindu harus mampir ulang mengunjungi ruangannya. Cita memperhatikan wajah Rindu, tidak ada senyuman dan keceriaan di wajahnya. Sorot mata Cita masih meneropong terus wajah Rindu, mencari-cari perhatian, ingin sekali dia memulai cerita yang sudah disiapkan sejak semalam.
Rindu masih sibuk melihat berkas rekam medis ditangannya, memperhatikan botol infus dihadapannya. Rindu masih saja belum menanggapi perangai yang penuh harap itu. Pagi itu tidak ada senyuman dan sapaan ramahnya, apalagi hadiah baru. Cita cemberut meratapi, dokter Rindu terlihat murung di pagi hari, tanpa ada kasih.
Rindu pergi begitu saja, meninggalkan cerita Cita yang masih dia simpan sendirian. “Mama. Kuncirin rambut Cita, biar mirip dokter Rindu.” Cita mengelus-elus gaya baru rambutnya. Cita ingin menjadi seperti dokter Rindu. Tidak disangka-sangka, Rindu luput mengomentari kuncir kuda milik Cita.
Memasuki bangsal ruangan, membaca rekam medis, menjawab pertanyaan keluarga pasien, tanpa disadari waktu berlalu begitu saja. Rindu merasa aneh waktu operan jaganya sudah tiba, daritadi dia tidak pernah melihat ke arah jam tangannya.
Sore pukul empat, waktunya Rindu pulang kerumah. Seharian dia belum makan, waktu luangnya dia habiskan untuk merenung, untuk mencari tahu kesibukan apa yang akan dia lakukan sebelum pulang kerumah, killing time. Berulang kali dia mengusap-usap wajahnya, merapikan kuncir kudanya, sampai membilas wajahnya dengan tissue basah.
Dia belom menemukan ramuan khusus, supaya perasaannya kembali tenang ketika berjalan kembali kerumah.
Dia menjadi takut untuk pulang kerumah, padahal sebelum bertemu Ramon, itu adalah rumah impiannya, strategis dari tempat kerja, tidak jauh dari cafe dan bar, suasananya tidak bising kendaraan umum, bebas banjir dan tanah longsor.
Rasanya dia tidak ingin beraktivitas apapun sesampainya dirumah, kecuali tidur seharian sampai besok pagi tiba, atau ingin sekali pulang dalam keadaan mabuk berat dengan sebotol Tequila ditangan kanananya, kemudian langsung tidur pulas tanpa ganti baju, dan melepas high heel.
Separuh Tequila Jose Cuervo akan membawanya tidur lebih lama, mungkin siang hari baru bisa benar-benar membuka mata. Untuk sisa setengah harinya, bisa mengambil garam di dapur dan jeruk nipis dikulkas, ditambah sisa setengah botolnya lagi.
Rindu berpikir keras bagaimana sebaiknya cara terbaik pulang kerumah. Dia tidak ingin hari ini terlalu lama membuka mata di ruang tamu, berusaha mengalihkan dengan Binge Watching serial Netflix, tetapi serial masa lalunya sudah tayang kembali. Rindu sudah kelimpungan membayangkan, menelungkup dikasur pasti tidak bisa tidur, mata tertutup pikiran melayang-layang, posisi tidur uring-uringan.
Mencari cara melenyapkan waktu. Rindu ingat bahwa Boy tiba di bandara Soekarno Hatta pukul delapan malam, setelah ditugaskan untuk pengecekan lokasi baru pengeboran minyak di Riau. Rindu mengusap layar ponselnya.
Tuing, muncul notifikasi dilayar ponsel Boy. Ada nama WIFE.
“Mas nanti aku jemput ya?”
Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
“Tumben banget.”
“Aku naik taksi online aja dek.”
Mengetik, muncul dilayar ponsel Boy.
“Gk usah mas.”
“aku jmput aja”
Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
”Asik.”
“Mksih ya dek.”
Panggilan Mas Boy berawal dari bercandaan Rindu ketika PDKT, entah kenapa memanggil Mas Boy enak dilantunkan, padahal Boy bukan orang Jawa. Ledekan mas boy pertama kali, dilantunkan Rindu sambil bergaya sosok Emon memanggil Boy, dalam film Catatan si Boy.
"Pelan-pelan Mas Boy, ya ampun!” Suara Rindu di buat persis, ketika Emon ketakutan ngebut, dibalapan Rally bersama Mas Boy.
Sampai menikah panggilan Mas Boy masih enak di dengar.
Boy agak lama memandang layar ponselnya, dengan sarung tangan latex dia kesusahan menekan tombol. Walau kesusahan mengotak-atik ponselnya, aliran wajahnya memancarkan kejutan-kejutan senyum. Hari ini istrinya menjemputnya pulang, selepas letih seharian bekerja di laut lepas.
“Ntar temenin gue beli oleh-oleh buat istri gue ya!” Boy mengajak seorang staffnya, dia tidak sabar menuju daratan, dan memilah-milah buah tangan.
Boy seorang Insinyur Perminyakan. Dia bekerja diPerusahaan Minyak terkenal di Kalimantan, Boratex. Pada waktu tertentu dia pergi ke laut lepas, untuk mengawasi pengeboran minyak di dasar laut. Dia harus rutin menetap satu minggu, setiap minggu pertama dan ketiga dalam satu bulan, dan pulang kembali ke Jakarta selama satu minggu, pada minggu kedua dan keempat. Jadwal ini bisa berubah-ubah tergantung tekanan atasan.
Untuk pelaporan teknis dan hasil pengemboran minyak, Boy bertandang dikantor pusat tempat kerjanya, di daerah perkantoran dan pergudangan di Jakarta Utara.
Hari ini lelah dan penat bukan main rasanya, lantaran harus mengecek lokasi baru pengeboran, pada siang tengah bolong sampai sore hari. Perusahaannya mulai loby sana sini berekspansi ke pulau Sumatera. Terkurasnya tenaga dan pikiran hari ini, tidak lagi jadi keluhan. Istri tercinta ingin menjemputnya di bandara malam ini.
Ramon pulang agak malam, seharian dia melamun dikursinya, sebenarnya banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Dia tidak sendirian di kantor, ada Ivan dan Vero ikut pulang lebih larut. Ivan sebenarnya ingin menanyakan tentang keadaan Ramon seharian ini, namun dia segan bertanya, dan mencari tahu tentang hal itu. Untuk sekarang waktunya belum tepat.