Ramon tersetak kebisingan, bola matanya berputar kesegala arah.
”Haloo Bang. Udah dirumah?”
“Oii, bro. Shit! Gue ketiduran dikantor.” Ramon menegakan tubuhnya, mengucek-ucek matanya.
“Yah. Balik Bang, kasian Kak Gadis nungguin dirumah,” Ivan menatap gedung kantornya, terlihat dari trotoar tempat mereka berjalan.
“Oiya! Gue mau jemput Gadis dulu bro,” Ramon mengangkat pantat dan selempang tasnya. Gerakannya buru-buru.
“Udah lewat Bang. Tadi udah lo telpon,” Ivan mengingatkan lagi peristiwa yang lalu, ketika Ramon menepuk jidatnya kuat-kuat.
“Ohh. Udah, ya. yaudah deh gue balik. Thanks ya bro. Kalo gak lo telpon, besok gue orang pertama sampe kantor.”
Ivan menanggapi dengan tertawa, padahal di balik layar hanya dia buat-buat. Ivan ikut merasakan beratnya kisah Ramon hari ini, walaupun dia tidak tahu apa masalahnya. Dari raut wajah Ramon, Ivan berkeryakinan masalahnya teramat berat.
“Bang Ramon ketiduran dikantor dong.” Ivan menggelengkan kepala, melangkah ke garis zebra cross.
“Aduh. Parah. Dia marah sama gue gak ya?” Gantian mengejar langkah Ivan.
“Parno kamu kumat lagi!”
“Ihh. Serius!” Vero tetap tidak tenang dengan jawaban penuh keyakinan Ivan.
Irama kakinya terus melangkah cepat, keujung garis yang masih panjang, sesekali juga berkejaran dengan kotak lampu, yang hitunganya sudah angka sepuluh.
Memasuki gerbang perumahan. Seperti biasanya mereka harus melewati penjagaan Satpam Komplek. Kendali portal melintang didepan mobil mereka, masih menjadi kekuasaan Junet. Dari jauh sudah terlihat, Junet mengenakan topi biru, dengan baju yang tidak becus masuk ke lingkar celana. Disatu sisi ujung celananya, masih saja terselip didalam kaos kaki warna kecoklat-coklatan yang mulai luntur.
Junet hapal betul mobil Rindu, B 0301 NZF, mobil Jazz RS bercat putih.
Itu mobil ketiga yang menempati perumahan, makin kesini makin banyak mobil penghuni yang berdatangan. Catatan nomor polisi itu, dia catat di secarik kertas yang dia tempel ditembok. Sebelahnya ada poster meriam belina menggengam pisang tanduk, dengan judul tulisan, “Makin lama makin asyik.”
Gambar itu dia comot dari kamar anak laki-lakinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari gaya rambut meriam belina yang tebal, lebar, mengembang itu, diperkiraan di cetak pada tahun delapan puluhan.
Melintasi rumah Ramon. Wajah Rindu dipalingkan kearah Boy, alih-alih tidak ingin melihat Goldy di dalam kandang. Meringis dia memainkan rambut kuncir kudanya. Boy merasa diperhatikan, pipinya berkedut dua kali berurutan. Goldy bisa menangkap memori ingatan orang yang dia kenal, suara, tingkah laku dan ciri-cirinya. Menghindari kontak serius ke arah kepalanya, Rindu mulai mengurai rambutnya, belagak terus menggaruk sebelah wajahnya.
“Dek. Itu anjing Goden yang aku ceritain. Lucu banget!” Boy berhenti menunjuk ke arah kandang, bola tenis dirongga mulot Goldy jatuh menggelinding.
”Iya. Iya Mas. Tadi aku udah liat. Bagus anjingya, ada bulunya juga,” Rindu tersenyum getir terus melaju, mendahului sampai dilubang pintu.
“Anjing emang ada bulunya, ya.” Alis Boy menanjak, melanjutkan langkahnya, gantian menggaruk belakang kepalanya, berlagak ada yang gatal.
Rindu membuang nafas banyak-banyak, sampai lidahnya kering. Begitu juga perkiraan nasib lidah Goldy, yang kaku menjulur, memperhatikan orang asing lewat. Rintangan sudah terlewati, pandangan Goldy terbagi rata, dengan jentikan jari Boy yang mulai sok akrab. Boy belum tahu siapa nama anjingya, dari tadi muncung bibirnya hanya memanggil, “Satt...suuutt...sattt...suttt.”
Usahanya berhasil. Goldy berhasil menoleh dengan tatapan mata asing, mencoba mengenali daftar kontak wajah. Gerah makin gerah. Rindu sudah membayangkan persis wajah Goldy, ketika melihat orang asing lewat. Kepalanya akan bergerak miring kekiri dan kekanan, bulu halusnya mengayun mengikuti ujung hidungnya yang selalu basah.
Menarik tirai satin bergambar burung flamingo, mengisi penuh air di bak sampai batas tuas pemutarnya. Ingin rasanya berendam hingga tidak sadarkan diri. Sungguh berat melewati pergulatan isi kepala, yang tidak semuanya benar-benar terjadi, atau belum terjadi.
Genderang perut Boy membawanya ke meja makan dan engsel pintu kulkas. Tidak ada yang bisa dimakan, hanya susu untuk manusia, yang sedang menjalani program diet ketat. Harapan Boy pupus lagi dengan dua cup krim malam Rindu, yang dia kira adalah puding. Boy menyalakan televisi, tangannya sudah berselancar mencari makanan di aplikasi online.
Sembari menahan cacing-cacing berorasi, dengan tumpukan speaker organ tunggal di perutnya, dia mengambil biskuit regal yang diikat dengan karet gelang. Itu pertahan terakhir bagi penderita sakit maag kronis.
Mulutnya mengunyah biskuit regal, beberapa serpihanya terlempar di kain sofa. Sambil menunggu ojek online datang, matanya mulai meredup, padahal masih mengunyah lembutnya regal yang sudah diujung langit-langit. Hingga regal itu turun ke bawah, mata Boy benar-benar tertutup.
Memakai setelan piyama, begitu pikirnya mencari suasana tidur pada tubuhnya, melemaskan lagi syarat-syaraf, setelah direndam air hangat. Rindu merebahkan tubuh ke atas kasur, tengkurep, telentang, miring ke kiri dan kekanan, wajah ditutup bantal, meraih bantal guling, menutup bed cover seluruhnya.
Rindu bangkit duduk bersila, mencoba konsentrasi, sekejap meditasi, gerakan yoga seadanya, masuk lagi ke dalam bed cover. Di dalam pengapnya bed cover, masih tembus terdengar suara mobil Ramon telah sampai dirumahnya. Suara gemuruh knalpotnya nyaring terdengar, sama persis dengan suara yang tadi pagi dia dengar menjauh dari rumah.
Mendengar suara itu, sontak badan Rindu melompati ranjangnya, lebih gesit dari gerakan yoga barusan. Bersilat tangan menguncir cepat kunciran kuda, sambil terus melesatkan kedua kakinya bergantian menuruni anak tangga.
Rindu tersengal-sengal persis didepan pintu.