“Mobil baru, tuh anak. Gaya bener!” Rindu bergumam mindik-mindik menuju mobilnya, “berisik banget knalpotnya, warnanya juga serem item-item, tapi kacanya terang benderang, dibobol baru tau rasa lo!” Rindu terus mengamati tongkrongan mobil Ramon.
“Ih. Apaan sih? Aneh banget gue! Ngapain juga gue ngurusin dia. Kok gue jadi kesel aja gitu? Liat mobilnya kesel aja gue. Aneh banget. Gak jelas asli!” Rindu masih bergunjing dengan suara hatinya, wajahnya bergegar beradukan kedua ujung giginya. “Cukup liat mobilnya aja, jangan sampai yang punya!” Rindu bergumam dengan nada khawatir.
"IYA GUE TAU ITU MOBIL IMPIAN LO! LO MAU PAMER KAN!”
Rindu menutup pergunjingan hatinya, sontak menarik ketak kuncir kudanya.
Suara mobil menyala, gonggongan Goldy menyalak. Perut Rindu mulai bereaksi kembali. Banyak gas sudah bergejolak.
“Nah itu anjingnya yang, kandangnnya disamping mobil,” Boy masih menjejali Rindu, dengan pembahasan anjing Golden tetangga barunya.
Wajah Rindu kurang tertarik melihat bulunya emas Goldy, yang tidak menyala lagi. Selepas tidak bersama Rindu, banyak perubahan fisik Goldy, selain bulunya yang tidak selebat dan semengkilat dulu, berat tubuhnya tidak ideal lagi. Rindu memperkirakan berat badan Goldy kurang dari tiga puluh lima kilogram.
”Ini lagi laki gue, anjing mulu dibahas. Iya gue tau itu Goldy. Bener gue udah tau namanya, tanpa perlu kenalan sama pemiliknya. Gue tau tingkah lakunya. Semua piala dan medali-medali itu punya dia. Lo mau tau apa tentang anjing itu? Gemes deh gue pengen nanya gitu.”
Rindu menginjak pedal gas mobilnya, mengabaikan pembahasan tentang anjing.
“Anjinglah!” Rindu gusar meluapkan dalam hati.
Mata Rindu berkaca-kaca. Dia mulai merasakan kebiasaan Goldy lagi, selalu menggongong ketika dia tinggal pergi, sampai suaranya sayu-sayu terdengar, dan menghilang terbawa angin.
Jakarta memiliki banyak nama di dunia internasional, Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Kemacetan. Sudah biasa rasanya menghadapinya, malahan kalau lancar suka bingung sendiri, gak bisa jadi alasan ngaret kalau janjian sama orang. Level tertinggi kemacetan di Jakarta, ketika Abang-abang Cangcimen sudah masuk tol.
Foto mangga kuning, dan telur puyuh di plastikin, sangat ampuh buat bukti datang terlambat.
Rindu hari ini bertugas menjaga Instalasi Emergensi, akan sangat hectic konsentrasinya. Rambut kuncir kudanya dia kencangkan, mengimbangi irama syaraf otaknya berpikir.
*****
Banyak pekerjaan Ramon tidak dia selesaikan, mandek gara-gara pikiran kacau tidak karuan, menghadapi pikiran pusing melayang-layang. Membayangkan Rindu disebelah rumah.
Ada Pikiran baru di imajainasinya, “Rindu dan suaminya berduaan di rumah sebelah! Ngapain aja mereka!”
Langkah pertama dipikiran, dan rencana Ramon adalah menyelesaikan kekacauan dimejanya. Dia tidak suka ada orang lain yang merapikan meja kerjanya, walau sampah sekalipun. Ramon hapal betul posisi awal keruwetan mejanya. Cuma dia yang paham harus diapakan, digimanakan, mengkolaborasikan benda-benda diatas mejanya.
Dari susunan buku dengan corat coret stabilo, dan segala informasi didalamnya, alat tulis, kertas gambar milimeter blog, riset-riset informasi bangunan, hitungan angka lahan, sampai desain tata ruang yang sudah di rekam dikepala Ramon, adalah suatu bahan ramuan yang siap dia sajikan.
Dari keadaan berantakakan tersebut, jika fokus Ramon sudah masuk dalam-dalam, tidak butuh waktu lama untuk menghubungkan itu semua, dalam satu konsep briliant. Tercipta suatu karya yang originalitas.
“Rajin bener, Mon.” Bobby muncul menyapa, menolak pinggangnya, dia mengamati jam tangan. “Jam setengah sembilan, Ramon sudah beraksi,” menggoda partnernya, yang tidak lagi melamun seperti ayam sakit.
“Oiyy. Bro!” Ramon menaikan kedua alisnya bersamaan.
Dilihatnya manusia paling necis, dengan kemeja lengan panjang membungkus sesak lekuk otot-ototnya. Pomade yang Bobby oles, mampu menahan rambut belah sampingnya tidak bergerak barang satu centipun. Garis rambutnya, tegas, lurus sempurna.