Terlihat perempuan sedang merakit lampion disebuah toko. Rambutnya ditarik kebelakang, kaca mata menahan rambutnya dari atas. Inilah kegiatan Gadis di hari sabtu, melawan waktu yang akan hilang disetiap harinya. Dia masih gemar ikut turun tangan merakit segala bentuk Lampion, padahal dia memiliki beberapa pekerja di tokonya. Ramon sudah hampir berbusa-busa, menahan dirinya untuk tidak membuang tenaganya percuma.
Ramon selalu di todong senyum terbaiknya, “Tidak ada yang percuma dalam hidupku, setelah sakit, apa yang kulakukan sekarang adalah hal-hal yang paling berharga,” begitulah ucapan Gadis yang berhasil menghentikan larangan Ramon.
“Apa yang terbaik, lakukanlah!” sebelumnya kata-kata itu sudah pernah terlanjur terlontar dari Mulut Ramon, selanjutnya dia hanya sekedar mengingatkan saja.
Gadis mencintai berbagai bentuk keunikan dari lampion. Lampion khusus buatannya tidak untuk dijual, tetapi dia terbangkan diwaktu malam, untuk mewakili perasaan hatinya. Bagi dia Lampion memiliki kehidupan, berupa nyawa hidup untuk membawa pergi masalah hidupnya. Ketika sedang bersusah hati, Gadis selalu melepaskan lampion. Gadis menaruh segala kegelisahan dan kesusahannya di dalam Lampion, agar dibawa terbang sejauh-jauhnya.
Pintu kaca terbuka, seorang pemuda masuk melihat-lihat ke sekitar. Dari kejauahan wajahnya berseri-seri, Gadis suka pemandangan itu. Jemari lentik Gadis meliuk-liuk membengkokan kawat dengan tang ditangannya, namun bola matanya melihat-lihat juga, sepasang mata yang sedang mencar-cari. Gadis melihat seorang laki-laki di bawah gantungan lampion warna-warni, hati-hati menyentuh, dan memilah ratusan lampion yang terpajang disana.
Beberapa lampion disana berbentuk unik, ada bentuk bunga teratai, kepala naga, Love, lingkaran, bahkan berbentuk iblis bertanduk. Semua bentuk Lampion memiliki artinya masing-masing, untuk bentuk iblis dan lampion bernuansa hitam dan gelap, biasanya dibawa oleh manusia-manusia yang pikiranya sering dikuasai iblis.
“Maaf, kak. Bisa saya bantu?” Gadis mengajukan pertolongan, senyum andalanya yang aduhai dia terbarkan.
Alamak! Beruntung sekali pemuda itu, terjaring senyuman Gadis.
Di hadapan Gadis, pemuda itu semakin kelimpungan hendak memilih lampion yang mana. Dari gelagatnya dia hanya sekedar mampir, melihat banyak lampion warna-warni, tergantung di teras toko milik Gadis, atau tertarik dengan tulisan di papan nama tokonya. Itu tagline toko Lampion Gadis
“Temukan dirimu didalam Lampion.”
Warna-warni Lampion dengan berbagai bentuk yang unik itu, berhasil mengambil perhatian banyak orang yang melintas di lorong pertokoan. Memang tidak semuanya berhenti, atau sempat mendorong gagang pintu, hanya sekedar untuk melihat-lihat juga ada. Sepertinya ada yang menarik langkah pemuda itu untuk mencari tahu isi hatinya.
“Iya, kak,” malu-malu pemuda itu mengaruk-garuk lengannya sendiri.
“Kalau bingung pilihannya, boleh saya bertanya?” Gadis lagi-lagi tersenyum, kini lidah pemuda itu meleleh didalam rongga mulutnya.
”Boleh, kak,” perlahan dia memepersilahkan. Kepalanya mengangguk samar.
”Apa yang kamu rasakan hari ini?” Gadis mencari tahu, kedua alisnya bertaut di tengah, masih menunggu suara yang keluar dari bibir pemuda itu.
Bibirnya hendak buka tutup, tapi sulit untuk mengatakan sesuatu.
”Saya sedang jatuh cinta kak, tapi malu mengungkapkannya,” jelas pemuda usia dua puluhan itu sambil tersipu malu. Menatap Gadis saja sudah tidak mampu lagi.
“Jangan gengsi, nanti dia pergi seperti lampion yang diterbangkan, tidak akan kamu genggam lagi, kalau sudah jatuh dan ditangkap orang lain, baru nyesel deh,” Gadis memberi masukan, ada perubahan wajah tegang di ruang wajah pemuda itu, seakan sudah benar-benar terjadi.
“Iya sih, kak. Tapi berat ngomongya kak, takut di tolak mentah-mentah,” perlahan-lahan pemuda itu mengungkapkan keresahannya.
”Cinta harus dikatakan, tidak peduli laki-laki atau perempuan, karena cinta gak punya kelamin. Sekarang banyak cinta yang kejadian, karena perempuan sudah tidak malu lagi mengungkapkan duluan. Apalagi kamu cowo, bisa jadi perempuannya sudah nunggu-nunggu momen itu.”