TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #32

Hari Kemerdekaan #1

“Hormat grak! Tegak grak!” Ramon berulah sendiri, didepan tiang bendera merah putih yang barusan dia pasang.

Semua perilaku itu dilihat Rindu di balik jendela rumahnya, termasuk gerak jalan Ramon menuju kandang Goldy.

“Harus gue liat keanehan mahkluk ini lagi? Ngapain itu anak pasang bendera di depan rumah, kurang kerjaan! Ehh. Bentar-bentar. Minggu depan udah tujuh belas Agustus, ya.” Rindu bergumam, kemudian menyeruput lagi teh hangat ditangannya.

Rindu mengoprek-oprek ponselnya, masuk kedalam toko online, mengetik “Bendera merah putih”, keluar semua lapak jualan bendera.

Rata-rata harga bendera berukuran satu sampai dua meter, berkisaran antara dua puluh lima ribu, sampai lima puluh ribu rupiah.

Melihat Ramon memasang bendera merah putih di depan rumah, menjadi pemandangan yang mulai jarang terjadi di era milenial sekarang. Harga bendera yang tidak mahal, harusnya tidak membuat rasa nasionalis terkikis. Atau memang sikap masa bodo, yang menganggap pengibaran dan penghormatan bendera merah putih, hanya untuk rakyat kolot, yang masih mendengar kisah-kisah perjuangan para pahlawan kita.

Untuk anak-anak milenial sekarang, mereka lebih sibuk berperang di gadget mereka, daripada mememperingati jasa pahlawan kita yang mati di medan perang. 

Pengibaran bendera mereh putih pada peringatan hari kemerdekaan adalah wajib, dan diatur dalam Undang-Undang. Banyak wacana adanya sanksi hukum yang akan di buat bagi masyarakat, yang tidak mengibarkan bendera merah putih pada hari kemerdekaan, dari peraturan tingkat daerah sampai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Adanya sebuah sanksi hukum, menunjukan adanya kemerosotan Nasionalitas kita yang harus dipaksakan lagi, tanpa adanya kesadaran dari dalam diri sendiri.

Kalau terus kaburnya nasionalitas kita, akan ada masyarakat atau kelompok masyarakat, yang lebih peduli dengan negara lain, berteriak bangga mengibarkan bendera negara lain, bahkan ikut mengurusi masalah negara lain, daripada mewujudkan nilai gotongroyong untuk bangsanya sendiri.

*****

“Gue beli online, terus tiangnya gimana, ya?” Rindu membayangkan tukang paket bawa tiang bendera naik motor.

Rindu mengalihkan masalah pengiriman tiang bendera, melihat-lihat seisi rumah, namun dipandanganya hanya gagang sapu yang berbentuk tiang.

“Udah gue beli benderanya dulu, ntar gue tanya Ramon beli dimana tiangnya,” Rindu meneruskan lagi keranjang belanja onlinenya. “Ihh! Males banget gue nanya-nanya Ramon. Mending gue bela-belain nebang pohon bambu sendiri deh!” Sergap Rindu merevisi kata-katanya sendiri.

“Spadaa! Spadaa!” teriak suara laki-laki dari balik pintunya.

“Siapa, tuh? Masa bendera gue udah sampe? Baru gue mau bayar padahal, canggih juga ini toko online,” Rindu mengucap pelan, sambil berjalan menuju kaca jendelanya.

“Yaelah! Gaya banget spada, spada tuh satpam,” Rindu membuka pintunya, di sodorkanya sepucuk kertas.

“Apaan ini, Pak?” Rindu meraih kertas itu.

“Undangan lomba tujuh belasan Neng. Inisiatif warga aja biar meriah,” Junet mematut topinya, celingak celinguk ke arah kandang Goldy.

“Lomba, ya. Oke. Makasih Pak,” Rindu membawa masuk surat itu, mengencangkan kuncir kudanya.

“Sama-sama Neng. Siappp!” Junet lantang berteriak, mundur teratur menuju sepeda ontelnya, sebelah ujung celananya masih terselip dikaos kaki.

“Kaget gue!” Rindu mengelus dadanya, “aneh-aneh orang disini, ya. Gak bisa biasa aja jalannya?” Rindu menggelengkan kepalanya.

“Maaf pak!” Rindu melambaikan tangannya, memanggil balik Junet.

“Siappp!” teriak lagi membalikan badannya, begitu optimis dan sangar, di belakang Junet bendera merah putih berkibar dengan gagahnya.

“Ampun deh! Makin kuenceng suaranya!” Rindu berdesis pelan. “Pak bisa cariin tiang bendera gak? Kaya gitu aja,” telunjuk Rindu mengarah ke tiang bendera rumah sebelah. “Oiya, Pak. Kalau bisa, bilang aja “iya.” Gak usah pake teriak “siapp, siapp!” Rindu menarik senyumnya setengah.

“Iyaaa. Siappp!” lantang dan tegas junet menyanggupi.

“Hadehh. Semuanya dia borong, “iya dan siap.” Rindu berdesis membalik badannya, kedua telinganya dia tutup dengan telapak tangannya, berjaga-jaga ada teriakan susulan.

Langkah Rindu berjalan berirama tegak lurus, “Dihh! Kenapa lagi gue?” Rindu memprotes jalanya yang ikut terbawa dua laki-laki aneh barusan.

Rindu masih berdiri memandangi surat undangan lomba, yang dia letakkan diatas meja, kedua tangannya menolak pinggangnya.

Lihat selengkapnya