TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #33

Hari Kemerdekaan #2

“Ayo para warga segera berkumpul! Sebentar lagi kita mulai acaranya,” seorang Encim berteriak dengan suara cempreng.

Boy dan Rindu berjalan juga mengkuti kerumunan, mencari ruang dan membagi baris, sesuai arahan encim berambut pirang itu.

“Dihh! Norak banget si Ramon, baju couple an merah putih gitu sama istrinya. Norak, norak!” Rindu menggerutu sinis, mengelap keringat didahinya yang sudah mulai berjatuhan.

“Ini lagi laki gue baris aja rapi dan tegap banget kaya mau wajib militer,” Rindu bergumam di belakang punggung Boy, kepalanya berlindung dari sinar matahari.

“Kalo begitu, ay coba panggil ketua panitia, yang punya niat baik buat acara lomba, sekaligus kita bisa saling berkenalan satu sama lain ditempat ini, silahkan Pak Ramon maju kedepan!” Encim rambut pirang itu menyodorkan Microphone, dibarengi riuh tepuk tangan para warga lainnya.

Ramon melenggang kedepan. Dari riuh tepuk tangan, kira-kira tiga puluh orang ada disana.

“Wahh! Ternyata tetangga kita ketua panitianya, Dek.”

Boy menoleh kebelakang, memberi tahu Rindu yang masih menempelkan kepalanya di punggung.

“Udah gue duga! Padahal gue gak mau suuzon sama itu anak. Ternyata bener, dia cepunya!” Rindu menggerutu didalam hati, sambil terus mendengarkan pidato kenegaraan pak Ramon di depan podium.

“...Pada intinya, dimomen kemerdekaan ini, bisa menjadi ajang silahturahmi, dan kita semua bisa membuktikan, kalau tinggal dirumah cluster kota Jakarta, tidak lagi bersikap cuek dan individual dengan sesama penghuni lainnya, Terimakasih, MERDEKA!MERDEKA!” Ramon menutup kata sambutannya dengan riuh apresisasi.

MERDEKA!MERDEKA!”

Serentak teriakan sambutan, dan kepalan tangan membumbung diudara. Kalau Junet jangan ditanya, sampai melompat-lompat meninju udara.

Anak-anak berbaris menunggu giliran dipanggil namanya. Mengingat jumlahnya tidak banyak, perlombaannya hanya maka kerupuk dan balap karung. Dari dua lomba itu saja sudah memecah keramaian dan keseruan. Tidak habis-habisnya saling berteriak dan menyamangati, tidak jarang juga gelak tawa pecah karena ulah anak-anak yang polos dan lucu.

Coba kita lihat anak si Encim berambut pirang itu, hanya kerupuk dia yang dibaluri kecap, tanpa kecap dia tidak bisa makan. Satu gigitan kerupuk dia kunyah begitu nikmatanya, matamya merem melek, sampai lupa sedang mengikuti lomba.

Lebih heboh lagi lomba balap karung, anak si Junet juga berpartisipasi. Dia lebih memilih lomba balap karung, karena terakhir lomba makan kerupuk, talinya tersangkut disela-sela giginya sampai copot. Sampai sekarang gigi kelincinya tidak sama besar.

Encim rambut pirang mengomentari setiap gerak gerik perlombaan, suaranya memecah keseruan. Teriakan cemprengnya, beradu dengan musik kemerdekaan yang meningkatkan semangat.

"Maju tak gentar membela yang benar, maju tak gentar hak kita diserang..."

Walaupun tidak juara satu, anak Junet sangat menghibur semua orang, berkali-kali dia jatuh dan tersungkur, namun tetap melanjutkan lomba sampai selesai. Dengan bangga dia finish di posisi ke tiga dari empat peserta. Peserta keempat tidak melanjutkan perlombaan karena cidera hamstring.

Kedua tangannya dia rentangkan, giginya kelinci yang tidak rata itu terpampang jelas. Junet meloncat kegirangan, anaknya akan dapat hadiah buku dan alat tulis. Hadiah itulah yang diiming-imingi Junet, agar anaknya jatuh bangun menyentuh garis finish.

Orang dewasa yang hadir sudah berkeringat, padahal perlombaan belum juga di mulai. Tibalah masuk perlombaan orang dewasa, ada tarik tambang untuk pria, joget balon berpasangan suami-istri, dan memasukan paku ke dalam botol untuk para wanita.

“Yang kalau kamu capek gak usah ikutan, ya. Panas banget!” Ramon mengingatkan muka Gadis yang berpeluh deras.

“Gak apa-apa, kok. Seru, seruu!” Gadis meluapkan semangatnya, “ini aku bawa minuman biar seger terus,” Gadis menunjukkan termos kecil, yang dia genggam sejak tadi.

“Kalau capek berdiri duduk aja, di dekat taman-taman itu,” Ramon menunjukkan tempat untuk duduk dan berteduh.

“Hampir gue nyelonong ngingetin Rindu juga,” Ramon tertergun didalam hati, mengosongkan rencana berbahaya itu.

Tiga langkah dari situ Rindu masih dengan gaya berdirinya yang sama dari dulu, melipatkan kedua tangannya didada. Dibuang perlahan wajahnya, mulutnya manyun kedepan, sekelibat berpapasan dengan mata Ramon.

“Sok-sokan lo Ramon. Dulo ke gue mana pernah lo begitu kalau panas-panasan, padahal kan gue juga pake krim malem.” Rindu menggerutu, mengencangkan kuncir kudanya.

Perlombaan dimulai. Teriakan Bapak-bapak menahan sesak, dan berat mengadu tenaga membetot tali tambang. Kebetulan Ramon dan Boy berada disatu tim yang sama, keduanya berhasil memenangkan pertandingan.

Dibarisan yang sama. Rindu dan Gadis menjadi satu tim, dalam perlombaan memasukan paku kedalam botol. Peraturannya adalah setiap tim terdiri dari empat orang, setiap orang diikat pinggangnya dengan tali, dan ditengah simpul talinya diikat paku, untuk dimasukan ke dalam botol secara bersama-sama. Setiap orang membelakangi paku dan botol.

Butuh komunikasi, harmonisasi dan kerjasama yang apik, agar bisa memasukan paku ke dalam botol.

Empat tim membelakangi botolnya masing-masing. Diposisi itu Rindu sudah mengenal nama istri Ramon adalah Gadis. Perkenalan itu begitu cepat dan singkat. Sepertinya Gadis juga tidak bisa mendengar dengan baik, ketika Rindu melafalkan namanya. Rindu mengucap cepat, belum sempat membalas senyum sapaan, dirinya harus terganggu dengan gemuruh suara banyak orang, dan pekikan cempreng Encim berambut pirang, yang sudah sibuk diposisinya.

Rindu menelan lagi senyumannya yang belum sempat dia bagikan, memeper keringat dibaju kaosnya.

Perlombaan dimulai. Empat tim saling berteriak mengatur posisi yang tepat. Tim Rindu dan Gadis dikomandoi oleh Encim pirang. Suara cemprengnya masih kencang terdengar, melahap suara-suara berseliweran disekitar. Padahal belum ada voting pemilihan ketua kelompok. Suara Ramon dan Boy ada juga diantaranya, keduanya memberikan semangat dan dukungan ditim yang sama.

Ramon melihat wajah Rindu, tarikannya masih saja sama ketika sedang mencapai sesuatu.

“Muka lo itu! Masih seambisius itu!” Ramon berdesis pelan didalam gemuruh sorak sorai.

Rindu merasa usahanya sudah maksimal. Bibirnya sudah dia kulum berulang kali, bersamaan rahangnya yang sudah mulai menguat. Ada yang salah dengan rekan satu timnnya. Rindu menoleh kesamping kiri-kanan, dan belakang, memastikan komando Encim itu sudah benar, dan diikuti oleh rekan yang lainnya.

Satu kali lagi Rindu menoleh kebelakang. Dia melihat Gadis dengan susah payah merendahkan tubuhnya, dan menekuk kedua kakinya, agar bisa seirama, menurunkan posisi pakunya ke mulut lingkar botol. Sudah terlewat geram, Rindu menarik dengan kencang tali dipinggngnya, untuk dipaksa turun jauh ke bawah.

 Tubuh Gadis yang tidak siap tejengkang kebelakang. Gadis berusaha bangun lagi, sampai tim lain bersorak memasukan paku ke dalam botol. Tim Rindu dan Gadis, belum juga berhasil memasukan paku kedalam botol.

“Aduh. Saya minta maaf, ya. Kaki saya gak kuat untuk nekuk lama-lama,” Gadis menelungkupkan kedua tangannya ke semua. Merasa bersalah.

Gadis masih membersihkan serpihan-serpihan pasir dicelananya yang berwarna putih itu, aliran wajahnya masih tergambar sebagai biang keladi kekalahan.

“Maaf ya, maaf ya,” Gadis selalu mengucapkan itu, ketika berjumpa lagi dengan rekan satu timnya.

Lihat selengkapnya