Rindu mengetuk-ngetuk penampang Diaphgram Stetoskop dengan jari telunjuknya, menelaah lagi rencana Mas Boy membawa Goldy keluar kandang. Dihitung-hitung sudah hampir empat bulan, Goldy terkungkung di balik jeruji besi. Antara kesal dan kasihan, tapi juga takut. Rindu masih menimbang-nimbang dampak serius kedepannya. Semakin kesini, kedekatan dua tetangga ini menjadi terbiasa berkomunikasi.
Goldy tidak mengerti apa-apa, dan kenapa semua ini terjadi, sialnya dia menjadi korban masalah dirinya dengan Ramon. Seperti Jogging dan berjalan santai bersama, padahal Rindu tahu betul kalau Goldy senang melakukan itu. Hampir setiap hari, pantai dan bukit menjadi pemandangan Goldy berjalan-jalan, namun sekarang apa yang dilihat Goldy? Barisan rumah dengan canopy yang semuanya sama bentuknya.
Melihat situasi Goldy sekarang, minimnya perhatian Ramon dan Gadis, seharunya Boy menjadi teman baru Goldy untuk bermain. Ketakutan dan traumatik dalam dirinya, menampik hubungan yang akan dibangun antara Boy dan Goldy.
Pertentangan dalam diri Rindu tidak bisa dianggap sepele. Sungguh berat memang, untuk membuat semuanya menjadi tidak pernah terjadi apa-apa, dengan Goldy dan Ramon. Mungkin membiasakan diri, untuk memahami situasi yang akan terjadi, antara dirinya dengan Ramon dan Goldy, menjadi jalan keluar terbaik untuknya. Walaupun berat dan sulit, tetapi inilah kenyataanya, benar dan pasti akan terjadi dihari-hari selanjutnya.
Paling tidak Rindu bisa tetap menjaga rahasia besar ini dari Boy dan Gadis.
Hal paling sulit dirasakan adalah ketika tidak melakukan apa-apa, dan berbicara apa-apa, hanya pertentangan batin saja yang dirasakan keduanya. Rindu perlu untuk membagi kesedihan dan kegalauan perasaannya, tetapi dengan siapa dia harus bercerita. Sepertinya Rindu ingin tetap diam dan menikmati luka yang terkadang berdarah kembali.
Rindu masih asik bermain dengan luka masa lalunya, merahasiakan kisah cintanya, walaupun dia sadar, bersamaan dengan itu, dia sedang melukai orang yang mencintai dirinya.
*****
Ramon duduk sendiri, mengetukan jari-jarinya di atas meja. Ada beberapa pajangan kata-kata motivasi didinding sekitar, yang tidak berdampak apa-apa dengan keadaan Ramon hari ini. Belom sempat Abe dan Ewok tiba, sudah dua kali Bro Ber membawa gelas beer ke meja Ramon.
Perasaan kecewa akan situasi bersama Rindu, membuat dirinya tidak rasional dalam bersosialisasi. Pikiran Ramon sulit untuk diselaraskan dengan keadaan. Ramon meyakinkan dirinya untuk berperilaku seperti biasa saja, melakukan apa yang biasa dia lakukan sehari-hari, termasuk berbicara dengan Rindu. Ide pikiran Ramon lebih gila daripada Rindu.
Banyak hal yang perlu disampaikan, setelah keduanya menghilang di tengah-tengah kabut dan petir. Ramon tertarik untuk menggali lagi tulang belulang perpisahan mereka berdua. Ambisi Ramon masih abu-abu, dia belum benar-benar yakin atas pertentangan logika dan perasaannya.
Ini pembahasan masalah dan penyesalan, atau melepas kerinduan?
Ramon kembali menyadarkan rasionalitasnya, dia tidak mau berhubungan apapun bentuknya dengan Rindu. Ramon menyusun pemahaman baru, anggap saja Boy hidup sendirian disebelah rumah.
Rindu sudah mati.
“Mon!” Ewok meyapa, menepuk lengan Ramon. “Udah lama? Abe belum dateng ya?” dua pertanyaan itu belum juga dijawab.
Ewok merapikan lagi posisi duduknya, gerak gerik tubuhnya tidak memecah kekosongan tatapan Ramon.
“Woy! Mon. Kemarin ikan cupang tetangga gue bengong, kelelep, trus mati!” Ewok mulai membanyol, mengusap-usap rambut-rambut di pipinya.
“Lo pesen minum deh, bro!” Ramon mengangkat tangan, dengan suara yang mulai mendayu-dayu.
“Nada suara lo udah enak banget Mon, muka udah bengep gitu. Yahh! Lo itu harapan gue sebagai penerus bangsa ini Mon,” Ewok menggelengkan kepalanya, melewatkan segelas Grey Goose dan es batu.
“Suuuttttt! Sarah!” Ewok memanggil dengan memuncungkan bibir, telunjuknya menyuruh Sarah mendekat.
Sarah memberi kode dengan telunjuknya, dia sedang melayani tamu dahulu. Jempol Ewok dilayangkan setengah, dia sabar menunggu giliran.
“Sapp, sippp, sappp, sippp!” Bro Ber nyerocos dengan gemasnya. “Mesen apaan lo pea?” Bro Ber memilin kumisnya di sisi meja.
“Yaelah! Lo muncul dari mana, sih? Gengges deh! Beer satu, sama cemilan apaan kek, yang paling enak dan mahal disini,” Ewok menyenderkan tubuhnya dikursi, mengacuhkan dengan menilik ponsel.
“Jiahhh! Lagak lo” celetuk Bro Ber dengan nada menyindir.