Boy mengambil air untuk Goldy. Menuangkan air diatas mangkok makan dirumah. Baru tadi malam, mangkok yang sama, digunakan Rindu untuk menyantap sereal. Rindu masih tidak siap untuk berdekatan dengan Goldy, walaupun tubuhnya ingin sekali menomprok gempal punggung Goldy
“Itu mangkok buat apa, Mas?” Rindu melihat Boy sedang menyeimbangkan isi mangkok yang terlalu penuh. Ditangan satunya ada roti.
“Hehehe. Buat minum Goldy,” Boy meringis menghentikan sejenak langkahnya.
”Yah! Masa pakai mangkok rumah, Mas,” Rindu menyergap ulah Boy, tidak lama kemudian, ”yaudah gak apa-apa,” lanjutnya lagi. Rindu ikhlas asalkan untuk Goldy.
“Besok-besok gue makan mie gelas aja, gak perlu mangkok,” Rindu bergumam pasrah, melepas nafasnya panjang-panjang. Rindu menelisik ke arah dapur, disana masih banyak gelas bersusun-susun.
Goldy masih duduk disana, ditempat yang sama, tanpa bergerak satu centimeter pun. Rahang Goldy mengatup dan terbuka, lidahnya keluar masuk. Melihat air menetes dari mangkok, lidah Goldy menyapu kemana-mana, dua kaki depannya bergetar-getar.
Goldy langsung menyambar, sesaat mangkok itu mendarat di lantai. Air terpental-pental disekitar, delapan helai kumis Goldy basah semua. Rindu memperhatikan di balik jendela, ekornya bergerak bagai kemoceng warna-warni.
Seketika air habis, Goldy kembali duduk menghadap ke arah Boy, lidahnya masih menjulur, mengelap seluruh sisi mulutnya. Boy sadar Goldy fokus kepada roti ditangannya. Boy memotek roti itu, seketika dilahapnya. Hampir saja tangannya pun disambar. Boy memberikan sisanya, dan dilahap lagi. Boy merasa kalau Goldy sedang lapar, dan segera mengembalikan Goldy kepada Ramon.
“Tok, tok, tok.”
Boy mengetuk pintu Ramon.
Di dalam kamar. Ramon sedang berbaring disebelah Gadis, keduanya mengisi waktu dengan membaca Novel ditangannya masing-masing. Di depan wajah Gadis, ada sampul Novel bergambar pria sedang terduduk di bawah lampu, berjudul Edensor. Di genggaman Ramon juga masih sekuel yang sama dari buku disebelahnya, Maryanah Karpov karya andrea Hirata. Mereka berdua berganti-gantian membaca Novel Tertralogi itu.
“Ada yang ngetok lagi, yang,” Gadis menggeser Novel dari wajahnya, konsentrasi mendengar suara dari bawah.
”Paling tetangga sebelah, balikin Goldy,” Ramon meyakinkan diri.
Ramon membuka pintu, mendapati Goldy sedang duduk didepan pintu bersama Boy. Goldy memicingkan mata ke arah Ramon, entah apa maksud pandangannya itu.
“Makasih, Mon. Seru lari bareng Goldy,” Boy berseru dengan gembira.
”Iya Bro. Dia emang suka diajak lari,” Ramon membenarkan, meremas batok kepala Goldy.
Dalam benaknya semoga ini yang terakhir. Ramon terlampau sungkan untuk menolak dan menepiskan permintaan orang lain, gak enakan.
”Kayaknya Goldy laper, deh. Tadi gue kasih roti habis satu,” Boy memberi tahu, mengusap-usap punggung Goldy.
”Astaga! Dari semalem belum makan dia. Thanks ya bro udah ngingetin,” Ramon kumat lagi, berganti mengurut-urut dahinya.
“Bener kelaperan si Goldy. Ramon lupa kasih makan Goldy dari kemarin,” Boy memberitahu Rindu, sambil menolak pinggangnya.