Kapal kayu coklat berbentuk Pinisi mengayun diatas air laut, dibawah Ramon dan Gadis. Suasana biru mendominasi warna lainnya, mulai tersamar oleh binar mentari siang.
Air laut memantulkan cahaya menyilaukan mata. Sinarnya menyebar kesela-sela bentangan kain kapal Pinisi. Kainnya menggembung ditendang angin kencang, air laut dibawah terpecah dorongannya.
Semua kapal memainkan perannya masing-masing, berlayar menyusuri pulau eksotis, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bentangan gugusan pulau-pulau kecil terlihat menyebar di tengah laut, diiringi banyak kapal lalu-lalang mencari tempat bersandar.
Awak kapal memantau lajunya kapal mereka masing-masing, berdiri di bagian paling belakang, ada juga di depan menantang angin, tanpa atap dan bertelanjang dada. Matahari menyilaukan mata, tidak berhasil menggangu pandangan mereka. Kilat kulit mereka terbiasa bergurau bersama alam.
Para pelaut negeri ini melawan waktu dan cahaya. Nenek moyangku seorang pelaut, bukan menjadi dongeng belaka.
Ramon dan Gadis sangat menikmati, setiap suara pecahan ombak menabrak kayu kapalnya. Mereka berdua terlihat sangat intin, dalam merasakan indahnya alam timur Indonesia. Dari kapal Pinisi, mereka melihat sesuatu yang lebih besar dari pengelihatan dan kemegahannya saat itu, yaitu kekayaan alam dan rasa syukur menjadi orang Indonesia.
Semuanya itu terlihat kecil dimata Tuhan Sang Maha Besar, sang pencipta alam raya.
Mereka berdua berjalan menuju bagian depan kapal, angin kencang hendak memisahkan genggaman tangan mereka berdua. Tidak sampai diujung kapal, mereka berdua kembali. Hujan telah turun, padahal saat itu cuaca terang.
Mungkin itu hujan air mata penduduk Indonesia timur yang jauh dari rasa keadilan. Di timur, Ibu pertiwi berkabung lewat hujan disiang bolong, tentang matinya kesejahteraan rakyatnya.
Langit gelap terlampau lambat di pulau ini, namun perlahan warna biru menjadi lebih tua warnanya, sampai menjadi gelap bergradasi orange.
*****
Pagi hari lebih cepat menyapa di Pulau ini. Ruang-ruang tidur di kapal menjadi terasa hangat, ketika matahari dari timur sudah mulai memunculkan sinar emasnya. Ramon dan Gadis keluar melihat pagi hari dari Indonesia timur. Dari atas kapal terlihat sunrise berbinar-binar begitu megahnya, diselingi lekuk pulau-pulau, dan gugusan batu karang muncul keluar dari kedalaman dasar laut.
Langit saat itu sama warnananya. Semburat emas untuk sekedar menunjukkan, betapa berharga dan mahalnya suguhan pulau, dan kekayaan alam di Indonesia timur. Matahari semakin tinggi di lintasannya, menebar kilau dipermukaan air laut.
*****
Tangga tali dibentangkan, ujungnya terjatuh di kapal kecil milik nelayan penangkap ikan dibawahnya. Pagi ini Ramon dan Rindu menyewa kapal kecil untuk melaut. Wangi surga dunia sudah tercium oleh mereka berdua.
Besar Kapal Pinishi mengayun dengan gagahnya, ukuranya bukan setengahnya bagi kapal nelayan itu. Butuh susunan lima puluh kapal nelayan untuk menyainginya. Layarnya hanya seperti seprei kapal Pinisi di ruangan tidur awak kapal, namun layar kapal Pinisi bisa membungkus kapal nelayan itu, untuk mengangkatnya keluar dari perairan.
Ramon dan Gadis perlahan menuruni anak tangga tali. Sambil menjangkau tali dibawahnya, Ramon terus memperhatikan Gadis. Gerakannya terlihat kaku dan sedikit gemetar. Ramon selalu tersenyum untuk menenangkan. Mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.
*****
Dikapal nelayan, hanya satu awak kapal yang ada disana. Berbeda dengan kapal besar disebelahnya, di dalam dapurnya saja paling tidak ada lima orang berjaga-jaga. Mesin motor dinyalakan, perjalanan sudah bisa dimulai. Ramon mengelus pundak Gadis, merapikan balutan kain yang turun diterpa angin. Kedua bahu mungilnya muncul.
“Kamu masih takut?” Ramon merapatkan posisi duduknya.
“Aku terlalu senang berada disini, rasa takutku hilang begitu saja,” senyuman Gadis sudah menggambarkan kejujurannya, dia bahagia hari ini, setiap detik waktu sangat berharaga baginya.
“Mari kita rayakan kesenangan mu disini!” Ramon berteriak dengan merentangkan tangannya, suaranya memecah bisingnya mesin motor kapal itu.
Mereka berdua berlayar dengan perahu nelayan berukuran kecil, melintas tenang dikelilingi kapal-kapal besar disebelahnya. Hempasan ombak dari kapal besar yang melintas, membuat Gadis semakin erat menggenggam tangan Ramon.
“Kalau kapalnya terbalik, yang kamu selamatkan aku atau Bapak itu?” Tiba-tiba Gadis bertanya.
”Siapa, ya?” Ramon menggaruk belakang rambutnya.
“Parah banget, sih. Masa mikirnya lama?” Gadis mengerutkan batang hidungnya.
”Gak ada yang perlu diselamatkan, karena kapal ini tidak akan pernah tenggelam.”
Ramon menoel ujung hidungnya, bukan jawaban romantis tetapi selalu menenangkan.