Suara gonggongan Goldy membuat Ramon dan Gadis terganggu. Suaranya tampa ampun menembus kaca, sela-sela pintu dan ventilasi.
“Goldy udah dikasih makan belum, yang? Katanya tadi mau kasih makan?” Gadis bertanya kepada Ramon disebelahnya.
Ramon menepuk jidatnya, pikiran dan waktunya terbawa pada siaran podcast di kanal youtube.
“Lagi-lagi Dogfood!” begitu kira-kira Goldy mengendus gelontoran makanan, yang ditumpahkan ditempat makan stainlesnya.
Goldy melahap itu semua. Saking laparnya buih-buih liurnya ikut teraduk juga. Ramon berlama-lama di depan kandang, dan terus melihat kearah Goldy yang sedang mengapit tulang kesayangannya. Ramon merasa kurang memberikan perhatian setelah dirinya menikah, sibuk kerja, mengurus rumahtangga, beristirahat lelah bekerja, ditambah lagi menemani Gadis seharian.
Aktivitasnya sekarang membuat dirinya tidak lagi ada waktu, untuk sekedar bermain dengan Goldy, atau minimal bertemu Goldy tepat pada jam makan yang seharusnya. Gadis berdiri didepan pintu melihat kearah kandang Goldy, setengah bahunya menempel dengan Ramon.
“Goldy gak dilepas aja, yang? Kangen gak sih, kaki kamu kena gibas ekornya?”
Gadis melontarkan kerinduan. Ramon hanya tersenyum menanggapinya, ujung ekor Goldy terselip di sela-sela besi.
“Aku mau mandiin Goldy, deh,” Cetus ide Ramon. Kali ini tanggapan Gadis juga sama, tidak berkata-kata, hanya sapuan jemari ke pungung Ramon.
Lingkar selang dia urai. Goldy mengikuti gerakan tangan Ramon. Gadis juga ingin ikut memandikan Goldy, paling tidak menyiram kepalanya sampai bergedek-gedek mencipratkan air. Ramon menyiapkan alat mandi Goldy, di dekat kandang hanya ada Shampo Mobil dan oli samping. Tidak hilang akal, Ramon menuju kamar mandi, dan meletakan shampo Head and Shoulders di depan muka Goldy.
Dari ekspresi mata almond yang melebar, dia suka wangi dan bentuk botolnya. Ramon menggosoki Goldy dengan Shampo, bulunya lepek saling menempel. Tangan Ramon sudah merasakan tulang rusuknya, dia raba merasakan lekukannya. Gadis berjaga di ujung selang, bersiap menyemprot busa-busa yang menempel diubun-ubun kepala Goldy. Ramon tidak hanya merasakan, padangannya juga melihat ceplakan tulang rusuk Goldy yang terlihat mulai kurus.
Dua bulan lalu Ramon kesusahan mengangkat tubuh Goldy, perlu menahan napas, dan membayangkan lempengan besi dumbel diujung kiri dan kanannya. Melihat tubuhnya sekarang, Ramon bisa menimang-nimang Goldy sambil bersiul-siul.
Ramon berhenti mengosok-gosok, Goldy menggetarkan badannya. Ramon dan Gadis terkena cipratannya.
Goldy terlihat lebih glowing, padahal semalam dia tidak pakai krim malam, hanya pakai shampo manusia saja. Tubuhnya menjadi mengkilat, buih-buih busa mengalir dilantai, semerbak khas shampo Head and Shoulders tercium terbawa angin.
Goldy dibekap Handuk, di gosok-gosok ke seluruh tubuh. Ekornya yang sudah tidak menggumpal, mulai merekah bergoyang-goyang. Ada masalah baru selain Shampo, Ramon hanya pernah melihat Mas-Mas petshop yang dia undang kerumah, menggunakan hair dryer dan sisir anjing.
Menemukan jalan keluar, masih ada sisir dan hair dryer milik Gadis yang bisa dia pakai. Gadis sudah menduga itu akan segera terjadi. Ramon hanya cengengesan meminjam itu semua. Gadis melihat ada yang kurang diwajah Goldy, namun Ramon belum membutuhkan pensil alisnya saat ini. Bulu matanya juga panjang, gemas rasanya Gadis ingin menjempitnya.
“Pegel juga ini gak kering-kering. Bulunya lebat banget lagi. Ini harus kering banget biar gak kena jamur kulitnya,” Ramon berkeluh meremas-remaskan bulu Goldy.
“Namanya juga hair dryer buat orang, yang. Mungkin kurang panas, atau kenceng anginnya,” Gadis menyahut, memperhatikan dari teras rumah.
“Udah lumayan kering. Jemur aja bentar mumpung ada matahari,” Ramon berdesis pelan, menggiring Goldy masuk kedalam kandang.
Roda kandang menggelinding, tepat didepan ujung garasi kandangnya berhenti. Goldy terus menggetarkan bulunya, mondar mandir didalam kandang.
*****
Baru saja membalik dua halaman Novel, Gadis sudah menguap tiga kali. Akhir-akhir ini Gadis kesusahan menghabiskan halaman demi halaman Novel. Matanya cepat lelah membaca tulisan yang berukuran kecil, dan berwarna monoton itu. Ramon selalu mempergoki buku novel berbaring di samping atau di perut Gadis, kadang terjatuh di bawah lantai.
Ramon dan Gadis berbaring di kasur, tangan Gadis mencari-cari lengan Ramon untuk dipeluk. Begitu cara Gadis agar tidak banyak bergerak ketika tidur. Kadang Ramon menjauh, atau menepis pencarian tangan Gadis sampai mulai kesal, setelah dapat Gadis akan menariknya lebih kuat lagi. Tanpa disadari Ramon menyusul Gadis menutup mata, sedangkan Goldy masih dijemur dibawah terik matahari, tanpa atap dan pepohonan.
*****
Melintas plat nomor milik Rindu, ada juga Boy didalamnya memegang kendali setir. Kedua batang leher mereka bergerak seirama, menatap sebongkah kandang di jalur masuk garasinya.
Hidung runcing Rindu malahan sampai menempel dikaca, terus melihat Goldy sedang menjulurkan lidahnya, air liurnya menetes dia alas kandang. Goldy mondar-mandir, sesekali menerjang pintu mencari jalan keluar. Nafas Rindu cepat naik turun, rahangnya dia kunci rapat-rapat, tangannya sudah meremas-remas pahanya sendiri.
Rindu ingin sekali memaki Ramon persis didepan poni ikalnya, sampai-sampai pekak telinganya. Rindu menyuruh Boy untuk memanggil Ramon, agar mengembalikan kandang Goldy ketempatnya. Suara rengekan Goldy sesekali keluar.
“Gilaa itu orang! Anjingnya sampai kepanasan gitu!” Rindu naik pitam, mengencangkan kuncir kudanya.
”Iya kasian Goldy, lidahnya sampai kering gak ada liurnya lagi,” Boy mengiyakan, mendekati kandang Goldy.
Boy menunjuk pinti kandang, “Digembok.”
”Coba kamu panggil tetangga itu, Mas!” Rindu memerintah tegas, dia tidak tega melihat Goldy terus menundukan kepalanya dari sinar matahari. “Udah tau bulunya tebel, terus kena panas langsung. Itu anak belum pernah pakai jaket di neraka apa!” Rindu menggerutu sendirian, langkahnya juga mulai mondar-mandir.
*****
Tiba-tiba Gadis terbangun, tubuhnya masih dililit lengan Ramon.
“Yang. Hari ini Sandra mau jenguk aku. Hampir aja lupa,” Gadis membalikan tubuhnya, hidungnya hampir saling menempel.
”Jam berapa?” Ramon melafal pelan, matanya masih tertutup.
”Siang ini, kasian dia dikantor back up kerjaanku, pulang malam terus.”
”Yaudah nanti aku beli makanan diluar, ya.”
Ramon mengucap lagi, matanya juga belum dia buka.
”Ehh. Gak usah. Dia justru mau masakin aku makanan sehat katanya,” Gadis memaparkan, membangkitkan tubuhnya.
”Oke. Kalo gitu, bagi ya!” pinta Ramon, matanya sudah terbuka perlahan.
”Ihh. Sakit dulu baru bagi,” seloroh Gadis, ”enggalah jangan. Aku aja yang sakit,” Gadis menimpal lagi, menggapai lagi tangan Ramon.
Kata-kata itu terdengar cepat tapi sangat menyesakan dada, Ramon membuka terus kedua matanya, jika dia kedipkan beberapa kali saja air matanya bisa mengalir disudut lekukan.
Baru saja Boy hendak memasuki pekarangan Ramon, di depan kandang Goldy turunlah seorang perempuan masih menggunakan blazer putih dari mobilnya. Perempuan itu berjalan kearah rumah Ramon, ditangannya sedang membawa plastik besar belanjaan.
Kandang anjing menjadi perhatiannya. Goldy mendekat kearahnya, mengisyaratkan bulunya yang semakin pengap dan panas. Wajahnya melengos, memastikan lagi nomor rumah Gadis, dengan alamat yang dia lihat di layar ponselnya.
Sandra teman kantor Gadis sudah datang. Sepanjang perjalanan telponnya tidak diangkat, padahal hanya ingin meminta share loc alamat rumah.
Boy mengurungkan niatnya mengetuk pintu rumah Ramon. Dia menyaksikan sendiri, perempuan yang sedang keribetan membawa tas, dan plastik belanjaan itu, mengetuk pintu rumah tetangganya lebih dulu.
”Tok, tok, tok.” mendengar pintunya berbunyi, dibarengi juga suara Ponsel di sofa bawah ruang tamu, Gadis yakin kalau manusia dibalik pintu rumahnya adalah Sandra.
Ramon masih memastikan lagi bunyinya berasal dari pintu rumahnya, matanya tertutup, telinganya dia pakai baik-baik untuk memastikan. Ramon masih setengah sadar, sebenarnya suara itu jelas-jelas mengganggu waktu tidurnya.