TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #42

Konrad Lorenz

Sore-sore pukul lima, Coki masih terus mengasah gigi taringnya yang sebesar tusuk gigi itu. Deretan giginya mencoba mengoyak keset dan sandal jepit. Kaki meja juga sudah selesai dia gerogoti, sikunya tersempal sedikit. Anak anjing usia tiga bulan, menggigit segalanya.

Bau menyengat melintas di hidung Boy, dia terbangun walaupun mimpinya belum selesai. Hidungnya mengendus kembang kempis, mencari aroma tidak sedap berasal. Dipikirnya dia sedang bermimpi mendaki gunung sampah di bandar gebang, nyatanya ada setumpuk kotoran Coki diatas lantai, mengerucut diujung bentuknya.

Untung saja Rindu sedang jaga malam, tidak menghirup kotoran itu lebih dulu. Bisa-bisa Boy dan Coki kena amukannya.

Rindu paling lihai dalam hal melatih anjing, dia memiliki kemampuan itu. Rindu tidak suka dengan perilaku anjing tidak terdidik. Boy meyakinkan dirinya, Coki akan baik-baik saja jika dia tinggal sendirian.

Ada urusan mendadak, lagi-lagi masalah pengeboran, yang sudah seminggu terakhir ini buat kepala Boy mau meledak. Lama kelamaan tempurung tengkorak Boy, yang akan Marco bor sampai keluar isi-isinya. Meninggalkan Coki berkeliaran didalam rumah sendirian, sama saja ingin mengobras isi sofanya.

*****

Satu-satunya jalan, merelakan sepasang sendal jepit kenyal, yang daritadi dia gondol kemana-mana. Tidak lama berselang, Coki sudah merasa bosan dengan ruang geraknya, apalagi dengan mainannya yang bau sikil itu. Dia menggonggong dengan berisiknya, berputar-putar diatas alas kandang. Suaranya khas anak anjing sedang menangis. Memekikan telinga.

*****

Ramon sedang mengganti piringan hitam, Turntable stylus belum sempat menggores ke penampang kaset. Ramon mengosongkan suara-suara, memiringkan kepalanya, memastikan suara rengekan yang tidak jauh dari rumahnya.

“Kaya suara anak anjing?” Ramon mengucap, memastikan lagi, suaranya masih ada.

“Iya. Iya. Aku kira perasaanku doang,” Gadis mengatup buku novel, mendengarkan lagi lebih jelas.

”Goldy lahiran kali, ya?” Ramon bergurau.

”Lewat mana keluarnya, yang? Hidung?” Gadis menimpal lelucon Ramon.

”Ingus dong, yang gonggong barusan,” Ramon menyosor, menyengir berduaan.

Suaranya muncul lagi, mengundang Ramon dan Gadis pergi keluar mencari tau. Goldy sudah berdiri tegak, mencari-cari suara gonggongan, ada anjing juga disekitar dia.

*****

“Rindu beli anjing Golden?” gumam Ramon, menyoroti moncong kecil yang nongol di sela-sela kandang, besar hidungnya sebesar tutup pasta gigi.

“Itu anak anjingnya!” Gadis menunjuk ke sudut rumah tetangganya, “itu, itu. Lucu warna kuning,” Gadis terus menunjuk-nunjuk.

Ramon mendekati kandang anak anjing itu, melompati kembang tulip baik-baik. Roboh sedikit, Rindu bisa menyantroni rumahnya lagi. Gadis masih berdiri di rumahnya sendiri. Ramon melarangnya ikut melompati bunga tulip, yang tingginya sudah sampai sepinggang Gadis.

Ramon mengelus-elus lekukan bulu diatas hidung Coki, dia tidak meyalak lagi, seolah rengekanya sudah tepenuhi. Ekornya bergoyang seperti antena radio terkena angin. Makanan menumpuk penuh diwadah, pemiliknya sengaja meninggalkan disana.

“Rumahnya kosong, makanan anjingya sengaja dibuat penuh, mobilnya juga gak ada,” Ramon menerka, melihat ke sekitar teras, sampai garasi tetangganya.

“Gara-gara sering jalan sama Goldy, mereka jadi piara anjing juga. Anjing itu sama kan, kaya Goldy?” Gadis mencoba menebak dari warnanya.

“Iyaa. Sama. Anjing Golden juga,” Ramon membenarkan tebakan Gadis.

Coki sudah tidak lagi menggongong. Ekornya bergerak seperti kemoceng yang sudah rontok bulunya. Tidak sampai menutup pintu, Coki kembali menggonggong. Suaranya tidak berubah, sama kerasnya dengan sebelumnya, bahkan rengekanya terlampau sering, seperti bayi newborn minta susu. Ramon yakin lima baris rumahnya mendengar semua rengekan Coki.

“Kasih tau aja yang, tetangga kita itu. Kamu gak ada nomer telpon Boy?” Gadis melempar ide, pipinya melekuk, menahan rengekan suara anjing.

”Gak ada nomernya,” Ramon menggeleng, menolak piggangnya.

“Kalau nomer Rindu ada gue. Apa gue hubungi dia aja, ya? Ah! Gak usah! Geer lagi tuh anak!” Ramon berdiksusi didalam dirinya.

Ramon menyimpulkan masalah ini, “Sampai kapan kita mau menunggu tuannya datang? Kapan datangnya? Berapa lama lagi kita harus mendengar rengekan suara ini?” daritadi tangannya masih menolak pinggang.

Ramon melompati lagi ranjau tulip, dia kangkangkan maksimal selangkanganya.

“Kalau aja olaharaga lompat galah, penghalangnya bunga tulip Rindu, kayaknya gue meyabet medali emas Olimpiade, deh.” Ramon berdesis pelan melewati bunga tulip, yang tidak bergoyang sedikitpun.

Ramon mengelus-elus lagi, menggaruk leher dan kepala Ciko yang sebesar genggaman tangannya.

“Masa gue jongkok seharian disini! Gak jelas banget si Rindu!” Ramon ngedumel, dan mulai terganggu dengan aroma kotoran yang menyengat. Sudah dua indranya yang di serang anak anjing ini, pendengaran dan penciuman.

Please bro! Gue mau istirahat, oke? Good boy!” Ramon mindik-midik kembali kedalam rumah, melintasi Goldy yang masih tegap, mencari anjing lain disekitarnya. Ramon mencuci tangan, mengambil buah mangga yang dikupas dadakan. Belum sampai menyentuh lidah, Coki kembali menggonggong. Kali ini mulai saut-sautan dengan suara Gody yang lebih ada superbassnya.

What! Gila berisik banget!” Ramon mulai naik tensi, suara Goldy juga semakin beringas.

Ramon kembali mengangkang, melintasi bunga tulip, “Gue injek juga ini!” Ramon hanya menggretak.

*****

Kandangnya tidak digembok, dia mengambil anjing itu dan membawanya ke dalam rumah.

“Eh. Anjing orang itu!” Gadis kaget menunjuk-nunjuk.

”Bodo amat daripada berisik, lagian tetangga kita juga sering pinjam Goldy,” Ramon masih gusar, menggauk-garuk ujung kepala anjing itu.

”Coki namanya, yang,” Gadis membaca ukiran nama dikalung lehernya. Ramon membalik arah gendonganya, dia membaca juga.

Gadis merebut Coki dari gendongan Ramon, “Ihh! Lucu banget yang. Dulu Goldy kaya gini berarti, ya,” menimang-nimang sampai lidah mungil Coki menjulur keluar.

Sudah jam sembilan malam, lampu rumah sebelah masih gelap semua. Muka Gadis sudah ditekuk tujuh lipatan, hak sepatu kerjanya pocel sedikit, di gerogoti Coki. Gara-gara mukanya yang lucu, Gadis tidak sanggup marah-marah, dia masih berusaha melebur emosinya.

“Kalau begini, kapan tidurnya kita?” Ramon berkeluh lemas memandangi Coki, yang masih menggigit kabel Chargernya.

“Sial! Kabel Charger gue sampe rusak gini. Awas lo Rindu!” Ramon bergumam dalam hati. 

”Kamu istirahat aja duluan. Besok kamu sudah berangkat kerja lagi,” Ramon menyuruh Gadis pergi menuju tempat tidur.

“Mau aku taro kandang Goldy aja, harusnya gak berantem,” Ramon menangkap Coki sekali sergapan, seperti hendak makan nasi padang pakai tangan.

*****

Kepala Goldy dimiringkan setengah putaran, mencoba mengendus-endus bau tubuh Coki, ekor Coki sudah terlipat masuk kedalam, ketakutan. Goldy terus menderap-derapkan keempat kakinya, ingin menyosor ke arah Coki. Perlahan Ramon membiarkan Goldy mengendus-endus badan Coki sampai ke bokongnya. Dirasa sudah saling mengenal, Ramon memasukan Coki perlahan-lahan.

Melihat Goldy mirip dengan wajahnya, Coki langsung melompat-lompat ke badannya. Goldy hanya terdiam dan mencoba mengindari agresivitas Coki. Sekarang Coki ada kesibukan baru, menggaruk dan menyeruduk badan Goldy yang besar.

Melihat kedamaian itu, Ramon yakin anjing ini tidak akan menggonggong lagi, dan mengganggu tidurnya malam ini. Merasakan cara Coki memperlakukan dirinya, Goldy terlihat gelisah dan terganggu, tubunya berusaha mengindari serudukan Coki. Goldy sekarang yakin akan kesulitan untuk tidur malam ini. Mata Goldy sulit dipejamkan lagi, sekarang Coki menggelinding di atas tubuhnya. 

“Kainggg...!”

Melengking sampai ke kamar Ramon, Ekor Goldy dirajam gigi taring Coki yang sedang gatal-gatalnya.

*****

Gadis berdandan lagi. Ramon melihat istrinya duduk di meja rias. Blouse berwana putih, bahu mungilnya muncul tanpa ada jaitan lengan panjang, melekuk rumbai kain diujung bahu. Diujung dengkulnya berbatasan dengan flare midi skirt rok berwarna hitam, jatuh merenda begesekan dengan lekuk betisnya, yang putih mengkilat.

Hari ini Gadis mulai bekerja kembali. Dua minggu Gadis tidak melihat kemacetan di bawah simpang susun semanggi. Melintas di pos Satpam yang sama, di jalur berbeda. Kedua kaca mobil saling terbuka, menyapa petugas disana. Walau sekilas, kedua mata mereka sempat saling lihat. Tatapan Ramon lebih tajam dari ketusnya wajah Rindu. Bukan tanpa alasan dan lain dari biasanya, akhirnya kabel charger Ramon putus jadi dua.

“Kenapa tuh anak? Kenapa jadi galakan dia!” Rindu mencibir di dalam kaca mobilnya, yang sudah selesai menutup.

Sesuai pesan Boy tadi malam, bahwa dirinya tidak pulang kerumah, dan Coki dia taruh didalam kandang. Tersedia makanan dan minuman yang cukup sampai besok pagi. Begitulah Boy meyakinkan Rindu.

Lihat selengkapnya