Boy mengemasi sekaligus meneliti dokumen satu persatu, merapikan lagi beberapa yang tercecer dilantai. Boy menghentikan gerakannya, namun setumpuk kertas masih dia pegang erat-erat.
“Kenapa cemberut, Dek?” Boy mengarahkan tanya, di jalur lintasan Rindu didepannya.
“Gak papa, Mas,” Rindu meneruskan langkahnya, dan menghilang dibalik jendela kaca, yang bergeser di sela-sela rel.
*****
Termenung Rindu duduk di Gazebo belakang rumahnya, disenderkan tubuhnya disalah satu kayu penyanggahnya. Tidak diperhatikannya taman kecil, bunga teratai di dalam gentong besar tanah liat, dan sekotak kolam ikan yang belum terisi apa-apa. Matanya kosong tidak menangkap cahaya sama sekali.
Boy memanjangkan lehernya, melihat kesana, Rindu masih aja menghilang dibelakang. Keribetan dokumen dan Bos dikantor dia bekerja, menyita banyak konsentrasinya.
Jadwal penerbangan luar kota seharunya pukul dua siang esok hari, tapi tekanan jajaran orang asing dikantornya, menyuruhnya pukul dua siang hari ini sudah sampai dikantor. Adu argumen dengan orang asing sungguh pelik, ketika sudah ada maunya, deadline bisa disangkutpautkan dengan kedisiplinan. Komunikasi blak-blakan dan to the point menjurus kepada hasil, yang penting hasil tercapai tidak peduli bagaimana prosesnya.
Atasan Boy tidak segan mengkritik habis-habisan hasil kerjanya, udah kapalan hatinya dia singkirkan dari rasa sakit hati. Kalau hasil kerjanya bagus, pujian setinggi langit juga dia dapatkan, padahal yang terpenting naik gaji dan bonus, bukan pujian yang bisa menjatuhkan orang dikemudian hari.
*****
Boy berjalan memasuki ruangan atasannya. Hawa panas Kalimantan bertambah pengap. Kalau sudah ada perdebatan disaluran ponsel, biasanya akan terjadi pembicaraan serius di balik pintu. Betul sesuai dugaan, Pria tambun usia lima puluhan itu sudah duduk di pinggir meja, cerutunya sudah mengepul, asapnya bau koran terbakar. Boy berencana tidak mau banyak bicara, cukup yang penting-penting saja.
Pembicaraan sebelumnya, lebih banyak perintah daripada diskusi, tidak kondusif. Pembukaan area baru dilokasi Riau, begitu judul besar di sebuah map warna merah, yang dia jatuhkan tepat di depan meja.
Belum sempat duduk, Boy sudah di jejali dokumen yang tidak mau dia liat lagi.
Marco masih mengenyot cerutunya, sembari membuka lembar demi lembar, sampai kepada ditunjuknya nama Boy, sebagai penanggungjawab atas pembukaan area pengeboran itu. Boy tidak bisa kalau hanya diam, darah militer Ayahnya mengepul di dadanya. Sebuah perjuangan diatas tanah negaranya.
“I don’t think the location can continue,” Boy tegas meyatakan, menunjuk-nunjuk dokumen tersebut.
“Why? Or you can not continue this?” Marco mendonga menyemburkan asap cerutunya. Mengepul bagai wedus gembel.
”The impact will damage the environment and humans,” Boy mengambil dokumen itu, menunjukan hasil pengeborannya, “look at this!” Boy mengetuk-ngetuk halaman itu dengan jari telunjuk.
“So. Apa yang mau kamu jelaskan?” pria pirang itu masih dengan logat bahasa Ibunya. Menaruh cerutunya di pinggiran asbak.
“Sudah kedalaman seribu lima ratus meter lebih, belum ada tanda-tanda, selebihnya akan berbahaya,” Boy menjelaskan singkat dan jelas.
”Gimana kerja kalian disana? Tim survey sudah pas, atas potensi minyak dititik itu,” Marco malah lebih ngotot, menunjuk lagi halaman yang ditunjuk-tunjuk Boy sebelumnya.
”Sesuai titik memang ada potensi, Sir. But....” Boy menyanggah dan cepat menjelaskan, namun belum selesai, Marco memotong lebih dulu.
”Kalo berpotensi, You must do it! Bor terus sampai keluar minyaknya!”
”But sir, I think...,” Boy berusaha menjelaskan lagi, tapi lagi-lagi di pangkas habis ucapannya.
“Franky! Come in!” teriak Marco sambil menyedot lagi cerutunya, tarikannya sampai mengeluarkan suara angin.
Mendekat seorang pria paruh baya, ada uban jarang-jarang disekujur poni lemparnya. Sejak pertama kali menginjakan kakinya diperusahaan ini, Boy belum pernah melihat sosok orang ini sebelumnya.
“Perkenalkan Boy. This is Franky, Fanky this is Boy. Franky my friend, lulusan terbaik Teknik Perminyakan dari Amerika, Colorado. Orang asli indonesia, tetapi kualitas internasional!” Marco menyindir terang-terangan, sambil menyodorkan dokumen hasil penelitian yang dibawa Franky.
Boy membaca, meneliti dan mempelajari cepat, dibolak-balik setiap halamannya. Sepanjang membaca baris demi baris, sudut alisnya terus bertautan.
“Look at that! Franky said ‘He could!’ So what else?” Suara bicara Marco sudah mulai mengeras dan bernada mencemooh.
Marco mengadahkan kedua tangannya. “What else?” Boy ditantang pertanyaan yang sama.