Bagaimana mulainya?”
Handuk masih melilit rambut, tiba-tiba Rindu mau menebar dokumen yang satu jam lalu buat kepalanya migran. “Gara-gara tulisan dokter Rasyid disalah satu jurnal internasional ternama,” selintas Rindu mengingat judulnya yang panjang. Dia hanya mengingat, “....Urology Surgery.” Mula-mulanya hanya penasaran, membaca-baca satu bundel saja. Rindu sekarang mulai oret-oret di kertas.
Sekarang Rindu keterusan berselonjor dikelilingi kertas HVS berisi ribuan kata. Ternyata bahan-bahan bacaan pemberian dokter Rasyid, mengundang perhatian Rindu untuk membaca dan mempelajarinya lebih dalam.
“Ketularan dokter Rasyid nih gue!” Rindu mengucap sendiri, sembari memposisikan lagi handuk dikepalanya.
Dari semua bahan bacaan itu, Rindu sangat tertarik dengan kumpulan gambar penampang ginjal buatan dokter Rasyid. Rindu tidak paham betul, tetapi gambar itu menyampaikan pesan kuat tentang ambisi dokter Rasyid di setiap coretan gambarnya. Gambarnya begitu banyak dan ruwet, semua informasi gambar ada disebelahnya. Rindu penasaran mempelajarinya.
“No! Coki!” begitu perintah Rindu, menghentikan keempat kaki Coki yang menginjak-injak dokumen.
Perilaku Coki terlihat juga dibalik layar ponsel milik Boy, dia tidak puas kalau Rindu cuma mengirim foto saja, apalagi wajahnya tidak terlihat jelas.
“Halo Coki. Coki!” Boy berusaha keras memanggil, gambar mukanya sudah penuh dilayar ponsel milik Rindu.
Coki menggongong kearah pintu, berdiri dibalik teralis warna putih.
“No! Coki!” Rindu tegas mendiamkan suara, fokusnya masih ke arah ponsel.
Coki hanya sekali membantah perintah Rindu, suaranya selanjutnya lebih tegas dan tajam ditelinga. Coki tidak mau mendengar perintah susulan. Rindu menoleh ke arah pintu, disana sudah Goldy sudah berdiri diatas keset. Lidahnya jatuh menjulir, suara nafasnya terdengar sampai ruang tamu.
“Maaf, ya Mbak. Kok bisa keluar, sih?” Gadis ada juga dibalik teralis, mengeluh, menggeret balik Goldy.
“Kenapa, Dek?” Boy melihat pandangan Rindu menoleh jauh dari layar ponsel. Sampai sinyalnya buruk, Rindu tidak menjawab apa-apa.
Goldy menyelonong, bokong besarnya bergeol-geol melintasi tanaman sebelah rumahnya.
“Yah! Rusak tanamannya,” Gadis menutup mulutnya, tidak bisa bergerak maju.
Bunga-bunga merah jambu segar bermekaran kini hancur sebagian, diantaranya sudah patah terinjak-injak. Gadis hanya ingat Ramon, dia harus panggil Ramon. Gadis terus mengingat, dan memastikan bahwa dirinya sudah sangat hati-hati melintas. Gadis yakin dia sudah memperhatikan letak kelopak tulip yang bergerak-gerak terkena angin malam. Dia tidak menyentuh, apalagi menginjak.
“Gawat! Gawat!” Gadis berjalan mencari Ramon.
Goldy suka cari perhatian, begitulah dia jika merasa diabaikan oleh Rindu. Ini bukan yang pertama, sebelumnya dia pernah mengacak-acak isi tempat sampah dan menggeret tong sampah bolak-balik. Suara bising tong sampah ingin dia tunjukan kepada Rindu, agar dia keluar rumah untuk membereskan.
Waktu itu Rindu sedang sibuk-sibuknya skripsi, melihat Goldy hanya sebentar saja dari jendela. Seperti hari ini juga. Rindu melihat tanaman tulipnya dia injak-injak. Goldy bukan pertama kali melihat bunga tulip berwarna merah jambu, sebenarnya itu sasaran Goldy sebelum tong sampah, tetapi saat itu raungan Rindu sudah menyentak mundur dari atas kamarnya.
“Dasar Goldy cari perhatian. Rusak deh, bunga gue,” gumam Rindu, melihat bunga tulipnya patah sebagian.
Goldy sudah menangkap wajah Rindu di balik kaca jendela. Goldy berhasil merebut perhatian Rindu dari dokumen-dokumen yang berserakan dilantai.
Rindu bisa membayangkan jika dia sedang menegur Goldy, wajahnya akan menengadah ke atas, dengan lidahnya yang muncul secuil. Kalau nada marah Rindu sudah meninggi, Goldy akan memelas dengan rengekan-rengekan kecil.
*****
Gadis melihat Rindu keluar rumah, sedangkan Ramon belum turun-turun juga.
“Gue harus datang minta maaf, atau gimana, ya?” Gadis berharap Ramon cepat datang.
Rindu menghampiri Goldy, rambutnya belum kering betul. Goldy melihat wajah Rindu, ekornya bergerak cepat. lidahnya menjulur semuanya. Ekspersi Rindu tegas melarang melakukan lagi, tetapi bukan seperti orang marah, melainkan memberikan isyarat bahwa perilakunya tidak benar.
“No! Goldy!” Rindu tegas mengoreksi, menyorot tajam ke bawah, menggeleng dua kali.
“Go! Goldy!” perintah Rindu, mengusir lewat tangannya.
Mendengar dan melihat isyarat itu, Goldy merasa bahwa Rindu kecewa dengan ulahnya, terus berjalan melintasi sosok Gadis diteras rumahnya. Kepalanya melihat kebawah terus, beberapa kelopak bunga terselip dibulunya.
“Syukurlah. Gue kira bakal dibentak-bentak, atau di pukul,” Gadis bernafas lega, mengelus-elus dadanya.
Gadis masih berdiri didekat pintu rumahnya, meyakinkan dirinya kalau tangkai bunga itu tidak bisa berdiri lagi.