“Ngapain Ramon Video Call?” Abe mengusap tombol hijau, terlihat jalanan dan speedometer mobil Ramon.
“Dimana, Be?” beganti berputar gambar muka Ramon.
“Kantor Mon, kenapa?”
”Hadehh! Ganggu orang tidur aja lo pada, Norak!” Ewok keburu memotong panjang, mengomel diatas kasur, setengah mukanya terhalang rambut kusut.
“Santai-santai, bro. Ketemuan, yuk!” Ramon berbagi pandangan dengan jalanan.
“Boleh Mon, kapan?” tanya Abe, mulutnya sedang mengemil gurilem.
“Sekarang,” Ramon menentukan, mobilnya sudah mengarah ke Cafe Brober.
“Di hotel mana lo, bro?” Ramon melanjutkan lagi, ada tangan perempuan di samping Ewok.
“Emak gue bego! Tuh!” Ewok menyenter ponselnya ke sebelah, “semalem ke kamar gue, ngobrol bentar, malah ketiduran disini,” Ewok mengangkat tubuhnya, takut membangunkan lelap Ibunya. ”Yaudah. Gue mandi dulu, deh. Be jemput gue!” Ewok langsung mematikan ponselnya, tersisa dua wajah muncul dilayar.
“Gak jelas tuh anak! Oke. gue udah OTW, ya,” Ramon mengingatkan Abe untuk segera bergerak juga.
Ramon perlu bercerita, menanti reaksi dan tanggapan kedua sahabatnya. Mungkin ini bahan cerita membosankan bagi mereka, tetapi sekarang situasinya berbeda, lebih serius dari pembahasan bersama Abe tentang apakah neraka itu benar-benar ada.
*****
Suara motor Royal Enfield Classic Desert Storm coklat berjalan pelan-pelan, mengingat-ingat patokan gang rumah Ewok.
“Pokoknya setelah warung Bu Batak!” ngangguk-ngangguk Abe diingatkan Ewok ketika pertama kali datang.
Sampai sekarang Abe tidak tahu persis dimana keberadaan Ibu-Ibu Batak itu. Di depan gang selanjutnya ada warung lagi, tidak jauh lagi ada warung juga.
“Jangan yang ada jualan bensin eceran, itu warung Madura!” Ewok berteriak memberi tahu Abe di saluran ponsel. Abe sudah setengah jam bolak-balik masuk gang sempit.
Ewok mematikan ponsel, dia berhasil membuat Abe celingak-celinguk sendirian.
“Kaya gimana sih, muka Ibu-Ibu batak?”
Abe tidak mengerti macam-macam warung, karena disetiap ada warung kecil selalu disaingi toko swalayan besar disekitarnya. Sekarang orang susah mau jajan kewarung lagi. Orang yang masih memilih belok ke warung, karena bisa beli rokok ketengan dan beras satu kaleng cat, kelebihan lainnya bisa ngutang bayar kapan-kapan. Kasian warung-warung, sudah dijajah tokok swalayan masih juga dihutangin.
Belok dari warung, gang rumah Ewok hanya cukup untuk dua motor berpapasan. Perlu ekstra pelan-pelan, ada tukang telor gulung dan cimol berdagang di pinggir parit gang, sedangkan mobil tahu bulat hanya bisa parkir di jalan besar.
Terakhir mencoba masuk kedalam, stang motor Abe kecantol jemuran warga yang merangsak keluar sampai seperempat jalan. Abe susah mengimbangi motornya yang sudah memakan setengah lebih luas jalan. Banyak anak-anak kecil berlari-larian. Ada juga yang mengejar motor Abe.
Anak-anak itu berebut terkena tembakan angin knalpot motor Abe. Stang motor Abe sudah semakin rapat kekiri, sebelumnya dia sudah menghindari tanaman pucuk merah, yang sudah penuh di kiri dan kanan.
Abe keluar dari belantara gang sempit rumah Ewok. Informasi dari Ibunya Ewok, ‘Belum lama Ewok keluar rumah.’
Tukang sayur dan asongan dipinggir jalan, menoleh arah suara knalpot yang bergerumul dan bertenaga. Sambil melintas, rasa percaya diri Abe meningkat maksimal, semua mata memperhatikan. Anak-anak di daerah sini, belum pernah lihat motor sebesar itu lewat, keculi motor yang sudah dimodifikasi menjadi odong-odong.
“Plakkkk!”
Helm Abe digeplak pake sendal jepit. Tadinya mau pakai plastik isi kerupuk udang, sayang kalau jatuh-jatuhan, sebagian sedang dikunyah Ewok.
“Gue panggil-panggil juga!” Ewok sudah nongol duluan, mempergoki Abe yang mulai bimbang, kembali didepan sebuah gang gapura merah putih berukuran dua meter. Ewok yang menyuruh Abe masuk ke gang itu, persi disebelah warung Bu Batak.
“Pantes kaya ada yang manggil,” Abe mengepaskan lagi helmnya.
”Gara-gara rencengan ciki, muka gue jadi gak keliatan tadi,” Ewok berusaha naik, celananya masih saja telihat sesak kesempitan.