Lampu jalanan menerangi sampai garasi, bayangan serangga mengisi kekosongan. Suara burung aneh selalu terdengar sekitar jam tujuh malam, suaranya sudah didengar oleh Boy sejak kecil. Suara burungnya tidak merdu, lebih seperti sedang meminta tolong, mengicau dengan nada yang sama.
Sampai sekarang Boy belum tahu jenis burung apa itu. Burung liar pikirnya, bukan peliharaan. Itu pemandangan Boy dari teras rumahnya, setelah satu minggu tidak pulang dan berbincang langsung dengan Rindu.
Kedua mata Boy silinder, tapi masih kekeh tidak mau pakai kaca mata, dia merasa aneh ada yang nongkrong dibatang hidungnya. Huruf di majalah Boy sudah mulai samar-samar. Pengaruh silinder belum cukup, sekarang matanya mulai kriyep-kriyep perlu dipejamkan.
“Bingung gue. Kenapa kalau minum kopi malah ngantuk?” Boy berkeluh, mengedip-ngedipkan matanya yang sudah berat. Boy mengangkat gelas kopi yang tinggal setengah. Dia merasa tidak ada gunanya menghabiskan sampai dasar sekalipun.
Rindu juga ada ada disana, menebar lagi bahan bacaan dokter Rasyid dimeja diantara mereka.
“Istirahat aja, Mas! Kalau badan capek, jadi sulit mencerna kafein, jadi gak mempan,” Rindu menjelaskan sangat bertenaga.
Kafein malah bekerja maksimal ditubuhnya, meskipun baru dua kali seruput. Masih keluar kebulan dari lubang gelasnya, lidah Rindu mulai kebas kepanasan. Rindu asik memereteli bahan bacaan, sampai lupa kopinya masih terlampau panas.
“Aku masuk duluan ya, Dek, ngantuk!” Boy melenggang masuk, menutupi rongga mulutnya yang terus menganga.
Coki melihat juga Boy sedang mengucek-ucek matanya, membuntuti kakinya yang sedang gontai berjalan.
*****
Gadis berdiri dimuka jendela, tangannya memegang teralis. Dia mendengar juga suara burung yang sama, suara burung yang terbang dimalam hari. Sulit dilihat dimana arah terbangnya. Goldy melintas dengan santainya, berjalan penuh kebebasan setelah berhasil membuka pintunya sendiri.
Pandangan pertama Gadis, melihat Goldy berjalan melintasi pembatas bunga tulip, yang sudah rata dengan tanah. Goldy sekarang sudah tahu harus lewat dari jalan mana, agar bunga tulip yang tersisa tidak ikut ambruk juga.
Goldy menghilang dari pandangan Gadis, ada tembok muncul yang menghalangi, langkahnya sudah melebihi garasi tetangganya. Rindu tersentak dari konsentrasinya, tiba-tiba Goldy muncul begitu saja, menggibas-gibaskan ekornya dimeja.
“Ini baju masih aja dipake,” Rindu meremas-remas leher Goldy, lidahnya menjulur-julur dimainkan. “Eh. Goldy, ada kopi, nih.” Rindu gemas memperlakukan Goldy bagai anak bayi.
Lidah Goldy tersulut rayuan wangi kopi, menjilat-jilat moncongnya sendiri, dan mengendus-endus dengan hidung hitam legamnya.
Rindu membawa cangkir kopi milik Boy yang masih tersisa, dituangkan di mangkuk minum Coki. Tidak sampai tiga puluh detik lenyap semua. Rindu kaget kedua kalinya, didetik ke tiga puluh satu, ada Gadis berdiri persis dibelakang mereka.
“Maaf, Mbak. Goldy ayuk pulang! Maaf, Mbak mengganggu,” Gadis mencoba meraih tubuh Goldy.
“Iya gak apa-apa, kok. Mau jalan-jalan dia,” Rindu berdiri menyodorkan Goldy ke arah Gadis.
Goldy celingak-celinguk melihat dua wajah yang sudah dia kenal lama, apalagi wajah Rindu.
“Bos gue poligami apa, ya? Yang mana istri pertama dan yang kedua?” begitu kira-kira dibenaknya, memahami keadaan, “akur ya.”
Goldy mengikuti saja kemana dia ditarik-tarik. Gadis pamit undur diri, membawa pergi Goldy. Sorot mata dan hendusan hidungnya memastikan warna dan baunya, itu benar-benar kopi. Pikirannya mulai tidak karuan.
“Apakah ini hanya kebetulan saja, atau semua anjing Golden suka minum kopi?”
Gadis pernah melihat kejadian ini sebelumnya, ketika Goldy dberikan kopi oleh Mia ketika sedang berlibur di Bali. Sejak saat itu dia mengetahui bahwa Goldy suka sekali dengan minuman kopi. Gadis lantas membawa masuk Goldy kedalam kandang, dia masih heran dengan semua ini. Wajah bingungnya mengiringi lamunan, sampai dengan sebelum tidur menutup mata.
*****
Boy bangun paling lama dari semua orang dirumahnya, bahkan dari dua orang tetangga sebelah. Dua hari belakangan ini, dia habiskan dengan bersantai dirumah. Boy meminta waktu sendiri kepada Marco the Light, sebelum berpikir keras mengenai pengeboran minyak di Riau. Alasan tidak ingin diganggunya, Boy sedang mempelajari ulang semua dokumen yang diberikan oleh Franky. Marco senang mendengar alasan itu.