“Kamu kenapa jadi sering berdiri di jendela yang?” Ramon mengampiri, melihat-lihat apa yang dilihat.
“Liat-liat jalanan aja, kadang ada kucing lewat, anak kecil berlarian, lucu,” Gadis terus melihat ke arah jalanan. Ramon mendelik berbagi pandangan.
“Mau main sama Goldy,” Ramon memecah pandangan Gadis, membuat suasana baru.
“Pintu gak dikunci,” Ramon berdesis pelan. Dia tau sejak tadi Goldy keluar masuk kandang, dan seakan-akan jejaknya tidak terdeteksi. Goldy selalu merapikan pintu kandang sepresisi mungkin.
“Pintunya dibuka aja, yang. Sama pintu kaca belakang. Nanti dia buang kotoran lagi!” Gadis mengingatkan, kotoran Goldy ukuranya jumbo, ujungnya lancip dan tidak berkumpul disatu tempat. Baunya sangat khas, seperti adonan Dog food yang busuk. Bau tapi kadang ada wangi adonan cookies. Cookies busuk juga.
Goldy kembali disuguhi acara televisi, dia duduk persis ditengah-tengah ukuran Televisi, pas diukuran tiga puluh inci. Total semuanya enam puluh inci. Bentuk dan merek televisi Ramon dan Rindu sama, keduanya memilih hadiah itu ketika serah terima kunci rumah. Pilihan satunya AC berdaya satu PK. Foto televisi dan AC 1 PK itu ada digambar reklame iklan rumah mereka, dan yang paling besar ada di pinggir tol Pelabuhan Merak-Jakarta.
Pertimbangan Ramon saat itu, pertama karena dia tidak memelihara anjing Alaskan Malamute, makanya lebih memilih Televisi daripada AC, alasan kedua anjingnya suka menonton acara televisi, daripada memandangi derajat angka digital AC, dan ruangan tersisa yang belum ada AC-nya, hanya gudang dan kamar mandi. Terbesit memasang AC di gudang, ‘kalau kita lagi ribut, kamu bisa tidur digudang,’ seloroh Gadis pada saat diruangan marketing.
Akhirnya Ramon memutuskan, memilih Televisi enam pulun inci. Ramon sudah meyanggupi kalau ribut dengan Gadis tidur di kandang Goldy.
Ekornya tidak lama menyentuh lantai didepan televisi, dia berjalan keluar rumah. Nyelonong seperti dia tinggal seorang diri di dalam rumah, padahal judulya mereka sedang nonton bersama. Goldy berjalan dengan ritme yang tepat, seakan-akan sudah tertanam GPS di tengkorak kepalanya, berbelok dan meluncur menuju rumah sebelah.
Bukan hanya rute, ada juga suara peringatan untuk mengindari jalur yang bisa merusak tanaman disekitar.
*****
Di depan pintu Goldy mondar mandir, mengendus disela-sela bawah, terdengar olehnya suara televisi menyala didalam rumah. Goldy melihat itu, adegan kejar-kejaran film kartun Tom and Jerry, melotot hampir keluar biji mata almondnya.
Goldy mengeluarkan suara, itu bukan rengekan, tetapi suara kesenangan bisa melihat lagi film kartun favoritnya. Goldy bisa menggonggong tiba-tiba, ketika kucing sudah berhasil mati-matian menangkap tikus, dengan segala kesusahan, kesialan dan kecerobohan.
Goldy selalu membayangkan mereka bertiga saling kerja-kejaran, tikus dikejar kucing dan Goldy mengejar kucing, sampai pada keseruan tikus mengejar kucing dan Goldy secara bersamaan. Gadis mencari tahu, mendapati keempat kaki Goldy sudah berderap ingin ngacir menikmati tontonan.
Goldy berdiri disela-sela jendela rumah tetangganya, setengah tubuhnya menghadap ketelevisi. Lidahnya keluar semua, longsor disela-sela rahang giginya.
Rengekan itu terus keluar, sepertinya tikus sudah hampir tertangkap oleh kucing, atau badan si kucing sudah penuh dengan perban dikepala dan kakinya.
“Goldy! Goldy!” Gadis terus mendekat, dua panggilan tidak terjawab.
Penasaran dengan apa yang dilihat Goldy, Gadis mengeker juga suasana di balik jendela, menelisik ke sudut-sudut ruangan yang sama persis dengan rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, hanya Film Kartun Tom and Jerry, dan benar saja dikepala si kucing, sudah penuh dengan burung-burung, yang mengitari perban dikepalanya.
Gadis menengok juga sekitar garasi dan halaman rumah, “Rumahnya kosong,” Gadis berdesis pelan.
Gadis masih terus melihat Goldy, yang tidak melihat sekalipun kearahnya, menyosor terus ke arah televisi didalam rumah.
“Gue heran dengan rumah ini, membiarkan jendelanya terbuka dan tidak mematikan TV, padahal mereka sedang pergi meninggalkan rumah.” Gadis melangkah keheranan, menyentil-nyentil poni belah tengahnya.
*****
“Yang ambil Goldy disebelah! Gak mau pulang,” Gadis mulai jengah menyuruh Ramon, kedua kakinya sedang asik menopang diatas meja, begoyang-goyang sambil melihat fitur-fitur ponselnya.
“Kemana dia?” menapaki kaki dilantai.
“Sebelah,” Gadis menunjuk ke samping. Mereka mengobrol diluar pintu rumahnya. Teras.
Ramon tidak perlu GPS, kakinya lebih ramping untuk melintasi sela-sela tanaman yang sudah rata dengan tanah. Sebelumnya lebih sulit ketika semuanya masih berdiri tegak, bisa dijadikan try out ujian sim motor.
“Goldy! Goldy!” Ramon bernasib sama dengan Gadis, dicuekin. “Hmm. Film Tom and jerry,” Ramon mengangguk-angguk, bersuara dalam hati.
Ramon meraih Goldy, posisinya agak rumit, disela-sela dalam antara kaca jendela dan teralis. Sebetulnya Ramon bisa membuka jendelanya lebih keatas, agar ada cukup ruang untuk menarik Goldy, namun dia sadar betul ini jendela bukan sembarang orang yang punya.
”Ini jendela kalau gue buka lagi, ada alarmnya gak, ya?” Ramon ragu-ragu menyentuh dan berdiri lama-lama disana.
Ramon terus menggerutu didalam hati, “Lo jangan bikin gara-gara Goldy!” Ramon berusaha menggeret pulang Goldy. “Semenjak gue dituduh mau nyolong pintu, jangan sampai gue dituduh juga mau nyolong jendela dia!” Ramon meningkatkan tenaganya mengendalikan Goldy yang tidak mau pulang. “Please Goldy!” Ramon mendekap rahang Goldy, menyodorkan mukanya dihadapan Goldy, persis saling menatap.
Walaupun wajah Ramon tersenyum, tetapi didalam hatinya dia memelas untuk meminta pertolongan kepada Goldy.
Goldy ditarik mundur, walaupun harus sampai berkaca-kaca dulu mata Ramon dibuatnya. Begitulah gencatan senjata terjadi, untuk sementara waktu suasana menjadi kondusif. Goldy kembali disuguhi acara televisi.
“Good Boy! Disini kan, juga bisa nonton TV,” Gadis mengelus kepala Goldy, sampai tangannya tidak bisa lagi menjangkau bulunya.
Goldy kembali melengos pergi, berjalan ulang dititik yang sama, Goldy berada di rute tercepat.
“Please, Goldy!” Ramon memanggil ekor Goldy yang menghilang dibelokan.
Ramon tidak berselera mengejar Goldy, menggaruk-garuk poni ikalnya. Goldy ada di jendela lagi
“Dan sekarang berdiri!” Ramon berkeluh melihat tingkah laku anjingnya.
Untuk kedua kalinya, Ramon harus memelas ulang, lemah lembut suaranya memanggil nama anjingya.
“Goldy, ayo pulang.”
Ramon sayu-sayu bersuara, mengelus punggung Goldy.
Pantas saja Goldy sudah sampai berdiri menopang dua kakinya diteralis jendela, adegannya si Kucing sedang ingin memakan tikus dengan roti dan mayones. Ramon harus segera menarik pulang Goldy, tidak lama lagi dia akan menggonggong menyaksikan adegan selanjutnya, padahal Ramon tahu si tikus tidak akan pernah berhasil dimakan oleh kucing.
Anjing tidak mengerti drama yang bisa dibuat-buat oleh manusia, begitu juga pada drama kisah kesetiaan anjing, yang dibuat oleh manusia dalam sebuah film dan dokumentasi, padahal itu sebuah sifat yang biasa bagi anjing, tetapi apakah sifat setia adalah hal tersulit bagi manusia? Sehingga kisah-kisah drama kesetiaan manusia, selalu berhasil mengambil hati penontonnya.
*****
Semuanya tidak berjalan seperti biasa, hari jumat rasa senin pagi. Terlihat lebih sibuk lalu lalang kendaraan di jalanan rumah Ramon dan Rindu. Pemberlakuan aturan ganjil genap sudah sampai kemana-mana, semua orang sibuk menghindari aturan itu, dengan berjalan lebih awal menuju kantor.