TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #52

Menuju Batavia #1

Boy duduk diruang tamu, ditingalkan Rindu pergi menaiki anak tangga. Boy mencoba meredam emosinya, terbayang terus penderitaan Goldy dan Coki. Terkulai lemah sulit bernafas. Betapa kasihan Boy melihat itu semua, disaat dengan sangat mudahnya dia menghirup dan mengeluarkan nafas sebegitu lancarnya, tanpa sesak dan sakit.

Bernafas sesuatu yang mudah, dilakukan setiap saat, menghirup oksigen secara cuma-cuma. Boy membayangkan jika dirinya akan kesulitan bernafas seperti itu, dan harus membayar oksigen ketika bernafas sudah tidak mudah lagi. Bersama sesak menahan emosi, terbesit tanya dengan sifat Rindu hari ini.

Pandanganya menuju kearah Coki yang sedang lemas di bungkus kain. Boy menjadi bingung harus berbuat apa lagi. Di dalam lamunannya, entah pasrah atau belum menemukan ide untuk Coki, dia melihat ke arah bawah tangga. Terdapat beberapa butir Dog food, dikerubungi oleh semut-semut kecil.

“Bentuknya bukan milik Coki,” Boy meyakinkan bukan Dog Food itu yang dia pernah beli.

Boy membuka pintu kayu gudang berbentuk segitiga dibawah tangga. Boy melihat satu bungkus Dog food ukuran satu setengah kilogram, dan bola kasti untuk mainan anjing.

“Untuk siapa Dog food ini?” Boy bertanya dialam pikirannya.

Boy kembali mengingat segala keanehan sikap Rindu dengan Goldy, sejak pertama bertemu, dan sampai hari ini dia melihatnya. Dia merasa ada kedekatan emosional tidak biasa antara istrinya dengan Goldy. Tentang kesukaan Goldy menonton film kartun akhir-akhir ini, bukan suatu hal baru bagi mereka berdua.

“Tangisan sesak Rindu hari ini seharusnya buat Coki, bukan Goldy,” Boy terus bertanya-tanya dalam benaknya.

Pertunjukan Rindu menangis sendiri, menutup juga keragu-raguan Gadis selama ini. Dia tidak percaya dengan suatu kebetulan, ini sebuah perilaku yang dilakukan secara kontinuitas. Gadis kembali mengingat semua keanehan, dan kejanggalan terhadap perilaku Goldy selama ini. Keadaan ini mulai membuat beban pikiranya menjadi berat dan penuh.

Boy menyimpan tanda tanya besar diruang pertanyaan dirinya. Jawaban itu semua ada di ranah pikiran Rindu. Boy merasa ada yang terlewat dari masa-masa perkenalan antara dia dan Rindu, ada pesakitan lain yang belum diketahui oleh Boy.

Rindu bercerita tetapi tidak semua. Rindu berkata tapi tidak segamblang itu. Semua cerita Rindu bukan untuk didengar semua. Boy punya perasaan untuk memahami perasaan Rindu, tidak mengungkit-ungkit luka batin.

Cerita apa yang terlewat atau belum diceritakan? Siapa-siapa saja yang belum ingin Rindu ungkapkan?

Rindu hanya ingin bercerita, jika dia ingin menceritakan sesuatu, dan butuh pendengar yang baik. Hari ini Rindu tidak siap bercerita atau membahas sesuatu hal. Boy menilai sikap Rindu, ketika pergi meninggalkan rumah tanpa suara dan jejak.

Boy hanya terpejam dalam lamunan, memasang telinga lebar-lebar, mencoba mendengar untuk menggantikan pengelihatan. Berdebar-debar dalam keheningan. Sampai mobil Rindu pergi, hanya itu suara yang dia dengar, suara mesin yang tidak tahu apa-apa.

*****

Mata merah dan bengkak, itu yang Rindu lihat di meja rias. Semua yang berpapasan melihat itu juga. Cara berjalan Rindu yang tergesa-gesa dan tidak memperdulikan sekitar, memberikan peringatan tidak perlu ada yang bertanya, atau mencari tahu kehidupannya.

Sekelas dokter Rasyid, dimana senyum dan sapa adalah dambaan semua wanita di rumah sakit, memilih untuk diam dan memberikan ruang, ketika senyumnya dilewati begitu saja oleh Rindu. Mencari ketenangan, Rindu menepi disebuah ruangan, sebuah kapel kecil disudut ruang Neotonal Intensive Care Unit / NICU. Tidak ada siapa-siapa disana, hanya kursi kayu dan mimbar.

“Kenapa aku dipertemukan lagi oleh Ramon dan Goldy, hanya untuk melihat dan merasakan penderitaan lagi? Berikan aku satu kesempatan lagi, untuk bertemu dan menyanyangi Goldy,” Rindu mengucapkan itu, sambil mengatupkan kedua kelopak mata. Akibat gerakan itu, tertekan keluar air matanya.

*Tuing, muncul notifikasi di ponsel Ramon. Ada nama Rindu.

“Goldy?”

*Mengetik, muncul di layar ponsel Rindu.

“Msih sama, obt antibiotik udh beli lg.”

“But, there has been no progress.”

“Sorry.”

*Mengetik, muncul di layar ponsel Ramon.

“Sad.”

*Mengetik, muncul dilayar ponel Rindu.

“Can I call u?”

Suara dering ponsel Ramon menggema diruang kapel, tempat dimana Rindu mengungkapkan sebuah pertanyaan, yang ingin dia dengar tanda-tanda jawabannya. Terlintas lagi pertanyaan yang sama.

“Kenapa aku dipertemukan lagi oleh Ramon dan Goldy, hanya untuk melihat dan merasakan penderitaan lagi? Ramon menelpon, tanda-tanda apakah yang ingin Tuhan sampaikan?”

Rindu menatap mimbar, mencari-cari suara Tuhan yang mungkin ingin berbicara langsung.

“Halo. gue ganggu, gak?” suara Ramon terdengar jelas, begitu sunyi ruang kapel menjernihkan telinga Rindu.

“Gak kok, kenapa?” suara Rindu menguasai seisi ruangan kapel.

“Gue mau nanya pendapat lo aja. Gue banyak baca, ada rekomendasi obat cina gitu, bentar-bentar agak susah namanya. Pien Tze Huang, gak tau bener apa gak gue bacanya. Anjing temen gue ada yang sembuh pake itu. Menurut lo gimana?”

“Tumben lo mau denger saran orang?” Ramon langsung menggaruk-garuk rambut kepalanya, gatal otaknya mendengar ucapan Rindu.

“Come on. Gue lagi gak pengen ribut,” Ramon merebahkan duduknya lebih santai, kedua kakinya sudah dia lipat diatas meja kerjanya.

Wait. Obat herbal, ya?”

Ramon memotong duluan. Dia merasa tanggapan Rindu, akan mematikan penjelasan penting yang sudah Ramon persiapkan.

“Iya. Gue tau uji klinis, penelitian? Iya semuanya gak ada. Tapi apa salahnya kita coba. Goldy sama sekali gak ada perubahan.”

“Ntar, deh. Gue baca-baca lengkap dulu obat apa itu, Pien ce-pien ce tadi.”

Pien Tze Huang!” Ramon mengeja perlahan mengucapkan lagi, “yaudah kabarin, biar gue beli.”

“Oke!”

Rindu mematikan ponselnya, menatap kembali kearah mimbar didepan, dia duduk dibangku paling belakang.

“Pien Tze Huang?”

Rindu mulai berselancar diinternet, mencari informasi lengkap tentang obat itu, kegunaan asalnya, sampai apa yang bisa menghubungkan kandungan obat itu kepada virus Distemper.

“Banyak juga yang pakai obat ini, kandunganya Calculus Bovis? Moschus?, Radix Notoginsing ini apaaan, ya? Ada empedu ular segala,” Rindu terus mencari tahu istilah-istilah yang belum pernah dia lihat sebelumnya, “gue masih belum dapet korelasinya secara klinis, kayaknya gak masuk akal, deh,” Rindu membalikan ponselnya, menggelengkan kepala.

Rindu menatap lagi mimbar didepan, dalam keheningan dia meminta petunjuk.

*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Ramon. Ada nama Rindu.

“Oke coba aja.”

*Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.

“Oke, ntr gue beli.”

Lihat selengkapnya