Ramon berjanji tidak akan membalas lagi, sudah cukup dia mengirim pesan ke Rindu. Salah-salah ponsel Rindu bisa mati satu minggu. Ramon selebrasi lagi ala-ala Christiano Ronaldo mencetak gol.
“Siuuuuuu...!” teriak Ramon terlampau kuat, orang satu kantor menoleh ke arah ruangannya.
*****
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Ramon. Ada nama Rindu.
“Dmn lo?”
Rindu ada dilobby. Celingak-celinguk mencari motor Ramon. Dia masih ingat motor Ramon jaman kuliah dulu. Rindu sudah pernah mengendarai motor itu juga.
Ramon terkejut bukan kepalang, jam setengah empat sore Rindu sudah selesai kerja. Ramon bingung menjelaskan dimana dia berada, ada pohon angsana dan ketapang. Rindu melihat ponselnya menyala, Ramon menelpon, tidak lama kembali hilang.
“Anjirr! Goblok-goblok!” Ramon memaki jempol kanannya. Sedikit lagi dia hendak menggigitnya.
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Rindu. Ada nama Ramon.
“Sorry kpencet.”
“Emoticon tangan menelungkup.”
“Dkt parkiran mobil, di bawah pohon.”
“Ada ambulance parkir”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Ramon.
“Oke.”
“Wait.”
Rindu sudah tahu Ramon menunggu dibelakang ruang emergency.
*****
“Hay. Ramon, How are you?” Rindu menyapa, menerima helm dari Ramon. “Kalau dulu biasanya dipakein.” Rindu berbisik dalam hati.
“I'm fine. You?” Ramon berbalas sapa, Rindu mangut-mangut bersama helm, kepalanya sudah masuk setengah.
*****
Motor Ramon berjalan diaspal ibu kota, arah jalan yang sama pernah mereka lewati bersama. Rindu menggaruk-gatuk telapak tangannya, gatal dan gemetar.
“Sorry!” kedua tangannya menyentuh pinggang Ramon.
Bergetar badan Ramon bersentuhan dengan Rindu, padahal dulu sudah sampai bosan dia berciuman.
“Gilaa! Cuma kesentuh tanganya aja udah gemeter gue, seneng banget!” Ramon berdesis pelan, suaranya menggema didalam helm.
Sudirman menuju Kota, mereka berdua menyembunyikan senyum dibalik helm masing-masing. Sampai Gajahmada tubuh Rindu sudah merebah dipunggung Ramon. Sepanjang jalan Hayam Wuruk, tubuh Ramon terasa hangat. Didepan ada stasiun Jakarta Kota, disana mereka bisa pergi bersama lebih jauh lagi.
*****
Motor Ramon berhenti dipinggir trotoar, berbaris motor dijaga dengan tali tambang.
“Sampe. Cepet kan, gak macet.” Ramon membuka helm, merapikan poni ikalnya yang berantakan. Modusnya masuk akal.
“Bisa?” sigap Ramon meraih helm Rindu. Tinggal satu jengkal jarak ujung hidung Rindu ke kumis tipis Ramon.
“Ini kancingya buka dulu!” Ramon melepas kaitan. Rindu hanya mematung melihat bibir Ramon komat-kamit.
Sampai Ramon selesai mengunci kedua helmnya dimotor, Rindu masih berdiri dan menghadap ke arah yang sama.
“Eh. Bengong. Kesambet Vampire, loh. Disini banyak kuburan Cina!”
“Eh. Iya.” Rindu memecah lamunan.
“Itu rambutnya dikuncir dulu!” Ramon menoleh ke arah lingkar kepala Rindu.
“Oiya. Lupa!” Rindu mengumpulkan rambut ke belakang. “Selalu begitu! Kenapa kalau deket Ramon jadi gue yang lupaan!” Rindu bergelut dengan ingatannya. Mengoceh dalam hati.
“Hadehh. Itu kunciranya dipergelangan tangan!” Ramon menunjuk ke tangan Rindu. Daritadi Rindu kebingungan mencari dimana gelang ikatannya.
Rindu hanya tersenyum getir. Dia sudah tidak tahu lagi, bagaimana penampilan wajahnya dihadapan Ramon.
Ramon menyebrang jalan ke ruko-ruko tua, yang sudah berdiri ratusan tahun. Olesan cat dasar putih sudah terkelupas, beberapa tanaman liar di tembok-tembok batu bata, tumbuh dengan sendirinya. Di dalam lorong ruko-ruko itu berjibun berbagai penjual obat-obatan tradisional Cina.
Rindu berjalan dibelakang Ramon, dipaling belakang lagi ada tas gendongnya. Tidak semua diisi oleh toko obat, ada juga penjual asinan, rumah makan Chinesfood, pernak pernik imlek. Dibadan jalan ruko-ruko tua ini, pejalan kaki berbagi jalan dengan pedagang-pedagang kacamata, obat tradisional asli indonesia, penjual madu, dan minyak-minyak khas nusantara.
Pemuda paruh baya biasanya akan menghampiri para pengunjung, yang ingin berkelana di lorong tua ruko.
“Bang dicoba! Pasti ampuh. Daun bungkus asli papua, minyak bulus juga ada, pasti asli, pasti ampuh!” Ramon dipepet terus, padahal tangannya sudah menolak mentah-mentah tawaran itu.
Rindu menutup mulutnya, menahan tawa. Ramon terus disodorkan satu botol kecil.
“Ayo, Bang. Bisa segede gini!” pemuda itu menjukkan lenganya yang berurat dan keras.
Ramon senyum pura-pura, menolak halus pemuda itu untuk berhenti mengikutinya.
“Maaf, Bang.”
Ramon terus berjalan didalam lorong, melirik Rindu yang terus meringis melihat Ramon terus dirayu laki-laki.
Pemuda itu pergi lantaran Rindu berjalan lebih dekat dengan Ramon, mulai merasa risih ada perempuan.