Ramon unboxing bungkus obat Pien Tze Huang, didalamnya terbagi menjadi enam kapsul berwarna coklat. Kata Engkoh penjualnya, ‘Ini asli punya!’
Ramon menyuntikan bubur bayi, menyemprot ke sela-sela gigi Goldy. Badan kurus Goldy berusaha menyedot sari-sarinya. Kembang kempis memunculkan jiplakan tulang rusuk. Tubuh Goldy kempot dibalut tulang rusuk, seperti suguhan kambing guling diatas tungku.
“Semoga manjur ya, Tuhan!” Ramon memejamkan mata, bersiap melolohkan kapsul kepangkal lidah Goldy.
Obat pertama masuk. Sampai enam hari kedepan habis satu bungkus. Kepala Goldy masih menyamping, bersandar kepada alas kardus yang penuh dengan air liur. Bola matanya masih menjadi alat komunikasi. Ramon mencoba mengartikan sendiri maksudnya.
*****
*Tuing, muncul notifkasi di ponsel Ramon. Ada nama Rindu.
“Berhasil?”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
“Belum ada.”
“Hari kedua masih sama.”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Ramon.
“Sad.”
“Kirim foto Goldy dong.”
“Gk jadi.”
“Gk tega liatny.”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
“File foto Rindu bersama Goldy ketika menang kejuaraan Agility diBali.”
“Itu foto Goldy gue kirim.”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Ramon.
“Oh my God.”
“Lo masih simpen foto itu?”
“Tiga emoticon nangis.”
Rindu berkaca-kaca melihat foto itu, Ramon yang mengambil gambarnya. Itu foto paling bahagia, senyum Rindu paling lebar ada digambar itu. Keduanya memeletkan lidah, menunjukkan piala dan medali kemenangan. Lidah Goldy yang paling panjang mengguntai.
“Ya Tuhan, sembuhkanlah anjingku!” Rindu memejamkan mata meminta pertolongan.
Rindu membuka mata, sosok pertama yang dilihatnya adalah dr. Rasyid. Janggut dipipinya masih buram diawal Rindu membuka mata.
“Apa kabar Rindu? Sudah satu minggu tidak ke ruangan saya.”
Rindu masih belum siap, kenapa tiba-tiba muncul dr. Rasyid dihadapannya. Kehadiran orang lain belum membangkitkan selera Rindu untuk berbagi cerita, apalagi hanya sekedar basa-basi. Rindu masih menikmati kesungguhan hatinya memikirkan kesembuhan Goldy. Masih jauh adanya sebuah perayaan untuk ceritakan.
“Halo dok, apa kabar?” Rindu malah balik bertanya, akibatnya alis tebal dr. Rasyid saling bertaut.
“Kamu lagi sakit?”
Rindu menjadi asing berada didekat dr. Rasyid. Pembawaan dirinya tidak ingin dikulik-kulik. Rindu hanya ingin meringankan sedikit beban pikirannya.
“Dokter mau visit ruangan?” Rindu membalas pertanyaan dengan pertanyaan, semuanya menjadi canggung dan tidak nyambung.
“Aku nanya, kamu nanya, lalu siapa yang jawab? Hehehe....” dr. Rasyid kebingungan.
“Kamu sedih ditinggal keluar kota suamimu?”
”Saya baik-baik aja, dok. Sudah biasa, kok. Minggu depan juga pulang.”
Rindu mulai menjawab, mulai menyamankan diri.
“Ohh. Keluar kota. Berarti laki-laki yang jemput kamu pakai motor siapa?”
Rindu bagai disambar petir disiang bolong, pertanyaan itu panas menyambar ubun-ubunnya.
“Ojek online, dok. Mau beli obat biar gak macet,” Rindu menjawab seadanya, “salah deh gue, disini ada apotek lengkap banget!” Rindu segera merevisi kata-kata yang dia layangkan, “maksdunya obat herbal, dok,” Rindu cepat mengubahnya, mencegah sanggahan.
“Oh. Gitu. Keren ojek online sekarang, pake Royal Enfield Classic 500,” dr. Rasyid tersenyum kecil, mendeteksi kebohongan.
*****
*Tuing, muncul notifkasi diponsel Rindu. Ada nama Ramon.
“Goldy sdh brubah posisi, dia gerak ke lantai.”
“Emoticon senyum.”
Ramon mengembalikan Goldy ke atas alas kardus dan kain. Ini kali pertama Ramon melihat Goldy berpindah posisi ke lantai.
*Mengetik, muncul di layar ponsel Ramon.
“Serius?? Demi apaa??”
“Puji Tuhan.”
“Makanya gmn?”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Rindu.
“Mulai mau mkn.”
“Bubur bayi yang belepetan ditangan gue dia jilatin.”
“Gue ksih dogfood mau makan.”
“Hahahahaa...”
Rindu melompat-lompat dikasur, dia tidak peduli beban kerja pegas dibawahnya. Rindu ingin sekali mengunjungi rumah sebelah, melihat Goldy berjuang melawan virus. Rindu seperti hidup kembali, dan bersemangat menjalani hari-hari.
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Ramon.
“Ksih trus dog food.”
“Mkin bnyk mkn makin bgus.”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
“Lo triak2 ya? Suara lo kdngeran gila.”
“Hahahaaa...”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Ramon.
“Serius lo? Malu banget gue!”
“Wkwkwk...”
Rindu menenangkan dirinya, turun dari kasur. Berjalan cepat menurunin anak tangga, bagaikan meluncur menuruni pasir gunung Semeru. Obat hari ketiga benar-benar menunjukkan reaksinya, tinggal tiga kapsul lagi, semoga semakin kuat kasiatnya. Rindu seperti mendapatkan dorprice mobil impian, penuh semangat menjalani hari-hari di rumah sakit.
*****
Rindu bagikan senyumannya ke semua orang, menjelaskan dan mengedukasi dengan lancar kepada keluarga pasien, layaknya pembicara utama diseminar kedokteran.
“Semangat, ya. Cepet sembuh!”
Senyum terbaik Rindu dia bagikan cuma-cuma kepada setiap pasien yang dia kunjungi.
“Gue merasakan sukacita luar biasa atas sebuah kesembuhan, selama ini gue hanya bertugas untuk menyembuhkan orang, sebagai sebuah tanggungjawab profesi. Gue baru ngerasain sebuah harapan yang jadi kenyataan, atas kesembuhan orang yang kita sayangi.”
Rindu bersyukur bisa merasakan betapa berharganya sebuah kehidupan. Walau dibatasi pintu lift yang bergerak saling bertemu, dr. Rasyid juga kebagian senyum Rindu hari ini. Pesona itu memang hanya sebentar dan jauh, namun kebahagiaannya sungguh sangat terasa dekat.
*****
Tanaman dirumah juga ikut kecipratan air kebahagiaan Rindu. Dia sudah membayangkan Goldy melangkah keluar dari pintu Rumah Ramon. Tidak habis-habisnya Rindu menelisik ke mulut pintu rumah Ramon. Bayang-bayang ekor Goldy sudah terbayang jelas, menggibaskan sela-sela bunga tulipnya. Mata Rindu terus menantikan kemunculan Goldy, siraman air tanamannya terpecah kemana-mana.