Ramon mengangkat jempol, “okey,” mengucap ke arah Gadis yang merentangkan kelima jarinya.
“Enak kali ya, ngopi di lobby rumah sakit Rindu. Banyak cafe disana.” Ramon memuncukan ide, memutar setir ke rumah sakit Petra.
*****
“Caramel Machiato satu, less sugar, dingin.”
Ramon melihat-lihat jas putih dokter wara wiri, tetapi belum ada yang berambut kuncir kuda.
Satu persatu Ramon meneliti pintu lift terbuka, tidak ada rambut berkucir kuda muncul. Ramon duduk disebuah meja, menyisakan dua kursi kosong.
*Tuing, muncul notifikasi dilayar ponsel Rindu. Ada nama Ramon.
“Gue ditmpt krja lo.”
“Ngopi2 dlu sblm ngantor.”
“Smlm brgdang ngurusin Goldy.”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Ramon.
“HA???”
“Lu di Petra?”
“Ide banget ngopi dirumah sakit.”
“Gue msih bnyk pasien.”
*Mengetik, muncul dilayar ponsel Rindu.
“Gpp ngsih info aja.”
“Yaudah lanjut.”
Rindu mengetuk-ngetukan jempol dilayar ponsel. Berpikir keras mengetahui Ramon ada ditempat kerjanya. “Gak ada kerjaan, ngopi dirumah sakit,” tidak habis pikir Rindu mendengar ulah Ramon.
Duduk sendiri menunggu Rindu pulang. Ramon mengingat-ingat lagi kenangan yang pernah terucap sama-sama.
“Kalau kita udah kerja, kaya orang-orang kantoran gitu, pulang kerja langsung jemput gue, ya. Kita hangout sebentar baru pulang kerumah. Kasihan Goldy nunggu sendirian dirumah,” Ramon mengingat lagi ucapan Rindu ketika baru masuk semester satu kuliah.
“Besok gue mau buka kantor sendiri, biar kapan aja bisa nganter, dan jemput lo kerja,” janji Ramon ketika membelikan Rindu hadiah ulang tahun.
“Jas dokter? Masih lama gue jadi dokter. Lulus aja belom tentu, hahaha...” Ramon ikut tertawa, sekalian mengalungkan stetoskop dileher Rindu. “Mon. gue aja belom tau gimana makenya ini alat, hahaha...”
“Coba lo ketuk-ketuk penampangnya. Lo dengerin dikuping. Kalau lo jadi dokter, nanti ketuk-ketuk, ya. Itu suara jantung gue pas pertama kali liat lo disekolah, hehehe...”
“Ihh. Gak jelas, lo! Hahaha...”
“Hahaha...jijik, ya?”
“Banget! Hahaha...”
Ramon meratapi kenangan ditengah-tengah kebisingan. Dia merasa kejadian itu belum lama terjadi, setiap kata-kata yang dia ingat masih terasa sampai sekarang.
“Pak Ramon?” terpecah lamunan Ramon mendengar namanya disebut.
“Halo, bro. Sorry, sorry. Halo, dok,” Ramon menyapa dr. Rasyid yang sedang memegang segelas kopi.
“Lagi pemeriksaan? Hari ini ada jadwal ketemu saya?” dr. Rasyid mencari tahu. Dia belum mendapat informasi daftar pasien, dari perawat jaga didepan ruangannya.
“Antar sodara saya, dok. Beres administrasi, ngopi-ngopi dulu,” angguk Ramon menjelaskan.
“Saya kira ada ketemu saya. Udah ada keputusan?” kejut senyum dr. Rasyid.
“Silakan duduk, dok. Kosong kok, saya cuma sendirian,” Ramon menarik sedikit kebelakang, kursi kayu didepan pinggang dr. Rasyid.
“Terimakasih, Pak. Suka ngopi juga?”
“Suka, dok. Jangankan saya, anjing saya aja suka minum kopi.”
“Serius? Anjing minum kopi?”
“Iya, dok. Agak unik memang anjing saya,” Ramon menyedot lagi kopi dinginnya.
“Dokter Rindu?” dr. Rasyid tiba-tiba ingin memanggil seseorang yang barusan muncul dari pintu lift.
“Rindu?” sebut juga Ramon mendengar nama itu.
Ramon melihat juga kearah keramaian orang keluar dari pintu lift, dia tidak melihat rambut berkuncir kuda.
“Iya dokter umum disini. dokter Rindu. Tadi jalan ke arah sini, tapi tiba-tiba belok kearah sana, ke toilet mungkin,” dr. Rasyid masih celingak celinguk mencari.