TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #59

Berhitung #1

Gadis ada di balik jendela. Putaran bola matanya berhenti dikelopak bunga tulip. Kepala Goldy disanggah dua kaki depannya, kedap-kedip menatap jalanan. Jam lima sore. Gadis mengingat waktu datangnya orang yang ditunggu Goldy sejak tadi.

Rindu melintas di depan rumah, memasuki Garasi dan menghentikan suara mesinnya. Di saat Goldy kegirangan merayakan itu, Gadis berhitung mengecapkan bibirnya.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh,” mobil Ramon menyusul dihitungan terakhir. Tiba di garasi.

Tangan Gadis meremas kuat-kuat besi teralis jendela, menyeimbangkan tubuhnya yang gemetaran. Gadis menyimpan dalam-dalam perasaannya itu, dia belum puas mencari tahu.

Kondisi Gadis semakin menurun, dikuatkan sisa-sisa tenaganya, beban pikirannya terus menggelayuti. Gadis berupaya terus menghubungkan setiap peristiwa, menjadi satu rangkaian yang utuh, dalam rangka mendapatkan suatu keyakinan, tanpa adanya pengakuan dari orang lain.

Goldy mulai mengembalikan berat badan dan warna bulunya yang kusam. Mondar-mandir melintas semalaman, berkunjung ke rumah sebelah. Goldy terus mengeluarkan rengekan, selama menyaksikan acara kartun Tom and Jerry. Di balik jendela yang terbuka, terpancar wajah Goldy yang tidak ingin acaranya selesai begitu saja.

*****

Rindu terpapar nyala api dari luar jendela kamarnya. Rindu melihat keluar, beriringan Lampion berterbangan dari bawah. Sekitar lima lampion membumbung keatas, sebagian sudah melewatkan batas atap rumahnya. Rindu bertanya-tanya, "Siapa yang menerbangkan lampion-lampion ini?

Rindu melihat berbagai rupa, yang tetangkap mata ada gambar bintang dan hati. Cahayanya begitu luas menerangi langit yang gelap. Rombongan lampion itu bagai kunang-kunang raksasa.

*****

Keesokan harinya, Gadis mencoba menyetel acara yang sama. Dia berhasil menahan Goldy untuk mau duduk menyaksikan juga. Hari ini Gadis tahu, kalau Goldy gemar menonton kartun Tom and jerry. Gadis tidak cukup melayani Goldy, dia membuatkan kopi yang dilahap habis tanpa sisa. Gadis melempar bola kasti, sigap Goldy berlari mengejarnya, setelahnya dia memberikan bolanya kembali, mengajak bermain. Gadis mulai tahu permainan kegemaran Goldy.

Tulang sapi favoritnya. Gadis menyembunyikan tulang itu hingga membuat Goldy merengek dan gelisah mencarinya. Gadis ingin tahu kemana Goldy hendak mencari, dan menanyakan tulang sapinya?

*****

Senyuman Ramon dan Rindu bertemu lagi ditengah-tegah keramaian, keduanya paling cerah bersinar. Ramon mengantar pulang lagi Rindu, keduanya pergi ke Cikini menonton Bioskop.

Mereka mengenang kembali tempat dimana pertama kali menonton film bersama. Walaupun ramai-ramai dengan teman-teman sekolah, Ramon mengatur sedemikian rupa agar bisa duduk bersebelahan dengan Rindu. Genrenya film Disney, tetapi jantung Ramon berdebar-debar seperti menyaksikan film Horror. Durasi filmnya dua jam, sekitar satu jam terakhir lengan Ramon akhirnya bisa bersentuhan kulit dengan Rindu. Jantungnya mau merosot sampai ke telapak kaki.

Bagaimana bisa ritme jantungnya stabil, maju mundur lengannya dia paksa untuk menyentuh lengan Rindu. Sentuhan pertama seperti tersengat listrik. Itu film Disney pertama yang terpaksa Ramon lihat, dan makan hidangan Sushi yang selalu dia hindari. Semuanya demi ikut jalan-jalan bersama Rindu. 

Gedung tua ini tidak banyak berubah, hanya cat putihnya yang tidak lagi terkelupas, dan sudah banyak tanaman Lee kwan yew yang menjuntai. Hari ini mereka menonton film apa saja, asal bisa menonton bersama. Kalau dahulu Rindu menyukai judul film tertentu agar datang ke bioskop, sekarang dia menyukai moment bersama, yang dihabiskan dengan menonton film apa saja, asal bisa bersama-sama selama dua jam didalam bioskop.

Keduanya tidak memiliki harapan apapun, terhadap kualitas film yang selesai ditonton, mereka hanya berharap durasi filmya diperpanjang hingga larut malam. Ramon dan Rindu puas mengkritisi film yang mereka tonton, berpikir absurd dan mengembangkan cerita film sesuka hati.

Buah pikiran mereka berdua mengundang gelak tawa dibangku paling atas, sesekali keluar juga suara, tidak apa-apa soalnya sepi pengunjung juga. Suara mereka tidak lagi ada, bibir Rindu terkunci bibir Ramon, keduanya saling melumat, jalannya film bodo amat.

*****

Gadis menunggu dibalik teralis jendela. Sudah dua kali dia berdiri lama-lama disana, pada pukul lima dan pukul enam sore.

“Gukk, guk, gukk.”

Gadis berdiri dari sofa. Goldy menggonggong ke arah rumah sebelah.

Gadis memegangi teralis besi, tubunya terasa ringan dan seakan tidak menapak dipermukaan lantai. Mobil sebelah rumah barusan masuk ke garasi. Gadis meluruskan pandangannya ke garasi rumah, kembali berhitung.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.”

Ramon menarik rem tangan di hitungan terakhir. Gadis berjalan gontai menaiki anak tangga, berkaca-kaca dia menahan air matanya turun membasahi anak tangga. Goldy berhasil membuka pintunya, berjalan melewati Ramon, menuju rumah sebelah. Ramon hanya tersenyum ke arah Rindu, hari ini benar-benar luar biasa.

Rindu habis-habisan mengelus sekujur tubuh Goldy, bergeol-geol pinggangnya sampai ke ekor. Lidah Goldy menyapu wajah Rindu, yang disodorkan dekat-dekat. Ramon ingin sekali ada diantara mereka. Tiba-tiba muncul kembali potret wajah Miska, yang seharusnya ada juga ditengah-tengah itu semua.

*****

Jemari Ramon menyentuh lengah Gadis. Matanya merah sehabis menangis.

“Kamu gak apa-apa, yang? Sakit?” Ramon terus menempelkan jarinya.

Bintik kemerahan ada beberapa dilengan tangan Gadis, sebagian lagi sudah mengering dan mengelupas. Gadis mengejutkan senyum, menggelengkan kepala. Ramon terus menapaki arti senyuman itu. Gadis selalu menganggap dirinya baik-baik saja, sampai dia tidak sadarkan diri dan bertanya.

“Aku kenapa?” seketika tersadar diranjang rumah sakit.

Gadis membuka mata pukul sebelas malam, menaruh tangan Ramon yang tadi ada dipinggangnya. Gadis turun menuju jendela, melihat kandang Goldy yang tidak berpenghuni.

“Goldy pasti dirumah sebelah.” Gadis mengira-ngira tapi penuh keyakinan.

Tidak salah kira, Goldy sedang menonton dibalik jendela. Di depan keset sudah ada juga minuman beraroma kopi. Gadis meyakinkan lagi dengan mengendus ke arah gelas itu, wanginya jelas kopi. Gadis berbisik pelan ke arah Goldy.

“Hey!” 

Menoleh sebentar kepalanya, sosok Gadis berdiri didekatnya, lidahnya jatuh kesamping.

Gadis menarik Goldy. Baru sampai tanaman bunga tulip, Gadis kualahan tidak mampu menahan tenaga Goldy, yang enggan lagi dipaksa berjalan. Gadis kelelahan, jemarinya gemetar dan berkeringat. Goldy kembali lagi ke balik jendela, di balik pintu ada Rindu menyembunyikan diri. 

Rindu mendengar suara ngos-ngosan Gadis, bersama dengan keluhan, yang terus memanggil nama Goldy untuk kembali pulang. Gadis mengelus-elus kepala Goldy, jemarinya terlihat juga oleh Rindu dibalik pintu. Gadis tidak lagi memaksa Goldy pulang. Dia masih berdiri disamping Goldy, menemaninya menonton film Tom and Jerry.

“Kalau sudah selesai, pulang ya, Goldy. Nanti dirumah kita nonton juga Tom and jerry,” Gadis mengelus-ngelus terus kepala Goldy, ujung lidah Goldy muncul secuil. Rindu melihat lidah merah jambu Goldy muncul.

“Sentuhan Gadis bisa membuat Goldy memunculkan lidahnya secuil, padahal sulit membuat Goldy senyaman itu,” Rindu terus melihat ke arah ujung rahang Goldy, lidahnya masih muncul secuil.

Film Tom and Jerry sudah selesai. Goldy merengek kehabisan tontonan. Goldy masih menunggu kelanjutan aksi kucing mengejar tikus, disentak-sentak kakinya menginginkan lagi. Goldy tidur didepan pintu rumah Rindu, diatas keset. Tubuhnya melingkar dengan terus memainkan ekornya. Gadis masih menunggu disana, tidak lama kemudian Goldy melengos pergi menuju kandangnya.

Gadis mengerenyitkan dahi, Goldy melewatkan dirinya begitu saja. Goldy berputar-putar tidak tenang didalam kandang, mengendus-endus setiap sudut jeruji besi.

Goldy kembali keluar dari kandang, berjalan menuju rumah sebelah. Goldy mencakar-cakar daun pintu. Rindu mendengar goresan-goresan cakarnya, dia sudah membayangkan tarikan-tarikan garis bekas kuku Goldy seperti apa hasilnya.

Suaranya begitu keras dan terasa, berkali-kali suara pintu bergetar menahan tubuh Goldy.

“Jeglekkk.” 

Engsel pintu berbunyi. Menghentikan Goldy menaikan dua kaki depannya.

Moncong Goldy sudah didekat sela-sela pintu dan kusen, menunggu Rindu keluar rumah. Rindu merendahkan tubuhnya, mengusap rahang Goldy.

“Kenapa Goldy?” Rindu mengajak ngobrol, lanjut mengunyel-unyel kulit di sekitar moncongnya.

“Goldy!” panggil Gadis dihadapan mereka berdua.

Rindu berhenti bereaksi, mengangkat tubuhnya, mengarahkan pandangan ke tulang sapi milik Goldy.

“Kamu cari ini Goldy? Come!” Gadis menyodorkan tulang itu.

Lihat selengkapnya