“Bajunya kegedean, ya?” Rindu menelisik ke arah pinggang Ramon.
“Pas, kok. Cuma rada slim fit, jadi lengan gue ngepres.”
”Sepatu gimana?”
Ramon menggerak-gerakan sepatu, jinjit satu kaki dan jogging kecil-kecil.
“Gue kira bakal kegedean banget. Pake kaos kaki jadi pas, cuma beda satu nomer. Kaki gue empat dua.” Rindu mengangguk, melayangkan jempolnya.
“Okey, nice!”
Kilau lampu kombinasi ungu, biru, merah, putih, berkelip-kelip bergantian memainkan peran, di seluruh rangka stadion Gelora Bung Karno. Ramon dan Rindu berada didepan patung panahan, berjalan mendekat ke arah kilau lampu merah putih, yang sedang mendapat giliran menyala.
“Kita jogging dulu apa langsung belok makan di kantin?” Rindu meringis menggoyangkan kuncir kudanya.
“Iya juga, kita lari muter-muterin stadion, kantin tinggal lurus doang dari sini. Lebih simple, efektif, efisien, dan meningkatkan kalori,” Ramon mulai lupa esensi berolahraga.
Ramon lebih banyak menghabiskan waktu olahraga dengan berselancar di air, kebalikannya Boy kebanyakan olahraga di darat, tetapi kerjanya diatas air.
Ramon masih menengok jalur menuju kesana, kelip lampu bohlam di kantin lebih megah dari permainan lampu di stadion Gelora Bung Karno.
“Lari dulu lah!” Rindu spontan bergerak meninggalkan Ramon, yang sedang bimbang memikirkan es jeruk peras.
“Woi! Tunggu!” Ramon menyusul gerakan Rindu. “Tadi mau makan, gue udah tergoda, sekarang lo malah lari duluan, gak jelas, gak jelas,” Ramon berlari dan terus berbicara, nadanya tersengal-sengal.
“Kita jalan santai ajalah, ya.” Rindu menengok patung panahan dari tempat dia berdiri, tidak lagi sebesar dia berdiri persis dibawahnya. “Lumayan juga, capek,” Rindu mengelap air keringat di sepanjang batang hidungnya yang tinggi.
“Jalan santai aja satu puteran, terus makan, gimana?” Ramon mengelap keringat didahi, baru sebentar berlari, kulit kepalanya juga sudah ikut basah. “Gimana?” Ramon bertanya lagi.
“Jadi jalan santai gini kaya ibu-ibu PKK. Tau gini gue pake daster tadi. Sia-sia gue udah sporty kaya gini,” Rindu mengeluh meneruskan langkahnya.
“Masa kesini pake daster. Udah cocok lo kaya gini. Mirip Vicky Burki mau mimpin senam, hahahaaa...”
Rindu meringis sebentar, “Senam aerobic atau pole dance?”
“Tetep mimpin senam ibu-ibu PKK juga,” Ramon puas tertawa, berjalan menjaga jarak dari Rindu, yang sedang membenahi kuncir kudanya.
“Awas lo, ya!” Rindu berlari mengejar Ramon yang belum selesai tertawa.
“Gue gak apa-apa ini, pake baju sama sepatu Boy?” Ramon mencubit kain baju, menunjukan ke Rindu.
“Santai kali, lagian Boy gak jadi pulang hari ini, kemarin dia ngabarin harus stay di Kalimantan, tomorrow dia mau ke Riau, paling lama selasa balik katanya.” Rindu terus berjalan, merentang-rentangkan tangan, angin malam terasa sekali menabrak bulu-bulu dikulitnya, dingin diujung-ujung jari.
Angin ikut berputar-putar dilingkaran Stadion, gedung-gedung tinggi disekitar berhasil dia lewati dengan lihai. Walau titik-titik lampu gedung pencakar langit terlihat sangat terang, tapi sinarnya belum bisa memperlihatkan angin, yang melintas saling bertabrakan satu sama lain.
Ramon melirik sebentar ponselnya, tidak ada pesan atau panggilan tidak terjawab dari Gadis. Sudah pukul tujuh malam, Gadis sama sekali belum menanyakan kabar dan keberadaannya.
“Gadis apa kabar?” Rindu bertanya ke arah Ramon disebelah.
“Kenapa?” Ramon malah berbalik nanya.
“Gue nanya Gadis gimana kabarnya?” Rindu mengulangi lagi pertanyaannya, melepas nafas sekaligus.
“Gimana, ya? Ramon bingung menjawabnya, dia ingin meringkas penjelasan Gadis yang terlihat pucat, kurus dan jarang berbicara lagi dengan dirinya.
“Hey! Malah bengong. Kok gimana? Kemarin gue liat Gadis kurus banget, wajahnya pucat, ada bercak-bercak merah dibeberapa bagian tangannya, pengobatanya oke, kan?”
Ramon masih terus berjalan, begitu juga pikiran dikepalanya.
“Gue mau nanya sama lo. Sekitar tiga hari yang lalu, Gadis gak pergi cuci darah, kemerahan ditangan yang buat dokter menyarankan cuci darah minggu depan aja. Is that true?”
Rindu meniup angin dimulutnya, “Bener dugaan gue, Gadis terlambat cuci darah, rasa gatal (pruritus) memang efek samping pasien cuci darah, kulit juga bisa jadi kering, sama hiperpigmentasi pada pasien. Apa namanya? Something like perubahan warna kulit gitu. Kayaknya gak mungkin dokter sarankan untuk stop cuci darah.”
Ramon masih sesekali menoleh mendengarkan penjelasan Rindu, “Jadi maksud lo, Gadis bohong sama gue? Kok bisa dia bohongin gue!” Ramon terus menatap aspal didepan. “Why her did that?!”
Rindu tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Ramon, dia terus berjalan dan mulai mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
“Kayaknya mau ujan, deh.” Ramon melipir ke bawah rangka tribun stadion.
“Iya gerimis,” Rindu mengadahkan tangan, tersentuh rintik air.
Rindu berjalan cepat mengikuti Ramon, kepalanya dia tutup dengan tangan, hujannya semakin banyak berjatuhan.
Menuju putaran kedua, hujan malahan turun menyapu para pengunjung untuk lari berteduh. Warna aspal jalananan semakin hitam legam.
Deras hujan terlihat jelas dari lampu warna warni stadion. Lebih jelas lagi tergambar garis-garis air berjatuhan, di sekitar barisan lampu-lampu gedung. Gedung-gedung, trotoar, jembatan penyebrangan jadi basah semua, begitu juga patung panahan yang tidak berlari ikut berteduh. Angin masih ada juga, bermain kejar-kejaran dengan hujan. Karena ulah mereka berdua, air hujan mulai membasahi sepatu dan celana.
“Lo agak kesinian! Hujannya masuk-masuk, sepatu lo udah basah,” Ramon menggeser Rindu dari gibasan hujan angin, yang sesekali masuk tak beraturan.
“Lo jadi perhatian gini sama gue? Mau menebus kesalahan, ya?” Rindu menelungkupkan tangannya didada, kedinginan.
Ramon menoleh kearah Rindu dibelakang punggungnya, membalikan pandangan persis saling lihat-lihatan.
“Kalau dulu pas kita ribut besar dirumah gue, diluar hujan angin kaya gini. Apa lo masih tetap pergi?” Ramon mengingat lagi kejadian malam itu, menanyakan ulang keputusan Rindu
“Gue akan tetap pergi, karena hujan akan tetap turun, walau dia tau tanah akan menguburnya.”
Ramon terdiam dalam suara hantaman hujan diatas atap stadion, dia merasakan juga petir penderitaan yang menyambar Rindu. Hujan angin tidak sedingin sikap Ramon dan Rindu. Sama-sama diam, melihat arah turunnya air hujan dipipi mereka masing-masing. Air hujan itu keluar dari kelopak mata, yang tidak mampu menahannya untuk tetap tinggal.
Hari semakin larut, hujan baru selesai semuanya, terang bohlam lampu dikantin sudah mati. Ramon dan Rindu melintasi parkiran kantin yang sudah sepi, tersisa beberapa pengendara motor keluar dari tempat berteduh. Mereka muncul dari lapak-lapak gelap, ditengah percikan sinar-sinar gedung di pinggir jalan raya.
*****
Lampu rumah Rindu juga gelap, tidak seperti terang-terang disekitarnya. Bagai waktu alarm otomatis, Goldy membunyikan gonggongan ke arah mobil Rindu.
Rindu kembali melihat pasukan lampion terbang beriringan. Semua lampionnya terbang bersama, tetapi tidak saling bersinggungan dan menjatuhkan. Rindu yakin, Ramon juga melihat nyala lampion-lampion itu.
"Lampion Gadis!" Ramon menelisik nyala terbang lampion-lampion itu. Dia sampai mengadahkan kepalanya keatas, posisi lampionnya hampir terlewat laju mobilnya.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh,” Gadis menghitung dalam hati, berbaring dibalik selimut.