TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #62

Ambisi

Semalaman Goldy tidur didepan pintu rumah Rindu. Rumah Ramon gelap tidak berpenghuni.

“Tok. Tok. Tok.”

Suara pintu diketuk, menggeser gorden dari balik jendela. Mas Boy berdiri bersama Goldy disebelahnya.

Boy menarik senyumnya lebar-lebar, bisa melihat istrinya lagi.

“Ini Goldy lepas lagi,” Boy melihat pintu kandangnya terbuka.

“Ramon udah berangkat kerja?” Boy melihat garasi mobil sudah kosong. Masih pukul tujuh pagi.

“Sudah dua hari Gadis sakit, mungkin lagi dirumah sakit,” Rindu menyisir rambutnya yang sudah dia keringkan.

“Sakit apa?” Boy bertanya sambil melepas simpul tali sepatunya.

“Kurang tau juga, dirawat ditempatku.”

“Oh. Gitu. Yaudah aku ikut kamu kerumah sakit, sekalian jenguk,” wajah Rindu kikuk menarik-narik rambutnya, ingin menguncir.

”O-okey.” Rindu perlahan mengiyakan, mengetuk-ngetuk giginya.

*****

Ruangan 1001. Rindu mempersilahkan mas Boy untuk berjalan didepan. Rindu sibuk mengontrol wajah dan pembawaannya.

“Duluan, Mas!” Rindu berjalan setelahnya, mengenakan jas putih dokter.

Pintu terbuka. Menolehkan semua orang yang ada didalam. Sosok Boy telebih dulu nampak.

“Halo, Mon.”

Boy menyapa, mengangguk sopan ke semua orang didalam. Senyum sapa Boy mampir secara merata ke wajah Ewok, Abe dan Edo.

Hanya ekspresi Ramon yang terlihat tenang, sisanya seperti melihat hantu, apalagi kuncir kuda Rindu bergerak mendekati kerumunan.

Boy mengoper parsel buah kepada Ramon. Wajah Edo terlihat sawan, seperti melihat kuntilanak berambut kuncir kuda.

Thanks bro. Gue turut berduka buat anjing lo, ya.”

“Santai bro. Goldy udah sehat ya? Tadi gue liat tidur didepan rumah gue.”

Boy melihat ke arah sekitar, semuanya pernah dia lihat sebelumnya.

“Halo. Edo, kan? Adiknya Ramon?” Edo seperti ditunjuk maju Ibu guru untuk mengerjakan soal matematika. Gelagapan.

“Iya, Bang.” Edo memaksakan senyuman, sesaatnya langsung reda.

Abe sudah melihat-lihat ke arah Edo, sekarang dia baru tau rasanya melihat Rindu secara langsung. Boy masih ingat juga laki-laki gondrong dipojokan yang daritadi sedang menutup mulutnya sendiri. Edo menangkap kode tatapan Ewok.

“Do temenin gue beli token listrik dibawah dong!” Edo pamit melintasi Boy dan Rindu, berikutnya Ewok mengikuti dengan pengap wajahnya yang dia bekap-bekap sendiri.

Satu persatu mereka pergi bergiliran.

“Ada telpon, maaf.” alasan terakhir Abe yang menyusul pergi.

Barusan Abe mengirim pesan Ewok yang merasa ditinggal pergi, “Telpon gue sekarang!”

*****

Ewok mendorong-dorong Edo yang tidak sabaran mendengar cerita lanjutan Ramon dan Rindu.

“Udah lau selow aja! Ntar ogut ceritain, panjang kali lebar, sekalian ngopi dibawah.”

*****

“Kalau boleh tau sakit apa, Mon?” Boy menatap ke arah ranjang Gadis, dia terlihat pangling dengan keadaan Gadis, kusam hitam disekitar ujung matanya, kurus dan kusut rambutnya.

“Ginjalnya, bro. Sakitnya udah lama,” Ramon ikut menatap istrinya, yang sedang terlelap pengaruh aliran obat dibotol infus.

“Baru keliatan lagi bro,” Ramon membuka pembicaraan, mereka berdiri sambil berbincang-bincang, melawan kecanggungan.

“Aduh. Capek juga sih, keluar kota terus. Lusa gue berangkat lagi. Kalau kerja sama orang asing harus cepet-cepet diberesin,” Boy berbicara pelan didalam ruangan, memaparkan informasi baru buat Rindu.

“Lusa mas Boy pergi lagi.” Rindu mengucap dalam hati.

“Ahhh...”

Suara pelan terdengar dari mulut Gadis, dia berusaha menyadarkan dirinya, terlampau sering tertidur. Bibirnya kering, melekat diujung garis lekukan.

Gadis merasa lemah dan berat untuk menggerakan badan. Semuanya menengok ke arah ranjang. Gadis berusaha menyadarkan diri, melihat semua sosok di sekitarnya. Entah masih keliyengan atau beralusinasi, sosok perempuan yang dia lihat samar-samar sudah menghilang.

Gadis membuka mata, tetapi masih lemas untuk berbicara. Pandanganya kosong, mengingat-ingat sosok dihadapannya.

“Gadis jadi bangun Mon, biar istirahat lagi aja, gue sama Rindu pamit dulu,” Boy menoleh ke belakang, Rindu sudah tidak ada diruangan. “Semoga cepet sembuh, ya!” Boy mengucap kepada Gadis yang matanya mulai kreyep-kreyep.

Gadis membuka mulutnya, seperti ingin mengucap sebuah kalimat, namun tertahan dengan suasana lemas dan berat untuk menutup mata lagi.

“Makasih ya, bro.” Ramon mengantar Boy sampai di depan pintu kamar.

Boy terlihat bingung, mau jalan kekiri atau kekanan, tiba-tiba Rindu menghilang dari ruangan. Bentuk lorongnya sama dari ruangan ke ruangan, warna lantai dan cat temboknya juga sama. Semua pintu serupa, Boy pergi mengikuti nomor ruangan paling kecil.

“Rindu kemana, ya?” kini Boy dan Ramon bersamaan celingak-celinguk mencari.

*****

Lihat selengkapnya