Goldy mondar-mandir diteras rumah Rindu, berulang kali Boy mengajak berbicara apa mau Goldy sejak tadi. Boy tidak mengerti alasan Goldy terus menggaruk pintu rumahnya, baret-baret bergaris semakin dalam dan lebar. Ekornya terus bergerak seperti wiper mobil disaat hujan, konstan dan cepat. Lidahnya menjulur keluar, melenggang kembali kekandang.
Tidak lama berselang, dia kembali menyebrang kerumahnya lagi, begitu seterusnya. Mobil Rindu berbelok masuk ke garasi, gemuruh kandang sudah berisik, dengan kesibukan Goldy yang ingin pergi keluar. Goldy menunggu Rindu turun, didepan pintu ekornya bergerak hebat. Rindu gemas melihat di balik kaca jendela.
“Goldy dari tadi bolak-balik terus,” Boy menunggu didepan pintu, mengepit majalah diketiak.
“Hai, Goldy. Mau ngapain kamu? Mau makan dia. Mas aku kasih dog food sisa Coki, ya,” Rindu menggiring Goldy berjalan.
“Iya. Lapar dia. Ramon gak sempet kasih makan kayaknya, masih nungguin Gadis dirumah sakit,” Boy duduk di teras menyilangkan kakinya. Tidak jauh dari tempat Boy duduk, Goldy lahap menyantap semuanya.
“Tambah, Dek!” Boy melihat Goldy masih menodong makanan ke arah Rindu, “Dek. Aku besok bisa ikut sampe rumah sakit?” Boy membalik halaman majalah di teras rumah.
“Mau ngapain, Mas?” Rindu menoleh, sedang jongkok memberi makan.
“Sarapan di rumah sakit, terus aku naik taksi online ke bandara. Udah lama kita gak makan bareng.”
“Iya boleh, Mas. Rencana pulang kapan, Mas?”
Boy hening sebentar, menerka-nerka pekerjaannya.
“Gak tentu, sampai selesai. Maunya selesai gak selesai cepet-cepet pulang, tapi....ya begitulah,” semoga Rindu sadar, dia tidak ingin memberikan sesuatu yang belum pasti dan bisa ingkar janji.
*****
Ramon berjalan mencari makan, dan suasana selain ranjang pasien dan botol infus. Di lobby dia melihat-lihat logo dan nama makanan, mencari selera perutnya pagi ini. Berjalan menengok-nengok, di bagian pojok dan belakang. Dia belum juga menemukan makananan yang srek diperutnya.
Pencarianya terpaku. Ramon terhenti langkahnya dengan pemandangan Boy dan Rindu, sedang makan berduaan di sebuah restoran Thailand. Ramon meninggalkan Lobby dan naik menuju lift, selera makannya sudah hilang seketika.
“Pesen online aja, makanannya gak ada yang enak!” Ramon mengotak-atik layar ponsel, sambil sesekali melirik angka dan tombol yang menyala.
*****
“Enak juga makan disini, kaya bukan dirumah sakit, ya,” Boy menyendok kuah Tom Yam kemerahan, ada cumi dan jamur ikut masuk kemulutnya, pedas asam meyentuh lidah.
“Kebanyakan yang makan disini, bilangnya begitu, kaya foodcourt, rencana kedepan akan ada bisokop.”
“Serius, Dek? Ada bioskop? Bisa nonton disini dong kita sekalian jemput kamu.”
“Bercanda mas, hahaha....” Rindu puas melihat tampang lesu Boy.
“Kirain beneran,” Boy keburu antusias ingin nonton bioskop di rumah sakit. “Dek. Aku ada hadiah, aku taro dilemari kamar.”
“Hadiah apa, Mas? Buat aku? Dalam rangka apa?” Rindu menahan sedokan garpu di atas Mango Sticky Rice.
“Ya, kamu lihat aja. Nanti gak surprise dong, hehehe....” Boy tersenyum kecil, membuat Rindu penasaran.
“Mas. Kayaknya aku udah harus naik ke ruangan,” Rindu melihat atasannya sedang menunggu di depan lift.
“Yaudah kamu tinggal aja, aku beli kopi disitu dulu baru pesen taksi online,” Boy menoleh ke Coffe Shop sebelah.
“Hati-hati, Mas. Kabarin kalau udah sampe. Bye!”
“Pasti aku kabarin. Bye! Good luck!”
Rindu mengangkat ragu-ragu tangannya, mengucap pelan “Da..daah...!” Sebuah balasan serupa dari lambaian tangan Boy.
“Kok jadi kaya drakor pake dadah segala,” Rindu memikirkan kelucuan Mas Boy. Tidak biasa-biasanya.
*****
“Senyum-senyum sendiri,” dr. Rasyid berpapasan dengan Rindu.
“Ehh, dok,” Rindu kaget mengelak, keduanya masuk kedalam lift bersamaan, berdiri berdampingan.
“Kalau kamu baca jurnal-jurnal yang aku kasih, itu ada semua kok, kalau memang gak jelas bisa kita diskusikan,” suara dr. Rasyid sampai ketelinga semua orang didalam lift. Volume bicara seperti biasa aja.
Rindu syok mendengar suara dr. Rasyid, ragu-ragu menyetel intonasi suaranya untuk menanggapi, lagi hening-heningnya.
“Iya, dok.” Rindu memelankan suaranya, walaupun tetap saja semua orang masih mendengar dan melirik.
“Aku duluan ya, kabarin kalau mau keruangan,” dr. Rasyid turun dilantai lima, tapi suaranya masih menggelegar, membekas di telinga orang banyak.
Ajakannya barusan masih tinggi volumenya, kesannya jadi ingin mengajak semua orang yang ada didalam lift, untuk ramai-ramai keruang kerjanya.
Rindu berlagak cuek, mengotak-atik kunciran, semua orang jadi memperhatikan lawan bicara dr. Rasyid. Akhirnya pintu terbuka dilantai tujuh, angka yang ditunggu-tunggu Rindu cepat-cepat menyala. Daritadi dia berasa duduk dibangku kayu tambahan angkot. Jadi pusat perhatian.
*****
“Astaga Ramon! Ngapain lo disini?” Rindu terkejut buru-buru keluar, sudah ada Ramon di depan lift.
“Bete gue diem diruangan. Gue tanya-tanya aja ruangan dokter jaga dimana.”
“Gila lo, ya! Gue mau visit pasien dulu,” Rindu melengos meninggalkan Ramon, langkahnya cepat membuat kuncir kudanya berayun-ayun.
Ramon ditinggalkan begitu saja. Di depan pandangan Ramon, Rindu benar-benar ditegur atasannya. Ramon luntang-lantung dikoridor rumah sakit. Jam makan siang dia akan kembali ngerecokin dimana Rindu berada.
Ramon berjalan-jalan menyusuri ruangan demi ruangan rumah sakit, menghitung angka-angka di depan pintu kamar, berharap Rindu keluar dari salah satu pintu.
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Rindu. Ada nama Ramon.
“Gue titip ksih mkn Goldy ya.”
“Hehehe.”
*****
“Kamu dari mana?” Gadis bersuara pelan, menunggu Ramon datang.
“Cari makan dibawah.”
“Aku nanti malam bisa pulang kerumah?” Ramon berat hati melontarkan pertanyaan, berdiri dekat Gadis.
“Mau ngapain? Disini aja temenin aku. Jangan pulang kerumah!” Gadis berkata cepat seperti melihat setan lewat.
“Maksudnya nanti, tengah malam kamu udah tidur. Mau kasih makan Goldy, kasihan dia.”
“Gak bisa suruh orang, yang?”
“Tadi udah minta tolong Edo, tapi dia gak bisa.”
“Jangan lama-lama, aku suka bangun tengah malam.”