Hari pertama Gadis sampai dirumah, sudah kembali bergejolak isi hati dan pikirannya. Pesan dr. Rasyid selama proses persiapan operasi sudah pupus diingatan.
“Makan-makanan bergizi, jangan banyak pikiran, jangan capek-capek, tetapi tetap olahraga secukupnya,” saran dr. Rasyid yang sudah hilang ditelan perasaan Gadis yang terluka.
Gadis melihat banyak karangan bunga berbaris, papan-papan kayu itu sudah hampir menerobos ke daerah pekarangan rumahnya. Gadis sangat terpukul atas kematian Boy. Dadanya memar dipukuli keyataan, bahwa Rindu kini hidup seorang diri.
Ramon juga menjelaskan apa yang dia rasakan, sebuah ucapan duka kepada apa yang dia lihat.
“Duka ini melibatkan perasaanmu, aku sedang tidak berperasaan!” Gadis begitu saja mengungkapkan kesesakan batinnya.
“Aku gak ngerti?” Ramon terkejut mendengar tanggapan itu.
“Tanya sama perasanmu, aku rasa kamu sudah mengerti dan tau apa yang harus kamu lakukan.”
Ramon menoleh sesaat Gadis selesai berucap, menahan mulutnya bersuara. Keadaan sekarang tidak seperti biasanya, padahal penyakitnya sudah biasa membuatnya susah. Kali ini giliran Gadis dibuat susah hati oleh Ramon sang penyelamat hidupnya. Kini Gadis sudah merasa sendiri lagi, ingin menyerah terhadap penyakitnya.
Gadis hidup sendiri lagi, sebagai perempuan tak berdaya disebuah ranjang rumah sakit, sebelum Ramon datang menjenguk bersama Roy. Gadis merasa kematian dirinya menjadi jalan keluar untuk menyerahkan kembali Ramon kepelukan Rindu.
Duka Gadis melebihi rasa kehilangan Rindu saat ini. Gadis akan pergi dan meninggalkan orang yang sangat dia cintai, agar duka Rindu berubah menjadi kabar suka cita.
Rindu tidak sedang berduka, dia sedang berjalan pulang kepelukan Ramon. Keadaan sekarang membuat maut menjadi dua mata pisau yang berlawanan, disatu sisi dapat memisahakan, disisi lain akan menyatukan kembali. Ada perpisahan, ada perjumpaan. Semua waktunya akan tiba, pikiran Gadis sangat keras memikirkan kejadian itu.
Bayangan Gadis begitu nyata dan waktunya sudah dekat. Gadis sedang berduka, tidak ada bedanya, nanti atau setelahnya. Duka tentang sebuah kehilangan. Sekarang juga Gadis sudah kehilangan, telah kehilangan harapan untuk hidup, dan dicintai orang yang sangat dia sayangi.
*****
Rindu keluar dari warna kegelapan, kesendirian hampir membunuhnya. Kegelapan hanya mengahasilkan warna gelap, butuh warna lain untuk menghasilkan spektrum cahaya. Rindu membutuhkan warna dalam hidupnya, warna kehidupan baru.
Sepuluh hari dia menepi sendirian, berpindah-pindah mencari suasana baru dan dimensi lain. Tujuh kota dia masuki, mencoba berlari dari kenyataan pahit yang terus mampir dalam hidupnya. Disetiap perhentian, Rindu terus mengamati, menafsirkan perilaku orang-orang baru disekitarnya.
Kota-kota kecil dia lalui, kehidupan di desa-desa, pasar-pasar tradisional, gang-gang rumah terpencil, meresapi bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda, membeli dagangan suku-suku pedalaman, yang berjalan jauh melewati ladang sawit, yang dahulu adalah rumah dan tempat bermain mereka.
Mulai bermunculan pertanyaan-pertanyaan dari dalam diri, dan mulai mencari tahu arti sebuah kehidupan di dunia ini. Rindu membuka mata semakin lebar, mengosongkan telinga lowong-lowong, melihat dan mendengar banyak peristiwa yang baru di tempat yang berbeda.
“Untuk apa saya hidup di dunia ini?” Rindu mencari tahu dalam kelelahan dirinya, memahami misteri kehidupan yang tidak berpihak kepadanya.
Rindu sangat kelelahan, namun dipaksa terus menghabiskan sisa-sisa hidupya entah sampai kapan. Pencapaian hidup dan kesenangan adalah sebuah impian yang sudah dia lewati, begitu juga kesengsaraan, “Lalu apa lagi?” Rindu bertanya lagi, dia sedang merasa lelah diusia yang belum setengah jalan. Rindu melihat manusia berjibaku tanpa henti, hanya untuk sekedar menyambung hidup, dan juga untuk melampiaskan gaya hidup.
Semua fase kehidupan itu juga hadir dalam diri Rindu, “Lalu apa lagi? Apakah esok hari akan ada kejutan hidup baru? Atau hidup hanya mengulang-ulang kesenangan dan kekecewaan saja?”
Rindu duduk di sebuah teras salah satu hotel etnic di Jogjakarta, dia menemukan sebuah tulisan pepatah jawa, “Dhuwur wekasane, endhek wiwitane.” Seorang pria tua menggunakan blankon dan baju surjan lurik, menghampiri Rindu yang terus berdiri di papan kayu tulisan itu. Rindu menoleh kepada pria tua, yang sedari tadi duduk bersila memainkan alat musik gambang. Menghibur para tamu yang datang menginap.
“Kesengsaraan yang membuahkan kemuliaan,” pria tua itu mengartikan dengan logat jawa yang halus.
Rindu mengangguk mengartikan tulisan itu, meresapi makna yang dikandung, dan mulai menyatukan pada keresahan dirinya. Selama ini Rindu menagih kehidupan kepada Tuhan atas rencananya sendiri. Dengan kerendahan hatinya dia bertanya.
“Tuhan mau pakai aku untuk apa hidup didunia ini?” Sebuah pertanyaan tulus dari lubuk hati terdalam Rindu.
Pertanyaan barusan membuat Rindu menjadi sadar, kehidupan yang baru tidak ada, menjadi manusia baru atas kehendak Tuhan adalah hakekat kebaruan itu sendiri.
Dalam perjalan menuju gunung Merapi, Rindu mulai terus mencari tahu, dan tertarik kepada pepatah-pepatah kuno jawa. Terekam satu yang menguatkan dirinya.
“Mbangun kromo ingkang satuhu, boten cekap bilih ngagem sepisan roso katresnan lumeber ning pasangan uripmu siji kui.” (Pernikahan yang sukses tidak membutuhkan sekali jatuh cinta, tetapi berkali-kali jatuh cinta pada orang yang sama).
*****
Rindu kembali mengikat kuncir kudanya kuat-kuat, berjalan penuh suka cita memancarkan kebahagiaan bagi orang banyak. Sepanjang lorong rumah sakit, setiap orang yang dia jumpai mendapatkan satu buah senyum terbaik dari wajah Rindu. Semua orang merasa senang dengan senyum sapa Rindu, tidak terlihat sebuah usaha Rindu menutupi sisa-sisa kedukaan.
Di dalam keheningan ruang lift, Rindu mengingat lagi pepatah jawa yang dia catat dibuku diary miliknya.
“Nek wes onok sukorono, nek durung teko entenono, nek wes lungo lalekno, nek ilang iklasno.” (Kala sudah punya itu syukuri, kalau belum datang ya dinanti, kalau sudah ditinggal pergi lupakan, kalau hilang iklaskan).
dokter Rasyid tidak ketinggalan acara, senyum terbaik Rindu juga bersarang di wajahnya.
“Pagi, dok.” Rindu menyapa, gigi kelincinya masih nampak.
“dokter Rindu udah masuk lagi, ya. Saya turut berduka ya, dok.” dr. Rasyid menyampaikan belasungkawa.
“Makasih, dok. Kenapa, dok? Kaya heran gitu lihat saya?”
Hanya menggeleng dan berlanjut senyum dr. Rasyid menanggapi pertanyaan Rindu.
“Bagaimana perkembangan pasien dokter?” Rindu bertanya ingin tahu, sorot matanya menggebu-gebu. Cuti dua belas hari membuat Rindu melupakan sama sekali, hiruk pikuk penyakit dan keadaan rumah sakit.
*****
“Wah! Ada bunga tulip dan liliy!” Rindu menunjuk karangan bunga disudut ruangan dr. Rasyid.
dr. Rasyid mengurungkan jawaban, ikut menoleh ke arah telunjuk Rindu,
“Oh. Komplementer dari rumah sakit.”
“Bagus bunganya, dok. Saya suka bunga tulip.”
“Mau? Ambil aja!” dr. Rasyid menggapai karangan bunga itu.
“Bukan itu maksudnya, dok.” Rindu mengangkat telapak tangannya.
Rindu melihat sebuah nama perempuan yang ia kenal dibunga itu. Bukan kali ini saja, nama itu sudah beberapa kali terlihat. Kalau saja tidak ada bunga tulip, Rindu tidak akan pernah membahas karangan bunga, yang selalu mampir setiap hari di ruangan dr. Rasyid.
“Alhamdulilah. Infonya, pagi ini pasienku sudah mendapatkan calon pendonor ginjal. Semoga hasilnya cocok dan sesuai,” dokter Rasyid perlahan menjelaskan, tapi nada bicaranya tegas ditiap kalimatnya.
“Wah! Syukurlah dok,” Rindu melonjak kegirangan.
“Ini akan menjadi pengalaman dan kesuksesan yang luar biasa bagi saya,” wajah dr. Rasyid penuh keangkuhan dan optimistis.
“Semoga semuanya berjalan sesuai dengan harapan dokter.”
“Tangan ini akan menjadi penentu sejarah atas keberhasilan itu,” Dokter Rasyid memandangi telapak tangannya.
Rindu sudah mempelajari tulisan dan gambar dokter Rasyid, dia menemukan ambisi luar biasa dibalik gambar itu. Berulang kali Rindu menemukan pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak dia pahami, selalu saja dr. Rasyid berhasil membuat semuanya seakan-akan mudah dan pasti berhasil.