Ramon buru-buru mendatangi ruangan dokter Rasyid. Selama melempar langkah, dalam sekali dia mengambil nafasnya. Ramon mendengar kabar bahwa operasi pengangkatan ginjal pendonor dibatalkan, dengan alasan yang tidak jelas dan mengada-ngada. Ramon melakukan protes atas ketidaknyamanannya dengan situasi ini.
“Coba dokter jelaskan apa yang terjadi?” Ramon menodong pertanyaan, tidak ada niatan untuk duduk dan bersikap tenang.
“Anastesi tidak bekerja maksimal, mana mungkin saya lakukan tindakan?” dr. Rasyid tenang menjelaskan, mengatur nafas baik-baik.
“Saya konsultasi dengan dokter sendiri, dan rekomendasi anda mengenai dokter anastesi terbaik dirumah sakit ini adalah dokter yang tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik, ini maksudnya bagaimana? Kok kesannya seperti main-main? Ini nyawa orang yang sedang dokter perjuangkan!” Ramon menyembur keras kata-katanya, dengan satu kali tarikan nafas.
“Pendonor masih menunjukkan respon kesadaran.” dokter Rasyid bersikeras mengelabuhi Ramon.
“Ternyata tidak becus dokter disini hanya untuk membius pasien saja, bagaimana mau transplantasi? Jangan-jangan anda yang tidak siap melakukan operasi? Saya mau tanya sama dokter. Apakah operasi Gadis akan berhasil? Saya bayar mahal anda dan rumah sakit untuk ini semua!” Ramon masih geram meluapkan kekesalan.
“Saya siap untuk ini, dan akan dilakukan anastesi ulang kepada pendonor.”
“Apa jaminannya anda siap? Anda jangan main-main dengan saya! Saya bisa tuntut anda dan rumah sakit, atau saya naikan kelalaian tindakan medis ini ke media.” Ramon menunju-nunjuk dr. Rasyid, dan pergi keluar dari pintu yang daritadi tidak tertutup.
Ramon berjalan cepat meninggalkan ruangan, tatapan perawat dan pengunjung diluar melihat terus Ramon melintas. Mereka semua mendengar suara keras Ramon keluar meluap-meluap.
dokter Rasyid masih merasakan semua amarah Ramon, tertinggal jelas diruangannya. Situasi semakin rumit, menyisakan ketegangan berlebih bagi dokter Rasyid. dokter Rasyid harus mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan cepat, sebelum Ramon bertindak lebih cepat, dengan membawa masalah ini ke jalur hukum.
“Kredibilitas pekerja medis dan rumah sakit ini bisa rusak gara-gara gue. Gue harus jelaskan apa ke dokter anastesi?” dr. Rasyid terus berpikir keras mencari jalan keluar.
*****
Ramon masih terus terlihat emosi, dia tidak tenang berdiri di depan ruang ICU. Ramon terus mondar-mandir memikirkan alur emosinya yang masih menyala.
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Abe. Ada nama Ramon.
“Be bisa krumah sakit?”
“Ada mslah dsini.”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Ramon.
“Knp Mon?”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Abe.
“Ribet jlasinya.”
“Ntr kt ngbrol aja.”
“Coffe shop lobby.”
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Rindu. Ada nama Ramon.
“Kacau2.”
“Operasi Gadis diundur.”
“Rindu kemana lagi? Gue lagi susah gini malah gak ada!” Ramon gusar tidak karuan. Pesan tidak dibalas, telpon tidak diangkat padahal ponselnya aktif. “Gak diangkat lagi!” ponsel Ramon dimasukan kedalam saku celana.
*****
Ramon kembali keruangan Gadis, dia belum bisa diam duduk dan menenangkan diri. Rambutnya sudah diacak-acak, dirapikan lagi, dan sekarang sedang dia uwel-uwel. Ramon sudah dua kali keluar masuk kamar mandi, padahal dia tidak ingin buang air. Cermin kaca kamar mandi menangkap amarah Ramon.
Dibalik horden melingkar diranjang, Gadis merasakan kehadiran orang lain disekitarnya.
“Yang. Yang!” Gadis coba memanggil, muncul Ramon di sebelahnya. “Kamu dari mana?”
Ramon menunjuk kebelakang. “Toilet.”
Ramon menarik nafas, menenangkan diri, mencoba membuat semuanya baik-baik saja.
“Yang pendonornya terlambat datang, nanti kita akan diinfo lagi kapan mulai tindakan. Kamu istirahat aja, jangan banyak pikiran! Mendingan kamu tidur lagi, biar gak terasa nunggunya,” Ramon mengelus-ngelus pangkal kepala Gadis, mencoba menenangkan.
“Gimana mau tidur, yang. Aku kepikiran terus. Berhasil gak, ya?”
“Jangan ngomong gitu! Tadi aku ketemu dokternya, semuanya optimis pasti berhasil.” Ramon menatap Gadis yang butuh penguatan. “Pendonornya siap, operasi, trus beres, deh.” Ramon merapikan selimut Gadis yang melorot sebelah.
*Tuing, muncul notifikasi di layar ponsel Ramon. Ada nama Abe.
“Gue dbwah.”
*Mengetik, muncul di layar ponsel Abe.
“Oke.”
“Wait.”
“Yang aku kebawah sebentar ya.” Ramon meminta izin.
“Disini aja, temenin aku!” Gadis menggenggam tangan Ramon, erat.
“Sebentar doang, aku beli kopi dulu dibawah, biar gak ngantuk nanti nunggu kamu operasi.”