TETANGGA

Michael Kanta Germansa
Chapter #67

Berantakan #2

Seorang perempuan berkulit sawo matang, memantaskan kaca mata beningnya. Merangsak maju berhadapan langsung dengan dr. Rasyid. Anak perempuan Ahmed mulai geram dengan sikap dr. Rasyid. Dia merasa terusik dengan pernyataan dan ancaman dr. Rasyid.

“Rindu datang dengan kesadarannya. Dia dokter. Dia tau konsekuensinya. Tidak ada paksaan dari pihak manapun untuk melakuan keputusannya.” Sylvia membenarkan kaca matanya yang turun dibatang hidungnya yang runcing.

“Kemarin Papa kamu bilang, 'jangan bawa urusan perasaan dalam masalah ini.' Tiga tahun saya tidak bisa menerima cinta kamu, dengan segala kebaikan yang kamu kasih ke saya. Tidak satu kalipun saya membaca surat, dari setiap karangan bunga yang kamu kirim keruangan saya. Ternyata keputusan saya tidak salah.

“Rindu datang dengan segala permasalah hidupnya, kamu mengamini dan merestui keputusannya karena masalah perasaan. Bagai mendapat durian runtuh, Rindu datang menyerahkan nyawanya kepada kamu. Saya yakin Tim Advokasi dan Tim Nefrologi pasti keberatan meloloskan pengujian kepada Rindu.

“Lalu siapa yang punya kekuatan untuk melakukan intervensi? SAYA AKAN UNGKAP SIAPA-SIAPA YANG TERLIBAT!" dr. Rasyid semakin murka, dia tidak peduli berbicara dengan jajaran direktur, pemilik Rumah Sakit Petra, berserta anaknya.

Sylvia membuang badannya sekuat-kuatnya, meninggalkan ruangan yang sudah terasa sangat panas.

“Satu hari lagi!” dr. Rasyid mengangkat jari telunjuknya, “Satu hari lagi!” Suaranya terdengar serak dan tersengal-sengal.

*****

Ramon semakin geram melihat pintu ruangan dr. Rasyid bergeser tulisan, “close.” Ramon tidak puas dengan penjelasan para petinggi rumah sakit, jika sampai hari ini tidak juga dilakukan tindakan sama sekali.

“Hari ini, nanti satu hari lagi, sudah dua hari gak ada kejelasan, katanya hari ini!” Ramon ngedumel sendirian, berusaha terus mencari dr. Rasyid. Meminta penjelasan dan kejelasan.

Sia-sia dia mengetuk terus-terusan pintu ruangan dr. Rasyid, tidak digubris. Ini hari ketiga Ramon mengetuk. Setiap hari dr. Rasyid mendengar ancaman itu dari dalam ruangannya.

“Jangan jadi pengecut kamu!” Ramon mengucap di balik pintu.

“Rindu gak ada kabar sama sekali, dokter disini ngeselin semua!” Ramon menggerutu penuh kesal, mengusap-usap wajah. “Masih centang satu!” Ramon menilik lagi pesan untuk Rindu.

*****

Ramon kembali keruangan Gadis, sampai disana dia sudah ditodong pertanyaan.

“Sudah tiga hari. Pendonornya kenapa? Gak bisa, ya?”

Ramon meyakinlan ulang, “Tadi aku keruangan direktur rumah sakit, sore ini pedonor sudah datang,” Ramon berdegup mengatakan, semoga ucapan itu benar.

*****

dr. Rasyid memainkan ponselnya, menghubungi seorang petinggi rumah sakit dan dokter Edwin, bergantian mulutnya menjelaskan tindakan selanjutnya. Naik turun kepala dr. Rasyid memahami lawan bicaranya. Ancaman dan peringatan dia terima dengan lapang dada.

*****

dr. Rasyid mulai memberikan arahan, “Bawa keruangan!” roda ranjang Rindu berjalan keruang operasi.

dokter Rasyid dan tim membagi lagi pos-pos ruang bedah masing-masing. Rindu sudah dilakukan bius umum. Sumber-sumber lampu menyorot tubuh Rindu, pisau bedah menyayat pinggang Rindu. Darah Rindu membentuk luka sekitar lima belas sentimeter. Mata dokter Rasyid terus berkaca-kaca. air matanya turun dan bersembunyi dibalik masker yang menutupi sebagian wajahnya.

dokter Rasyid berhasil mengangkat ginjal Rindu, dan segera membersihkan darah-darah Rindu yang menempel diginjalnya. Semuanya telah usai, sudah diangkat. dokter Rasyid langsung menjauh meninggalkan tubuh Rindu tidak berdaya di meja operasi.

dokter Rasyid bergerak cepat, semua tim sudah melakukan pengangkatan ginjal pendonor. Waktunya menanamkan ginjal baru kepada Gadis. Operasi dimulai. Sayatan pertama sudah bergerak. Pisau bedah sudah merobek kulit perut bagian bawah Gadis. dokter Rasyid dan tim fokus untuk terus bekerja dengan sebaik-baiknya.

Tangan dokter Rasyid sudah penuh dengan darah, namun masih terus sibuk bergerak, keringatnya terus mengalir, beberapa kali timnya menyeka dahinya.

Operasi sudah berjalan sekitar empat jam, sudah berulang kali ponsel Ramon berbunyi dari sahabat dan keluarga, semuanya menanyakan kabar Gadis. Roy dan Lukas terus berjaga-jaga bersama. Abe dan Ewok dalam perjalan datang. Semua menunggu penuh harap. Selama empat jam hanya Ramon yang terus menolak untuk duduk dikursi. Ramon terus berdiri dan berjalan menunggu dr. Rasyid muncul memberi kabar.

Operasi sudah selesai dilakukan. Enam jam waktu yang dibutuhkan tim dokter.

*****

dr. Rasyid kembali keruangannya, duduk di kursi yang tiga hari menemani dia melepas lelah. Tubuhnya disandarkan, padangannya terlihat kosong menatap pintu didepan. Dia tidak menyangka sudah selesai melakukan ini semua.

“Sudah selesai. Sudah selesai.” dr. Rasyid berucap pelan, dahinya penuh dengan basah keringat.

dokter Rasyid memejamkan mata sejenak, kali ini rasanya lebih berat. Banyak bayangan wajah tidak berdaya Rindu bergantian muncul dipikiran. Berputar-putar tidak ada habisnya. Muncul di sudut-sudut ruangan dan ranjang tempat tidur.

“Semuanya berjalan lancar.” itu satu-satunya kalimat dr. Rasyid yang sudah dia siapkan untuk operasi ini. “Selesai sudah!” dr. Rasyid menuntaskan ambisinya, dia terus berjalan ingin cepat-cepat meninggalkan rumah sakit Petra.

Surat pengunduran diri sudah dia tandatangani diatas materai.

*****

Gadis membuka mata dari tidur panjangnya, dia mengeluarkan banyak darah, berkantong-kantor dialirkan kedalam tubuhnya. Gerakan tangannya membangunkan Ramon disebelahnya yang sedang tertidur duduk dikursi. Kepalanya menopang di bibir ranjang.

Tangan Gadis mengelus-elus kepala Ramon, bahagianya bisa melihat Gadis kembali membuka mata.

*****

Di sebuah ruangan, tidak jauh dari ruangan Gadis, terbangun juga seorang perempuan dari tidurnya. Perempuan ini sudah membuka matanya berkali-kali, kemudian menutupnya lagi dan tertidur. Rindu membuka matanya, untuk kedua kalinya. Dia bertanya-tanya tentang pengelihatannya itu.

“Dimana ini? Silau. Silau!” Rindu memicingkan mata, banyak sinar dibalik kaca jendela.

Matanya perih menangkap cahaya. Suara percakapan televisi terdengar jelas. Dia masih tidak mengerti jika dirinya masih saja hidup.

“dr. Rasyid.” Rindu menyebut nama itu, terbesit hanya nama itu, dia bertanya-tanya apa yang sudah nama itu lakukan.

*****

Ruangan disebelahnya tidak kalah hening, hanya seorang diri tertidur diranjang, dibalut selimut berwarna putih. Seorang perempuan berponi ungu dan hijau tertidur dalam sepi. Belum juga membuka mata menyadarkan diri.

Kini ambisi dokter Rasyid sudah benar-benar terwujud, namanya akan semakin besar sampai ke penjuru dunia. Sebuah Muhjizat dan pertolongan Tuhan. Detik-detik akhir dokter Rasyid mengulur-ulur waktu, melakukan operasi pengangkatan dua ginjal sekaligus milik Rindu, telah muncul pendonor ginjal berikutnya yang bernama Mia.

Kini Gadis telah memiliki dua ginjal yang sangat sehat. Rindu dan Mia masing-masing mempersembahkan satu buah ginjal mereka untuk Gadis. Pengorbanan Rindu dan Mia, semata-mata hanya untuk kebahagiaan orang yang mereka sayangi. Ramon.

Terlebih bagi Rindu, kesembuhan Goldy membuat dia harus melakukan ini untuk Ramon dan Gadis. Pengorbanan Gadis disaat melawan sakit, telah berhasil menyelamatkan nyawa Goldy.

Lihat selengkapnya