Secangkir kopi telah diracik dengan sepenuh hati, kuletakkan di meja ruang nonton tipi. Lalu, menyalahkan rokok, dan chatingan sama dia. Tapi sampai kopi sudah habis, putung rokok tiga batang di asbak, belum juga ada balasan.
"Wedon, nek di chat ora tau mbalesi, opo kudu ngecat sarang tawon ae, biar dibalesi?(wanita, kalau dichat gak pernah balas, apa harus ngechat sarang tawon biar dibales ya?)," gerutuku.
Dari sinilah aku menemukan, bahwa kecewa itu bukan dari sesorang, melainkan karena pikiran kita sendiri yang terlalu berlebihan. Terlalu berharap dengan apa yang pikiran inginkan. Ini masuk ke dalam kategori ekspetasi tidak sesuai realita!
Plak!
"Asu sok bijaksana sekali?!" Aku menepuk jidat, jakun udah nongol lama, masih aja berkutat membahas wanita, seharusnya memikirkan tentang financial yang sedang tidak baik-baik saja.
Prang!
Suaranya kencang banget, sampek jantung mau lompat dari tempatnya. “Asu!” pekikku berlari mengambil ganggang sapu untuk menghajar pelaku.
Pekok, pekok
Seekor induk ayam sibuk mencari sarang untuk bertelur. Tanpa ampun diri ini yang telah diselimuti amarah karena terkaget mengejar ayam itu sampe ke rumah tetangga. Alih-alih menakuti ayam, bapak-bapak lagi lewat, ngacir melihat sapu yang kutenteng.
Mungkin dalam pikiran bapak-bapak itu, aku orang gila yang ingin memukulinya yang tak bersalah. Hal ini sedikit mengerikan, bagaimana bila berita fiktif itu menyebar luas.
“Pak!” pekikku bergegas mengejarnya. Lalu, langkah kaki terhenti, mengambil napas.
Kutengok bapak itu juga berhenti pasti merasa lelah juga. Dia membenarkan celana pendeknya yang melorot. Terlihat juga bulu keteknya tertiup angin, karena beliau hanya mengenakan kaos singlet.
“Pak!” pekikku mencoba mendekat. Namun, sia-sia karena beliau malah melanjutkan larinya.
Aku putus asa, membuat diri ini lebih baik pulang ke rumah. Setibanya, di rumah melihat ibu yang sudah memegang alat pembersih lantai.
“Di cariin dari tadi, malah sapunya kamu bawa?” kata ibu memegang gagang pel.